Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RONALD, bukan nama sebenarnya, mengendarai sepeda motor di jalur lambat Jalan Rasuna Said, Jakarta Selatan. Pelan-pelan saja, sekitar 40 kilometer per jam. Pada Selasa malam dua pekan lalu itu, jalan dari arah Menteng mulai lengang. Pria 38 tahun ini melihat hanya beberapa mobil melintas.
Arsitek yang sedang dalam perjalanan pulang ini melihat konvoi truk melaju di depannya. Seseorang berseragam polisi mengendarai sepeda motor tampak di depan barisan truk pengangkut material berat itu. Ronald berniat mendahului konvoi, tapi mengurungkannya. "Saya agak capek, ngapain ngebut," tuturnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Melewati halte di depan Menara Imperium, sekitar 100 meter sebelum gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Ronald terperanjat ketika sepeda motor menderu di sampingnya. Ia melihat sepeda motor itu—yang ia perkirakan bermerek Yamaha Jupiter—ditumpangi dua orang berboncengan. Belum hilang kagetnya, Ronald kembali disalip sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Kali ini hanya dikendarai satu orang.
Merasa kesal, Ronald mengarahkan sepeda motornya ke kanan jalur. Ia mengamati motor-motor yang melaju cepat itu. Cahaya lampu dari gedung komisi antikorupsi dan papan reklame besar di sampingnya menerangi jalan. Ronald menyaksikan satu sepeda motor berusaha sejajar dengan polisi pengawal konvoi, lalu pemboncengnya mengeluarkan sesuatu dari jaketnya yang berwarna gelap.
Tiba-tiba terdengar letusan keras. "Pembonceng menembak polisi itu dengan tangan kiri," kata Ronald, yang meminta identitasnya tidak ditulis jelas dengan alasan keamanan. Sepeda motor sang polisi oleng, pengendaraÂnya tersungkur ke aspal.
Ronald ketakutan dan segera menepikan sepeda motornya. Tapi ia penasaran dan mengendap-endap mencari tahu apa yang terjadi. Ia bersembunyi di balik truk yang segera berhenti begitu letusan terdengar. Dari situ, ia melihat sepeda motor yang ditumpangi dua orang telah berhenti. Pemboncengnya turun dan berbalik ke polisi yang terkapar.
Penembak itu menggenggam senjata di tangan kanannya. "Dari jarak dekat, mungkin sekitar tiga meter, ia kembali menembak bagian atas tubuh polisi itu," ujar Ronald. Kemudian "algojo" itu mendekati korbannya sebelum dengan tenang berjalan ke arah temannya yang menunggu di atas sepeda motor di depan gerbang keluar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi.
Bunyi letusan beruntun mengagetkan sejumlah petugas keamanan gedung Komisi. Mereka berhamburan ke tempat polisi tersungkur. Menurut Ronald, baru setelah itu orang berdatangan dari arah warung-warung di Jalan Pedurenan, tepat di sisi kanan gedung KPK.
Belakangan, Ronald mengetahui polisi korban penembakan itu bernama Brigadir Kepala Sukardi, anggota provos Direktorat Kepolisian Perairan Badan Pemelihara Keamanan Markas Besar Polri. Ia tewas di tempat. Di tubuhnya ditemukan empat luka tembak: di lambung kiri, lengan kiri, bahu kiri, dan dada.
Ronald beberapa kali memotret kejadian itu dengan kamera BlackBerry-nya. Sayang, sinar kuat papan reklame membuat hasil jepretannya buyar. Foto yang jelas adalah hasil jepretan setelah orang ramai datang dan ia bisa mendekati korban. Ketika Tempo mengecek data pemotretannya, tertulis di situ pukul 22.20.
SUKARDI, 46 tahun, bertugas di Direktorat Kepolisian Perairan Tanjung Priok sejak 1993. Awalnya menjalankan tugas patroli, sejak 2003 ia menduduki kursi Kepala Unit Pemeliharaan dan Ketertiban Disiplin. Menurut Tirta Sari, istrinya, ia terbiasa pulang larut.
Sehari sebelum mengalami nahas, Sukardi baru tiba di tempat tinggalnya, kompleks asrama polisi Cipinang Baru Raya, Jatinegara, Jakarta Timur, pada dinihari. Wajahnya kuyu, kata Tirta, terlihat mengantuk dan letih.
Sukardi tidur tiga jam, sebelum Tirta membangunkannya selepas subuh. Ia biasa berangkat pukul 05.30 dan tiba di kantor setengah jam kemudian. Pagi itu ia tak sarapan, hanya meneguk segelas air mineral, lalu pamit kepada istrinya. Ia tak sempat bertegur sapa dengan tiga anaknya, yang masih terlelap.
Pria kelahiran Tulungagung, Jawa Timur, itu meninggalkan rumah dengan sepeda motor Honda Supra X 125. Tirta tidak pernah bertanya kenapa suaminya kerap pulang larut. Ia tahu Sukardi punya pekerjaan sampingan menyediakan jasa pengawalan. "Bapak bilang saya enggak boleh tahu," ujarnya.
Sudah menjadi rahasia umum, menurut aktivis buruh pengangkutan di Pelabuhan Tanjung Priok, aparat keamanan punya kerja sampingan. Mereka mengawal truk-truk Âpengangkut barang keluar-masuk pelabuhan agar aman dari cegatan polisi lalu lintas.
Tiba di kantor pukul enam pagi, Sukardi masuk ruang kerjanya, yang berukuran sekitar 3 x 6 meter. Ia memiliki empat anak buah, yang membantunya menerima pengaduan soal perilaku menyimpang polisi perairan.
Pagi itu, dari dalam tasnya, Sukardi mengeluarkan bungkusan, lalu menyerahkannya ke Sumiarto, rekan kerjanya yang baru selesai piket malam. "Ini nasi uduk. Saya beli di dekat rumah," kata Sumiarto, menirukan Sukardi pada pagi terakhirnya. Pertemanan Sukardi dan teman-temannya sangat erat. Mereka biasa membuat kopi kental yang diseruput ramai-ramai.
Seharian bekerja di kantor, pada sore harinya Sukardi beres-beres hendak meninggalkan kantor. Mendadak ia teringat pada cangklong gading gajah hadiah dari Sumiarto. Ia ragu terhadap keaslian gadingnya. Sumiarto tertawa, lalu menunjukkan cara membuktikannya. Diambilnya gunting untuk memotong sehelai rambut putih Sukardi. "Rambut saya lilitkan ke pipa gading, lalu saya bakar. Rambutnya enggak putus, berarti gadingnya asli," kata Sumiarto, tertawa. Menurut dia, Sukardi pun tergelak.
Keduanya lalu berjalan ke luar ruangan. Sekitar pukul empat sore, Sukardi meninggalkan kantor. Namun, menurut Muhibi, rekannya, ia kembali ke kantor dua jam kemudian. Satu jam di sana, Sukardi, yang ketika itu mengenakan jaket hitam, pergi lagi bersepeda motor.
MALAM itu PT Lautan Jaya Kumala berencana mengangkut perangkat elevator dari gudang di Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Cilincing, Jakarta Utara, menuju proyeknya di Kuningan. Perusahaan ini menggunakan jasa transportasi PT Sarana Lintas Caraka.
Menurut Supendi, karyawan PT Lautan Jaya Kumala, enam truk berkonvoi keluar dari gudang pada Selasa malam sekitar pukul 20.00. Rombongan kendaraan itu mengangkut besi rel elevator atawa lift.
Ika, karyawan penyedia jasa pengangkut Sarana Lintas Caraka, mengatakan perusahaannya sudah menghubungi Sukardi untuk mengawal konvoi truk melalui seseorang yang dipanggil "Pak Pito". "Kami sudah lama bermitra dengan Pak Sukardi," kata Ika ketika ditemui di kantornya Rabu pekan lalu.
Tirta Sari menuturkan, "Pak Pito" sering memberikan pekerjaan sampingan untuk suaminya sebagai pengawal truk di sekitar Jakarta. "Pernah diminta mengawal sampai daerah Jawa Barat," ujarnya.
Edi Musari, bos PT Sarana Lintas Caraka, enggan menanggapi soal kerja sama perusahaannya dengan Sukardi. "Sudah diserahkan semuanya kepada polisi," katanya.
Sekitar pukul 21.00, Sukardi bertemu dengan para sopir rombongan truk di Plumpang, Jakarta Utara. Yusman, 45 tahun, salah seorang pengemudi truk, menuturkan mereka meneruskan perjalanan bersama-sama dengan pengawalan Sukardi. Rute yang dilalui adalah Jalan Yos Sudarso, Cempaka Putih, perempatan Senen, Pramuka, Manggarai, Pasar Rumput, lalu Jalan Rasuna Said. "Jalanan lancar. Pak Sukardi di depan, " ujar Yusman, pengemudi truk Hino berpelat nomor polisi hitam B-9567-HR.
Ronald bertemu dengan rombongan itu di ujung Jalan Rasuna Said. Ia mengingat dengan detail para pengemudi sepeda motor yang melewatinya dan ternyata mengejar Sukardi. Yang sangat jelas, kata dia, pria pembonceng bertubuh tegap. Tingginya sekitar 170 sentimeter—sama dengan ukuran tubuh Ronald.
Menurut dia, pria itu mengenakan helm, menggunakan masker berwarna gelap, dan tidak memakai sarung tangan. Tubuhnya mengenakan jaket hitam dan celana jins hitam. Sepatu sportnya terlihat menggunakan strip biru-putih—mirip produk Adidas. Sebagai arsitek, bukan hal aneh jika Ronald bisa menggambarkan sesuatu dengan cepat.
Tempo mengajak Ronald merekonstruksi pengakuannya pada Rabu malam pekan lalu. Ia dengan lancar menggambar posisinya pada malam Sukardi ditembak, lokasi truk, dan tempatnya bersembunyi. Dari jarak yang dia ceritakan, bisa terlihat lokasi penembakan yang diterangi lampu papan reklame dan sinar dari gedung KPK.
Keterangan Ronald hanya sedikit berbeda dengan informasi lain yang dikumpulkan Tempo. Menurut polisi yang sudah menyaksikan rekaman kamera keamanan, ada sepeda motor lain yang berhenti di depan gedung KPK. Pengemudinya berjalan mengikuti penembak ketika mendekati kembali Sukardi yang telah terkapar.
Penembak Sukardi juga mengambil pistolnya. Tapi Ronald mengatakan tidak melihat hal itu. "Yang saya lihat, penembak itu berjalan tenang sekali ketika menembak kembali dengan tangan kanan," katanya.
SEPEKAN lewat setelah penembakan, polisi belum menemukan jejak pelakunya. Menurut sejumlah penyidik, mereka belum banyak memperoleh data. Penyidik baru menelusuri kemungkinan motif melalui penelusuran kehidupan pribadi Sukardi. Polisi juga meminta keterangan pengelola perusahaan yang menggunakan jasa pengawalan Sukardi.
"Dari rekaman sekitar 50 kamera keamanan, hanya rekaman dari KPK yang menunjukkan peristiwa penembakan. Namun itu pun tidak bisa menunjukkan apa-apa tentang pelaku penembakan," ujar seorang penyidik.
Pada Jumat sore pekan lalu, tiga penyidik berpakaian sipil mendatangi kantor PT Sarana Lintas Caraka. Sekitar satu jam mereka di sana. Syahrir, pegawai administrasi perusahaan itu, mengatakan ketiga penyidik dari Markas Besar Polri itu datang untuk meminta keterangan "Pak Pito".
Juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Ronny F. Sompie, mengatakan kepolisian belum bisa menentukan indikasi pelaku penembak Sukardi. "Masih diselidiki," katanya Jumat pekan lalu. "Kalau tiga kasus penembakan sebelumnya, jelas teroris. Penembakan Bripka Sukardi belum jelas."
Seorang perwira polisi mengatakan indikasi penembak Sukardi bukan teroris terlihat pada cara pelaku membunuh. Teroris, kata dia, umumnya menembak dengan kebencian kepada polisi. "Mereka hampir pasti akan menembak ke arah kepala, ciri pelaku memiliki kebencian," tuturnya.
Penembak Sukardi mengarahkan peluru ke arah perut. "Pelaku memastikan korbannya meninggal, tapi melakukannya tanpa kebencian," kata sang perwira.
Tirta Sari mengatakan sudah banyak memberikan keterangan kepada penyidik agar bisa mengungkap pembunuhan suaminya. Sambil terisak, ia mengatakan, "Kami keluarga berharap pelakunya bisa ditangkap agar diketahui mengapa ia membunuh suami saya."
Maria Hasugian, Setri Yasra, Amri Mahbub, Khairul Anam
Eksekusi Malam di Gerbang KPK
Pukul 19.00
Sukardi meninggalkan kantornya di Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Pukul 20.00
Enam truk pengangkut peralatan berat untuk elevator meninggalkan gudang penyimpanan di Kawasan Berikat Nusantara Marunda, Cilincing, Jakarta Utara. Sukardi mengawal konvoi ini dari Plumpang.
Pukul 22.10
Konvoi enam truk yang dikawal Sukardi memasuki Jalan Rasuna Said dari arah Menteng, Jakarta Pusat.
Pukul 22.15
Ronald—bukan nama sebenarnya—mengendarai sepeda motor berkecepatan 40 kilometer per jam masuk Jalan Rasuna Said dari arah Menteng. Seratus meter sebelum sampai gedung KPK, dia berada tepat di belakang konvoi truk. Tiba-tiba ia disalip dua sepeda motor dengan kecepatan tinggi—satu motor di antaranya, ada kemungkinan Yamaha Jupiter atau sepeda motor pria, ditumpangi dua orang.
Pukul 22.18
Saksi melihat pembonceng Jupiter mengeluarkan senjata dari jaket, lalu menembak Sukardi tepat dari sisi kanannya menggunakan tangan kiri. Sepeda motor Sukardi oleng. Sang Brigadir tersungkur.
Pukul 22.20
Pengendara Jupiter menghentikan sepeda motornya tepat di depan gedung KPK. Pembonceng turun dan kembali menghampiri Sukardi, yang tergeletak di aspal. Dari jarak 2-3 meter, ia menembak lagi perut Sukardi dengan tangan kanan. Sang algojo lalu kembali ke sepeda motor, yang segera melesat.
Sang Algojo
Menurut Ronald, arsitek yang bisa cepat mengidentifikasi visual, penembak Sukardi berciri-ciri:
» Bertubuh tegap
» Tinggi badan sekitar 170 sentimeter
» Memakai helm berwarna gelap
» Mengenakan penutup mulut warna gelap
» Tidak menggunakan sarung tangan
» Bercelana jins dan memakai jaket warna gelap
» Bersepatu sport strip biru-putih—mirip ciri khas Adidas
Sasaran Tembak
DALAM tiga bulan terakhir, enam polisi menjadi sasaran penembakan. Hampir semua ditembak ketika sedang mengendarai sepeda motor.
27 Juli
Ajun Inspektur Dua Patah Saktiyono (anggota Kepolisian Sektor Gambir, Jakarta Pusat)
7 Agustus
Ajun Inspektur Satu Dwiyatna(anggota Pembinaan Masyarakat Polsek Metro Cilandak, Jakarta Selatan)
16 Agustus
Brigadir Kepala Maulana dan Ajun Inspektur Dua Kus Hendratma, (anggota Polsek Pondok Aren, Tangerang Selatan)
10 September
Brigadir Kepala Sukardi(anggota provos Direktorat Kepolisian Perairan Markas Besar Kepolisian RI)
13 September
Brigadir Satu Ruslan(anggota Unit Sabhara Mabes Polri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo