Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA bulan terakhir, Def Tri Hardianto dilanda gelisah. Belum juga ada komunitas adat yang diakui oleh Pemerintah Kabupaten Seluma, hutan lindung Bukit Sanggul keburu beralih fungsi menjadi hutan produksi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami khawatir kebijakan negara kali ini malah menjadi kontraproduktif dengan perjuangan masyarakat adat,” kata Def, Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Bengkulu, pada 8 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan negara yang dimaksudkan Def adalah Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 533/MENLHK/SETJEN/PLA.2/5/2023 yang diteken Menteri Siti Nurbaya Bakar pada 25 Mei lalu. Surat keputusan ini, di antaranya, berisi keputusan untuk mengubah fungsi kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi seluas 19.939 hektare di Kabupaten Seluma. Keputusan ini dibuat atas usulan pemerintah daerah yang tengah berproses merevisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu.
Kawasan hutan lindung yang berubah status menjadi hutan produksi tersebut berada di Bukit Sanggul. Dataran tinggi ini membujur di sisi timur Seluma, berbatasan langsung dengan Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan.
Menurut Def, kasak-kusuk usulan perubahan fungsi kawasan hutan di Seluma ini sudah beredar sejak tiga tahun lalu, seiring dengan dimulainya rencana review atas RTRW Provinsi Bengkulu. Persoalannya, kata dia, selama itu pula proses revisi RTRW yang diiringi usulan perubahan kawasan hutan tak pernah dibuka ke publik. “Tak ada dokumen apa pun yang bisa diakses masyarakat sipil untuk memberikan masukan,” kata dia.
Dia khawatir perubahan fungsi kawasan hutan lindung Bukit Sanggul mengancam ruang hidup komunitas adat di sekitarnya. Sejauh ini, AMAN Bengkulu mengidentifikasi tiga dari 18 komunitas adat di Seluma menetap di lereng dataran tinggi itu, yakni komunitas adat Lubuk Resam, Napal Jungur, dan Lubuk Lagan. Jumlah itu juga sementara lantaran belum semua komunitas adat teridentifikasi oleh AMAN.
“Semuanya belum mendapatkan pengakuan. Wilayah adat mereka juga belum diakui,” kata Def. “Sedangkan hutan lindung mereka sudah diberikan negara untuk perusahaan tambang emas.”
Seorang warga Desa Giri Nanto yang baru pulang berladang dari kawasan hutan Bukit Sanggul di Kabupaten Seluma, Bengkulu, 6 Agustus 2023. TEMPO/Harry Siswoyo
Surat Keputusan Menteri LHK Nomor 533/2023 memang menyebutkan perubahan fungsi kawasan hutan lindung seluas 19.939 hektare di Seluma untuk meningkatkan iklim investasi. Adapun hasil analisis peta perizinan menunjukkan bahwa area seluas 11.841 hektare di antaranya beririsan dengan konsesi PT Energi Swa Dinamika Muda, perusahaan tambang emas yang sebagian sahamnya dikempit mantan Wakil Kepala Kepolisian RI, Makbul Padmanagara, melalui PT Seluma Mughnii Trinugraha.
Hingga kemarin, manajemen PT Energi Swa Dinamika Muda tak membalas permohonan wawancara Koran Tempo yang dilayangkan ke kantor perusahaan di Gedung Data Print Lantai 2, Jakarta Selatan. Namun Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Seluma, Sudarman, membenarkan bahwa Energi Swa Dinamika Muda intens berkomunikasi dengan pemerintah kabupaten dan menyatakan akan segera menambang. “Terakhir pada 2022. Cuma kapan geraknya (beroperasi), masih lama. Bisa jadi 2025,” kata dia.
Sudarman mengklaim perubahan kawasan hutan lindung Bukit Sanggul akan berdampak positif terhadap ekonomi Seluma. Kini, menurut dia, Pemerintah Kabupaten Seluma tengah menunggu pengesahan RTRW Provinsi Bengkulu terbaru. “Yang jelas, kini status hutan sudah berubah. Artinya, langkah pertama sudah,” ujarnya. Dia enggan berkomentar banyak ihwal dampak lingkungan yang akan timbul dari investasi tambang di Bukit Sanggul. “Kami pikirkan nanti bagaimana jalan keluar soal dampaknya.”
Bagi tokoh Komunitas Adat Lubuk Lagan, Ujang, dampaknya sudah tergambar di depan mata. Selama ini, Bukit Sanggul adalah ulu tulung, sumber mata air yang menolong mata air lain. Mata air-mata air itu mengalir ke 10 sungai yang bermuara ke laut di pesisir timur Bengkulu, termasuk Sungai Lagan di kampung Ujang. “Kalau ulu tulung itu rusak, sungai kering. Kalau sungai kering, sawah habis.”
Tipologi masyarakat adat Nyaribungan, Kecamatan Laham, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, yang mengandalkan sungai sebagai bagian dari ruang hidup yang perlu dijaga, 30 Juli 2023. Betahita.id/Aryo Bhawono
Mereka Terbuang dalam Revisi Tata Ruang
Pembaca yang budiman, edisi kali ini merupakan bagian dari laporan khusus “Para Penunggang Revisi Tata Ruang” yang diterbitkan Koran Tempo pada Kamis, 17 Agustus 2023. Berkolaborasi dengan Betahita.id, Koran Tempo mengulas hajatan besar revisi RTRW yang tengah berlangsung di semua provinsi. Revisi serentak dilakukan untuk memenuhi amanat Undang-Undang Cipta Kerja yang merombak berbagai regulasi penataan ruang.
Dalam edisi sebelumnya, Koran Tempo menguak dugaan kepentingan korporasi di balik revisi RTRW serentak tersebut. Bengkulu hanya salah satu contohnya. Di Kalimantan Timur, revisi RTRW juga diikuti rencana perubahan kawasan hutan seluas 11 kali wilayah DKI Jakarta, yang sebagian besar beririsan dengan konsesi perusahaan.
Laporan Khusus Para Penunggang Revisi Tata Ruang
- Sinyal Musim Dagang Revisi Tata Ruang
- Siapa Untung di Revisi RTRW Kalimantan Timur
- Momentum Ekspansi di Luar Konsesi
- Motif Tambang Emas di Alih Fungsi Bukit Sanggul
- Menyulap Air Bangis Jadi Kawasan Industri
Ada kesamaan pola dalam proses revisi RTRW di provinsi-provinsi tersebut. Tak hanya sarat akan dugaan kepentingan investasi, pembahasan di tingkat daerah yang dimonitor oleh pemerintah pusat cenderung tak melibatkan partisipasi publik. Akses terhadap dokumen-dokumen yang berhubungan dengan perubahan tata ruang juga tertutup. “Padahal masyarakat yang akan terkena apa pun dampak dari berubahnya tata ruang di tempat mereka hidup selama ini,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen.
Di Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, misalnya, masyarakat Desa Nyaribungan kini waswas atas rencana pemerintah mengubah fungsi hutan lindung Sungai Ratah-Sungai Nyuatan-Sungai Lawa untuk kepentingan investasi. Warga kampung khawatir dimulainya aktivitas tambang batu bara di hutan lindung akan merusak ruang hidup mereka selama ini. Sedangkan wana itu juga merupakan rumah terakhir bagi beragam satwa, seperti badak Sumatera subspesies Kalimantan (Dicerorhinus sumatrensis harrissoni) yang terancam punah.
Masih di kabupaten yang sama, masyarakat adat Long Isun juga tak pernah mengetahui proses perubahan tata ruang. Revisi RTRW Kalimantan Timur memang diikuti dengan usulan pelepasan kawasan hutan yang selama ini telah menjadi ladang-ladang warga setempat. Namun masalah besar lainnya belum berakhir. Hutan adat mereka, yang entah kapan akan diakui oleh pemerintah, masih menjadi sarang korporasi pemegang perizinan berusaha pemanfaatan hutan pada hutan alam (PBPH-HA).
Sementara itu, warga di desa-desa yang masuk wilayah Ibu Kota Nusantara menghadapi permasalahan berbeda tapi serupa. Revisi RTRW Kalimantan Timur tak lagi mengatur pola ruang dan struktur ruang kampung mereka. Di tengah ketidakpastian soal status tanah, mereka terancam oleh penggusuran, baik untuk kepentingan pembangunan maupun korporasi yang mengklaim menerima sertifikat hak guna bangunan dari pemerintah. Selamat membaca!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Tim Laporan Khusus Koran Tempo
Penanggung jawab: Jajang Jamaludin | Kepala proyek: Agoeng Wijaya | Koordinator kolaborasi: Avit Hidayat | Penulis & penyumbang bahan: Agoeng Wijaya, Avit Hidayat, Andi Adam Faturrahman (Tempo), Fachri Hamzah (Padang), Harry Siswoyo (Bengkulu), Sapri Maulana (Samarinda), Aryo Bhawono, Raden Aryo W. (Betahita.id) | Editor: Yandhrie Arvian, Agoeng Wijaya, Rusman Paraqbueq, Suseno, Reza Maulana | Analis spasial: Adhitya Adhyaksa, Andhika Younastya (Auriga) | Bahasa: Suhud, Tasha Agrippina, Sekar Septiandari, Ogi Raditya | Periset Foto: Ijar Karim, Bintari Rahmanita