Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Rompi Pink untuk Karen

Setelah enam bulan berstatus tersangka, bekas Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, ditahan dalam kasus dugaan korupsi investasi blok minyak di Australia. Kejaksaan menuding proses akuisisi tanpa persetujuan dewan komisaris. Beredar informasi tentang upaya “pemerasan” terhadap Karen.

28 September 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Karen Agustiawan -Ilustrasi: Imam Yunni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULUHAN pesan WhatsApp terus-menerus masuk ke telepon seluler Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman sejak Selasa pagi pekan lalu. Isinya serupa: menyayangkan penahanan mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen Agustiawan. Menurut Adi, para pengirim pesan, yang sebagian besar dikenalnya, menyertakan analisis kasus yang menjerat Karen.

Terlihat kesal, Adi tak terima jika penahanan itu disebut tak tepat. “Apakah mereka ikut penyelidikan kasus ini seperti saya?” ujar Adi kepada Tempo di ruang kerjanya di Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Selasa siang pekan lalu.

Sehari sebelumnya, Karen, yang berstatus tersangka sejak 22 Maret lalu, diperiksa penyidik selama sekitar tujuh jam. Hari itu pertama kalinya ia diperiksa sebagai tersangka. Seusai pemeriksaan, sesuai dengan keputusan Kejaksaan, Karen mengenakan rompi tahanan berwarna pink. Malam itu, dengan berlinang air mata, ia digiring ke mobil tahanan untuk menuju Rumah Tahanan Wanita Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Keputusan penahanan Karen ini hanya berselang dua pekan dengan rapat dengar pendapat Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dan Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam rapat itu, sejumlah anggota Dewan mengaku mendapat informasi bahwa Karen, yang berstatus tersangka Kejaksaan, pernah didatangi orang-orang yang mengaku bisa membantu “memetieskan” kasusnya. Jika Karen tak menyelesaikannya secara “adat”, kasus itu akan terus berlanjut.

Karen Agustiawan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin pekan lalu. -TEMPO/Ryan Dwiky Anggriawan

Prasetyo membenarkan ada pertanyaan soal itu ketika ia melakukan rapat kerja dengan Komisi III DPR. “Sudah saya jelaskan itu tidak benar,” ujarnya. Ia mengatakan penahanan Karen tak ada hubungannya dengan hal tersebut. Karen juga membenarkan pernah didatangi orang yang menawarkan bantuan agar ia terlepas dari kasusnya di Kejaksaan. “Dua kali saya bertemu dengan dia. Soal siapanya, saya tak mau berkomentar,” ujarnya.

Karen menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi akuisisi hak kelola Pertamina atas Blok Basker Manta Gummy milik Anzon/Roc Oil Company Ltd di Victoria, negara bagian di wilayah tenggara Australia, pada 2009. Adi Toegarisman mengklaim memiliki bukti pelanggaran prosedur dalam proses akuisisi tiga blok minyak senilai US$ 31,5 juta tersebut. Kejaksaan pun sudah meminta Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum melarang Karen bepergian ke luar negeri. Kejaksaan juga menetapkan tiga tersangka lain.

Mereka yang ditetapkan sebagai tersangka dengan surat perintah penyidikan tertanggal 22 Maret 2018 berbarengan dengan Karen adalah Direktur Keuangan Pertamina Frederik S.T. Siahaan dan Chief Legal Counsel and Compliance Pertamina Genades Panjaitan. Sedangkan satu lagi adalah Manajer Merger dan Akuisisi Direktorat Hulu Pertamina, Bayu Kristanto, yang ditetapkan menjadi tersangka dengan surat perintah penyidikan pada 23 Januari lalu.

Kejaksaan mengusut kasus ini sejak awal 2017. Puluhan saksi sudah diperiksa. Kejaksaan juga telah memeriksa Dewan Komisaris Pertamina, perwakilan Roc Oil Company di Indonesia, perwakilan Citibank Investment Banking di Indonesia, serta ahli investasi dan pertambangan minyak dan gas. Kejaksaan baru menaikkan status kasus ini ke penyidikan setelah menetapkan Bayu Kristanto sebagai tersangka pada Januari lalu.

Menggunakan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada Juni 2017, Kejaksaan menduga ada kerugian negara sebesar Aus$ 66,2 juta atau setara dengan Rp 568 miliar dari investasi tersebut. Angka itu merupakan nilai perjanjian jual-beli yang diteken Pertamina dengan Roc Oil pada 1 Mei 2009. Melalui anak usahanya, PT Pertamina Hulu Energi, Pertamina mengakuisisi 10 persen saham Roc Oil di Blok Basker Manta Gummy.

Menurut Kejaksaan, Pertamina berasumsi mendapat 812 barel per hari dengan membeli blok tersebut. Tapi, kenyataannya, blok itu pada 2009 hanya menghasilkan minyak mentah untuk Pertamina rata-rata 252 barel per hari. Apalagi, pada 5 November 2010, pemegang saham mayoritas ladang minyak tersebut memutuskan menutup Blok Basker Manta Gummy dengan alasan sudah tidak ekonomis. Karena itu, Karen dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yaitu menguntungkan pihak lain. “Kalau ada due diligence, seharusnya kerugian itu bisa dihindari,” kata Adi.

Adapun Karen berkukuh keputusannya mengakuisisi blok di Australia tersebut sudah benar dan atas persetujuan Dewan Komisaris Pertamina. Ketika itu, lulusan Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung ini baru tiga bulan menjabat Direktur Utama Pertamina. Sebelumnya, Karen menempati posisi Direktur Hulu Energi di perusahaan minyak pelat merah itu.

Blok Australia dipilih, menurut Karen, karena negara itu memiliki fiscal term yang lebih baik ketimbang PSC Indonesia. Mengenai prediksi cadangan yang jauh meleset, menurut Karen, “Cadangan walaupun sudah tersertifikasi tidak menjamin akan sesuai dengan kenyataan, karena dibutuhkan pengeboran beberapa sumur untuk memastikannya.”

PROSES akuisisi bermula saat Roc Oil Company melalui penasihat keuangannya, Citibank Investment Banking, melelang hak pengelolaan di Blok Basker Manta Gummy secara terbatas. Pertamina juga menerima tawaran mengikuti lelang itu pada akhir Januari 2009. Karen saat itu masih menjadi Direktur Pertamina Hulu Energi. Merespons penawaran itu, dia meminta Tim Pengembangan Perencanaan Portofolio Usaha Hulu Pertamina membentuk grup peneliti untuk membuat kajian. Tim peneliti kemudian merekomendasikan bahwa keikutsertaan Pertamina dalam lelang harus menunggu hasil uji tuntas atau due diligence oleh pihak ketiga.

Pada tahap itulah Kejaksaan Agung menilai terjadi pelanggaran. Menurut Adi Toegarisman, uji tuntas yang dilakukan Deloitte dan penasihat hukum Baker & McKenzie Australia—pihak ketiga yang ditunjuk Pertamina—belum tuntas saat penawaran diajukan. “Proses berjalan terus tanpa menunggu hasil due diligence. Feasibility study juga tidak ada,” ujar mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta itu.

Dalam surat jawaban yang dikirim melalui putranya, Karen membantah ketiadaan due diligence. Menurut dia, Deloitte dan penasihat hukum Baker & McKenzie Australia sudah merampungkan draf final uji tuntas sebelum Pertamina mengajukan penawaran kepada Roc Oil. Dalam dokumen hasil kajian Tim Pengembangan Bisnis Direktorat Hulu Pertamina yang menyertakan uji tuntas pihak ketiga, misalnya, disebutkan bahwa lapangan offshore milik Roc Oil di Gippsland Basin di tiga blok itu bisa memproduksi 8.000-11.000 barel minyak per hari.

Dengan akuisisi hak kelola sebesar 15 persen, seperti ditawarkan di awal lelang, Pertamina bisa mendapat tambahan cadangan 2P (proven and probable) atau sekitar 50 persen dari 2,9 million stock tank barrels (MMSTB, satuan ukur minyak). Pertamina juga diperkirakan mendapat tambahan cadangan pasti—berasal dari sumur langsung—4,5 MMSTB minyak dan 37,4 million standard cubic feet per day gas. Sedangkan tambahan cadangan terkira—dari potensi sumur yang belum tergarap—sebesar 10,7 million barrels of oil equivalent.


 

Blok Australia dipilih, menurut Karen, karena negara itu memiliki fiscal term yang lebih baik ketimbang PSC Indonesia. Mengenai prediksi cadangan yang jauh meleset, menurut Karen, “Cadangan walaupun sudah tersertifikasi tidak menjamin akan sesuai dengan kenyataan, karena dibutuhkan pengeboran beberapa sumur untuk memastikannya.”

 


 

Dokumen yang salinannya diperoleh Tempo itu juga menunjukkan bahwa sistem fiskal petroleum resource rent tax yang berlaku di negara bagian tempat tiga blok tersebut berada dinilai bakal menguntungkan Pertamina. Dengan sistem fiskal itu, Pertamina cukup membayar pajak korporat dan super tax sebesar 40 persen dari total produksi. Sedangkan hasil produksinya dikantongi sepenuhnya oleh Pertamina. “Akuisisi tiga blok itu bisa menjadi pintu masuk Pertamina beroperasi di Australia,” kata Manajer Merger dan Akuisisi Direktorat Hulu Pertamina Bayu Kristanto.

Hasil kajian sementara itu kemudian diteruskan ke direksi dan Dewan Komisaris Pertamina untuk mendapat persetujuan. Di hadapan Komite Investasi dan Risiko Usaha Dewan Komisaris Pertamina, Karen Agustiawan—dilantik sebagai Direktur Utama Pertamina pada 5 Februari 2009—memaparkan usul investasi pada 19 Maret 2009.

Sebulan berselang, Karen menyampaikan kepada dewan komisaris bahwa usul akuisisi telah dievaluasi dari aspek teknis, komersial, keuangan, dan legal. Draf kajian tim teknis Pertamina, financial advisor Deloitte, dan legal advisor Baker & McKenzie Australia tersebut rampung pada 16 April 2009. Draf itu digunakan Karen untuk mendapat persetujuan dari dewan komisaris dan digunakan sebagai acuan untuk mendaftar pralelang keesokan harinya. Draf itu baru difinalkan sepekan kemudian.

Membutuhkan tanda tangan dewan komisaris, Karen mengirimkan memo tertanggal 22 April kepada direksi yang isinya membutuhkan persetujuan untuk aksi korporasi. Dewan komisaris menyetujui usul direksi untuk mengikuti lelang Blok Basker Manta Gummy yang diberi kata sandi “project diamond” alias “proyek berlian”. Dari tujuh komisaris, hanya satu yang tidak membubuhkan tanda tangan. Setelah mendapat lampu hijau, perwakilan direksi mengajukan lelang.

Dengan hasil uji tuntas yang bersifat final dan disertai restu dewan komisaris, Pertamina mengikuti tahap lelang yang ditutup pada 1 Mei. Hasilnya, Pertamina memenangi akuisisi hak kelola tersebut. Pada pertengahan Mei, tim Pertamina dan Roc Oil serta Citibank Investment Banking bertemu di Sydney dan menyepakati harga penawaran Pertamina. Berbeda dengan tawaran di awal sebesar 15 persen hak kelola, angkanya berubah menjadi 10 persen.

Sepekan kemudian, Pertamina, yang diwakili Direktur Keuangan Frederik S.T. Siahaan, dan Roc Oil membahas sales purchase agreement. Hasil kesepakatan itu disampaikan ke dewan komisaris.

Namun memorandum balasan yang dikirim dewan komisaris pada 27 Mei, atau bertepatan dengan penandatanganan perjanjian jual-beli, tak sesuai dengan harapan. Dewan komisaris, yang telah menandatangani persetujuan keikutsertaan lelang, justru berbalik arah. Dalam memo yang salinannya diperoleh Tempo itu terlihat bahwa dewan komisaris mengingatkan agar direksi tidak meneken sales purchase agreement. Meski telah menerima hasil kajian pihak ketiga, dewan komisaris menilai hasil hak kelola di Blok Basker Manta Gummy relatif kecil. Dewan komisaris juga menyatakan akuisisi hak kelola dianggap tidak mendukung strategi penambahan cadangan dan produksi Pertamina.

Dalam memorandum yang sama, dewan komisaris menuding Karen melanggar janji yang disampaikan saat bertemu dengan dua komisaris, Umar Said dan Humayunbosha, di Gedung Komisariat pada 30 April 2009, yakni keikutsertaan itu hanya untuk melatih pegawai dalam proses lelang di luar negeri. Sedangkan investasi pembelian participating interest di Blok Basker Manta Gummy bukanlah tujuan, bahkan akan dihindari.

Memorandum usulan investasi non-rutin project diamond. -Dokumentasi TEMPO/Tommy Satria

Inilah yang membuat Kejaksaan Agung menuding keikutsertaan Pertamina dalam lelang tak mendapat persetujuan dewan komisaris. Sesuai dengan Anggaran Dasar Pertamina, persetujuan komisaris diperlukan sebelum perusahaan mengikuti lelang. Menurut Adi Toegarisman, awalnya dewan komisaris memang menyetujui permintaan Karen mengikuti lelang akuisisi. Tapi, kata Adi, dewan komisaris setuju lantaran Karen menyatakan keikutsertaan itu hanya merupakan latihan bagi pegawai Pertamina untuk mengikuti lelang internasional.

Dimintai tanggapan soal ini, Komisaris Pertamina Humayunbosha membenarkan isi surat dewan komisaris tertanggal 27 Mei 2009. “Pada prinsipnya tidak menyetujui proses pembelian hak kelola di BMG (Basker Manta Gummy) Australia,” ujar Humayunbosha. Namun dia menolak menjelaskan soal pernyataan Karen bahwa lelang tersebut hanya pelatihan. “Saya no comment terhadap pertanyaan lain,” katanya.

Adi Toegarisman menilai proses mendapatkan persetujuan dari dewan komisaris menjadi fakta hukum bahwa ada niat jahat atau mens rea dari Karen dalam proses akuisisi blok milik Roc Oil itu. “Ini kebenaran materiil,” ujarnya.

Karen membantah tudingan jaksa bahwa tujuan mengikuti lelang untuk melatih pegawai. “Tidak benar,” ucapnya. Menurut dia, dalam pelelangan, apalagi yang sifatnya internasional, tidak dikenal adanya bidding pelatihan.

Menurut Karen, dewan komisaris memang sempat meminta kontrak jual-beli dibatalkan. Namun, dengan pembatalan itu, reputasi Pertamina akan turun. Direksi juga meminta pendapat pihak ketiga, Baker & McKenzie, soal kemungkinan membatalkan kontrak tersebut. Hasilnya, Pertamina bisa kehilangan deposit (bid bond) senilai US$ 3 juta atau dituntut hingga US$ 31,4 juta jika tak melanjutkan kontrak jual-beli.

Dalam dokumen surat-menyurat antara Pertamina dan Roc Oil, terlihat bahwa Pertamina meminta perpanjangan waktu pembayaran. Tapi perusahaan hulu minyak yang beroperasi di Australia, Malaysia, dan Cina itu menyampaikan kekecewaannya. Roc Oil menyatakan akan menuntut ganti rugi apabila Pertamina menarik diri dari transaksi. Aksi membatalkan kontrak itu dianggap merusak rencana pendanaan, kegiatan operasional, serta reputasi Roc Oil sebagai perusahaan publik.

Selain dari segi due diligence dan persetujuan dewan komisaris, Kejaksaan Agung menyoroti isi perjanjian jual-beli. Adi Toegarisman mengatakan Pertamina memasukkan upside potential ratio (ukuran pengembalian aset investasi relatif terhadap pengembalian minimum yang dapat diterima) dalam kontrak jual-beli itu. Berangkat dari hasil penelitian, mestinya upside potential tidak boleh dimasukkan. “Seharusnya dilarang. Memasukkan harga itu kan tidak boleh,” katanya.

Menurut Adi, perubahan penawaran hak kelola dari 15 persen dengan harga US$ 35 juta menjadi 10 persen seharga US$ 31,5 juta juga janggal. “Ini tidak sesuai dengan diskusi awal, kan, lebih mahal,” ujarnya. Kuasa hukum Karen, Soesilo Aribowo, mengatakan perubahan itu bukan keinginan Pertamina. “Penjual yang meminta Pertamina mengajukan alternatif penawaran,” ujar Soesilo.

LINDA TRIANITA, RUSMAN PARAQBUEQ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Linda Trianita

Linda Trianita

Berkarier di Tempo sejak 2013, alumni Universitas Brawijaya ini meliput isu korupsi dan kriminal. Kini redaktur di Desk Hukum majalah Tempo. Fellow program Investigasi Bersama Tempo, program kerja sama Tempo, Tempo Institute, dan Free Press Unlimited dari Belanda, dengan liputan mengenai penggunaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit yang melibatkan perusahaan multinasional. Mengikuti Oslo Tropical Forest Forum 2018 di Norwegia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus