Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Artis Sandra Dewi dipanggil sebagai saksi dalam persidangan terdakwa kasus korupsi timah suaminya, Harvey Moeis pada Kamis, 10 Oktober 2024 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam kesaksiannya, Sandra menyebut selama pernikahan tidak pernah meminta Harvey Moeis untuk memenuhi kebutuhan pribadinya lantaran dari awal mereka sudah memutuskan untuk pisah harta sebelum menikah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya tidak mau karena saya punya penghasilan yang cukup dari single. Saya wanita yang mandiri, kenapa saya harus minta uang kepada suami," ujarnya.
Mendengar jawaban Sandra Dewi, majelis hakim pun merasa heran. Sebab, Harvey selaku suami Sandra justru tidak pernah memberi uang maupun hadiah.
Dalam kesempatan itu, Sandra ia hanya memiliki cincin pertunangan dan cincin kawin yang berasal dari uang suaminya, Harvey Moeis. Sedangkan, untuk kendaraan yang dikendarainya atas nama Harvey. "Mobil bukan atas nama saya, semua atas nama suami saya. Kecuali, yang saya beli sendiri," katanya.
Menurut Sandra Dewi, penghasilan Harvey diperuntukan sebagai biaya kebutuhan rumah tangga, seperti uang sekolah anak, listrik, gaji pekerja, dan semua urusan rumah tangga.
Apa itu perjanjian pisah harta?
Perjanjian pisah harta atau lebih dikenal dengan istilah prenuptial agreement semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia. Khususnya bagi mereka yang hendak melangsungkan pernikahan. Perjanjian ini dipandang penting untuk menjaga hak-hak pasangan terkait kepemilikan harta selama menjalani bahtera rumah tangga.
Dilansir dari laman unair.ac.id, perjanjian pisah harta adalah kesepakatan antara suami dan istri yang dibuat sebelum pernikahan berlangsung. Kesepakatan ini mencakup pemisahan harta milik masing-masing pasangan, sehingga setelah pernikahan, suami dan istri memiliki kepemilikan harta secara terpisah dan tidak menyatu secara hukum.
Dengan adanya perjanjian ini, harta yang dimiliki oleh suami tidak akan dianggap sebagai harta milik istri, begitu pula sebaliknya. Selain itu, setiap pendapatan atau harta yang diperoleh selama pernikahan juga akan dikelola dan dimiliki secara terpisah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
Salah satu alasan utama mengapa perjanjian ini sering kali dibuat adalah untuk melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam hal kepemilikan dan pengelolaan harta, termasuk juga untuk menjaga agar kepentingan anak-anak atau keluarga tidak terabaikan jika terjadi masalah di kemudian hari.
Perjanjian pisah harta memiliki landasan hukum yang kuat dalam sistem hukum di Indonesia. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 119 yang mengatur tentang harta bersama yang secara otomatis terbentuk saat pernikahan, kecuali jika ada perjanjian pisah harta.
Selain itu, aturan ini juga ditegaskan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam undang-undang ini, disebutkan bahwa perjanjian pisah harta dapat dilakukan sebelum atau pada saat pernikahan berlangsung dan harus dicatatkan di hadapan notaris.
Namun, meskipun perjanjian ini sudah dapat dicatatkan di hadapan notaris, keabsahan perjanjian baru dianggap sah setelah pernikahan dilakukan dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) atau catatan sipil. Artinya, perjanjian pisah harta yang dibuat sebelum pernikahan tidak akan berlaku jika pernikahan itu sendiri tidak terlaksana atau tidak tercatat secara hukum.
Dalam perjanjian pisah harta, terdapat beberapa kategori harta yang umumnya diatur. Pertama, harta yang diperoleh sebelum pernikahan. Harta ini bisa berasal dari berbagai sumber, seperti warisan, hadiah, atau hibah.
Misalnya, jika salah satu pasangan telah memiliki properti atau aset tertentu sebelum menikah, aset tersebut akan tetap menjadi miliknya dan tidak akan berpindah hak kepemilikannya kepada pasangan lain.
Kedua, harta yang diperoleh selama masa pernikahan. Dalam hal ini, setiap aset yang diperoleh, baik oleh suami maupun istri, selama masa pernikahan akan tetap dimiliki secara terpisah sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian. Ini termasuk pendapatan, investasi, dan aset lainnya.
Keuntungan utama dari perjanjian pisah harta ini adalah meminimalkan risiko perselisihan harta jika terjadi perceraian atau perpisahan. Selain itu, perjanjian ini juga memberikan perlindungan bagi pihak-pihak ketiga yang memiliki kepentingan terkait harta pasangan, seperti anak dari pernikahan sebelumnya atau anggota keluarga lainnya.
Perjanjian pisah harta tidak bisa dibuat secara sembarangan. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar perjanjian ini sah secara hukum. Pertama, perjanjian ini harus dibuat sebelum pernikahan berlangsung. Kedua, perjanjian harus disahkan oleh notaris dalam bentuk akta autentik. Hal ini bertujuan agar perjanjian tersebut memiliki kekuatan hukum yang jelas dan tidak bisa diganggu gugat oleh pihak lain.
Selain itu, kedua belah pihak yang membuat perjanjian harus dalam kondisi sadar dan tanpa paksaan. Ini berarti, setiap keputusan yang diambil dalam perjanjian harus benar-benar disepakati oleh kedua belah pihak tanpa ada tekanan dari pihak ketiga. Jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian pisah harta dapat dianggap batal atau tidak sah di mata hukum.
Meskipun perjanjian pisah harta memiliki banyak keuntungan, ada juga beberapa kekurangan yang perlu dipertimbangkan oleh pasangan sebelum memutuskan untuk membuat perjanjian ini.
Keuntungan utama dari perjanjian pisah harta adalah memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap harta masing-masing pasangan. Ini sangat berguna jika salah satu pasangan memiliki usaha atau bisnis yang berisiko tinggi, sehingga potensi kerugian tidak akan memengaruhi harta pasangan lainnya. Selain itu, perjanjian ini juga dapat mencegah perselisihan harta jika terjadi perceraian di kemudian hari.
Namun, di sisi lain, beberapa pihak menganggap bahwa perjanjian pisah harta dapat mengurangi rasa kebersamaan dan kepercayaan antara pasangan. Pasalnya, perjanjian ini seolah-olah menunjukkan bahwa masing-masing pasangan tidak mau berbagi harta yang dimiliki. Bagi sebagian orang, hal ini bisa menimbulkan ketidaknyamanan atau bahkan menjadi sumber konflik dalam hubungan.
MICHELLE GABRIELA | MUTIA YUANTISYA