Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Kisah Polisi Pengawal Truk

Sukardi sudah lama melakoni pekerjaan sampingan mengawal iring-iringan truk kontainer. Penambal gaji yang minim.

23 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELAS kopi yang isinya tersisa setengah masih terhidang di tengah meja. Tak ada barang lain di meja tempat kerja Brigadir Kepala Sukardi, anggota provos Direktorat Kepolisian Perairan Badan Pemelihara Keamanan Markas Besar Polri, itu. Kopi yang sama masih ada di situ pada Rabu pekan lalu, sepekan lebih setelah ia tewas ditembak di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan.

Tiap pagi Sukardi minum kopi, sejak ia bertugas di kantor provos kepolisian perairan pada 2003. Menurut Sumiarto, rekan sekantornya, mereka selalu minum kopi bersama di meja masing-masing. "Kopi yang masih terhidang itu cara kami mengenang dia," ujarnya kepada Tempo.

Menurut Sumiarto, Sukardi begitu memperhatikan teman-temannya yang bekerja di bagian pengaduan dan pelayanan. Muhibi, yang meja kerjanya bersebelahan dengannya, mengatakan Sukardi suka menolong. "Ia pendiam tapi ramah," katanya.

Kendati berteman lama, Sumiarto mengaku tidak tahu pekerjaan sampingan Sukardi. Lelaki 46 tahun itu dikenalnya sebagai polisi penuh dedikasi. "Ia hampir tak pernah cuti, absen, atau datang terlambat ke kantor," ujarnya.

Sumiarto memiliki kenangan khusus dengan Sukardi, beberapa jam sebelum terbunuh. Selasa sore dua pekan lalu, ketika mereka bersiap-siap pulang, Sukardi tiba-tiba datang menghampirinya. Ia menanyakan keaslian cangklong dari gading gajah yang diberikan Sumiarto beberapa hari sebelumnya.

Pemberiannya diragukan, Sumiarto lalu menunjukkan cara membuktikan gading itu palsu atau bukan. Sehelai rambut putih Sukardi dipotongnya dengan gunting dan dililitkan ke pipa rokok itu. "Saya lalu membakar rambut itu dan ternyata tidak putus," katanya. "Saat itu dia percaya pipa itu terbuat dari gading asli."

Sukardi kemudian keluar dari ruang kerja menuju pohon nangka, tepat di depan pos penjagaan. Rimbun pohon menjadi tempat melepas penat anggota provos sebelum beranjak pulang. Sambil merokok, Brigadir Kepala Muhibi berkelakar bahwa Sukardi akan segera naik pangkat. "Dia hanya tersenyum mendengar itu," ujarnya.

Malam harinya, Muhibi mendapat kabar bahwa sahabatnya itu tewas ditembak. Markas Besar Kepolisian menaikkan pangkatnya. "Pak Kardi memang naik pangkat dengan gelar anumerta ajun inspektur dua," kata Sumiarto dengan suara bergetar.

Sumiarto mengaku terkejut mengetahui Sukardi ditembak ketika sedang mengawal konvoi truk pengangkut alat berat. "Pekerjaan itu melanggar kode etik," ujarnya. "Sukardi pasti tahu itu."

Meski Sukardi merahasiakannya kepada teman sekerja, pekerjaan sampingan memberi jasa pengawalan pribadi ternyata sudah lama dia lakukan. Istri Sukardi, Tirta Sari, menceritakan bahwa "bisnis" ini sudah menjadi pekerjaan rutin sang suami. "Itu cara Bapak mencari tambahan pendapatan," katanya. Dengan pangkat brigadir kepala, Sukardi menerima gaji Rp 3,8 juta setiap bulan.

Tirta mengenang suaminya pernah mengalami kecelakaan saat mengawal iring-iringan truk kontainer di Bekasi pada 11 Desember 2012. Sekitar pukul 23.00, sepeda motor yang dikendarainya terjatuh. Sukardi mengalami patah kaki dan tangan kanan. "Sempat dirawat di rumah sakit satu hari, Bapak minta dibawa ke dukun patah tulang saja," ujar Tirta.

Lahir di Tulungagung, Jawa Timur, pada 15 Oktober 1967 dari pasangan Said dan Surati, Sukardi menamatkan pendidikan Sekolah Tamtama Polri pada 1990. Dengan pangkat prajurit satu, dia ditugasi pertama kali di kapal patroli.

Setahun berdinas, Sukardi menikahi Tirta, yang dikenalnya saat mengontrak sebuah rumah di kompleks Perumnas Klender, Jakarta Timur. Mereka kemudian memperoleh tiga anak: dua perempuan dan satu lelaki. Sukardi menyelesaikan pendidikan sekolah bintara pada 1997.

Menurut Tirta, pada awal-awal pernikahan mereka, kehidupan ekonomi keluarga bisa tercukupi dari gaji yang diterima suaminya setiap bulan. Namun, ketika anak-anak sudah mulai masuk sekolah, kebutuhan ekonomi semakin meningkat. "Saat itu Bapak mulai bekerja mencari tambahan di luar," katanya.

Pekerjaan sampingan yang pertama kali dilakoni Sukardi adalah menjadi penjaga malam di beberapa kantor. Namun itu dilakukan hanya sesekali. Baru pada 2000-2004, Sukardi menjadi penjaga malam tetap di sebuah pusat belanja di kawasan Kranji, Bekasi, Jawa Barat.

Pekerjaan sebagai penjaga malam tidak mengganggu aktivitasnya sebagai polisi. Saban hari, Sukardi selalu pulang dari kantor pada pukul 18.00. Kemudian, pukul 21.00, dia akan langsung berangkat kerja sebagai penjaga malam, dan baru kembali ke rumahnya di kompleks asrama polisi di Cipinang, Jakarta Timur, pada subuh. "Setelah mandi dan sarapan, dia langsung ­berangkat ke kantor," ujar Tirta. "Seperti itu setiap hari selama empat tahun."

Sukardi mulai beralih pekerjaan menjadi pengawal iring-iringan truk kontainer ketika lulus menjadi anggota provos. Meski tidak rutin, menurut Tirta, selalu saja ada tawaran kepada Sukardi untuk memberi jasa pengawalan. "Pekerjaan sampingan itu tidak mengganggu karena selalu dilakukan pada malam hari atau saat bebas tugas," katanya.

Menurut perempuan 44 tahun ini, dari cerita sang suami, uang yang diterima dari jasa mengawal truk kontainer adalah Rp 1,5-2 juta setiap kali bertugas. "Tapi saya tidak tahu apakah untuk Bapak sendiri atau dibagi-bagi ke yang lain," ujarnya.

Sumber Tempo di sebuah perusahaan ekspedisi mengatakan Sukardi sering dipakai oleh perusahaan angkutan kontainer karena posisinya sebagai anggota provos. Jasa dia diperlukan agar iring-iringan truk yang mengangkut barang menuju gudang bongkar tidak diberhentikan polisi lalu lintas di sepanjang jalan. "Logo provos di lengannya menjadi jaminan tidak akan ada razia dari polisi lain," katanya.

Menurut dia, tugas itu biasanya tidak dilakukan seorang diri, tapi berkelompok tiga-empat orang. Sebab, biasanya dalam paket pengawalan itu, selain ada yang mengendarai sepeda motor, ada petugas yang menumpang di setiap truk kontainer. Sumber tadi mengatakan pekerjaan sampingan biasa dilakukan banyak anggota provos.

Kepala Kepolisian RI Jenderal Timur Pradopo mengatakan dugaan adanya pekerjaan sampingan yang dilakukan Sukardi masih terus ditelusuri. Menurut dia, informasi soal itu akan menjadi evaluasi internal kepolisian. "Kami akan mengevaluasi kesejahteraan personel," ujarnya.

Tirta mengatakan pekerjaan sampingan suaminya hanya cukup menyangga kebutuhan sehari-hari. Menurut dia, hingga sekarang, keluarganya masih tinggal di rumah dinas yang sederhana. "Sewaktu anak sulung masuk kuliah, kami terpaksa menggadaikan SK pegawai Bapak ke bank," katanya.

Dua hari menjelang ajal menjemput, Sukardi menyampaikan sebuah rencana kepada sang istri. Ia mengatakan ingin membuka perusahaan ekspedisi sebagai bekal pensiun. "Tidak jelas dari mana modalnya," ujar Tirta, menirukan suaminya.

Setri Yasra, Maria Hasugian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus