Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Dikubur Dulu, Bangkit Kemudian

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemeriksaan anggota DPR merupakan langkah mundur. Bertentangan dengan putusan terdahulu.

28 September 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDEK benar ingatan Mahkamah Konstitusi bila kita merujuk pada putusannya pekan lalu tentang pemeriksaan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terkena kasus pidana. Tiga tahun silam, Mahkamah membatalkan syarat izin presiden untuk memeriksa kepala daerah yang terkena kasus korupsi. Pekan lalu, tatkala memutus uji materi pemeriksaan anggota DPR, Mahkamah Konstitusi ibaratnya menghidupkan apa yang telah dia kuburkan.

Keputusan mewajibkan izin presiden dalam pemeriksaan kasus pidana anggota DPR itu menambah panjang daftar "keistimewaan" pejabat negara. Dari hakim Mahkamah Konstitusi, hakim Mahkamah Agung, pemimpin dan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia, pejabat Badan Pemeriksa Keuangan, hingga jaksa. Perlu ada permisi khusus dari otoritas tertinggi eksekutif semacam presiden dan Jaksa Agung untuk memeriksa kasus pidana mereka. Kini Mahkamah Konstitusi menambahkan DPR ke dalam "daftar khusus" itu.

Argumentasi Ketua Mahkamah Konstitusi tentang perlunya "checks and balances" pihak eksekutif ke legislatif memburamkan logika kita. Saling mengawasi dan mengontrol di antara kedua lembaga negara itu tentu amat perlu dalam pelaksanaan tugas masing-masing. Namun kenapa pula eksekutif harus ikut mengurusi ihwal pidana anggota parlemen? Justru fungsi penegakan hukum kudu disegerakan karena urusan kontrol-mengontrol ternyata tidak mempan.

Perkara ini bermula dari gugatan Perkumpulan Masyarakat Pembaruan Peradilan terhadap Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Pasal ini mewajibkan penegak hukum meminta izin Mahkamah Kehormatan Dewan bila menyelidiki anggota DPR.

Para penggugat memohon uji materi pasal ini, yang dipandang diskriminatif dan melanggar asas persamaan di depan hukum. Namun Mahkamah terlihat "murah hati" dalam putusannya. Permintaan membatalkan hak istimewa DPR malah dijawab dengan putusan yang mewajibkan izin presiden dalam pemeriksaan kasus pidana anggota parlemen.

Aturan-aturan yang memproteksi para anggota Dewan dengan alasan "hak konstitusional mereka harus diimbangi perlindungan hukum yang memadai" seolah-olah menyatakan mereka perlu mendapat perlindungan hukum lebih dari warga negara lain. Padahal, sebagai wakil rakyat, yang ditopang berbagai fasilitas negara, mereka harus memberi contoh di garda paling depan dalam urusan penegakan hukum.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kejaksaan Agung membuat kajian khusus pada 2008 tentang izin pemeriksaan pejabat. Kesimpulannya, syarat izin presiden bertentangan dengan asas peradilan pidana semacam persamaan di depan hukum. Antara lain, peradilan cepat, biaya ringan, dan independensi kekuasaan kehakiman. Nah, prosedur izin yang pasti makan waktu-karena tugas presiden tentu berjibun-berpotensi membuka upaya bagi pejabat yang terjerembap untuk berbuat lebih nekat, dari melenyapkan barang bukti hingga menyuap saksi.

Bola kini berada di tangan presiden. Kepada pemimpin tertinggi eksekutif, kita sungguh perlu mendesakkan urgensi ini: jangan tunda surat izin periksa kasus pidana anggota DPR.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus