Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
FOTO hitam-putih Sri Sultan Hamengku Buwono VII bersanding dengan anaknya, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Djoeminah, ditaruh paling depan di ruang pameran foto dan arsip Pusat Latihan Tari Seni Bagong Kussudiardja, Bantul, Yogyakarta, minggu-minggu ini. Pameran foto bertajuk ”Ruang Waktu Bagong Kussudiardja” ini digelar untuk menyambut temu akbar alumnus padepokan Bagong, yang berlangsung pada 18-20 Oktober 2018. Tahun ini adalah 60 tahun berdirinya Pusat Latihan Tari Bagong Kussudiardja dan 40 tahun Padepokan Seni Bagong Kussudiardja.
Bila masih hidup, usia Bagong tahun ini adalah 90 tahun. Dia lahir pada 9 Oktober 1928 dan wafat pada 11 Juni 2004. Foto di atas sangat spesial buat keluarga Bagong Kussudiardja. Tak banyak yang tahu bahwa Bagong adalah keturunan Hamengku Buwono VII.
Bagong Kussudiardja lahir dari pasangan Raden Bekel Atma Tjondro Sentono dan Siti Aminah. Bekel Atma Tjondro Sentono adalah anak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Djoeminah. Riwayat kesenimanan Bagong yang sering melahirkan karya tari yang dianggap ”menyimpang” dan ”memberontak” tari klasik Jawa mungkin menitis dari KGPAA Djoeminah.
Sultan Hamengkubuwana VII, kakek dari Bagong Kussudiarja. -REPRO/TEMPO/Yovita Amalia
Jarang orang mengetahui riwayat KGPAA Djoeminah. Kakek Bagong ini adalah putra mahkota yang dianggap pembelot oleh Belanda. Djoeminah dianggap terlalu dekat dengan rakyat. Belanda mencap Djoeminah sebagai pangeran gila karena ia sangat suka mendalami mistik. Belanda tidak ingin kesultanan Yogya diwariskan kepada Djoeminah. Belanda kemudian mengasingkan Djoeminah di Ndalem Mangkubumen. Sri Sultan Hamengku Buwono VII sendiri pada usia 81 tahun memutuskan turun takhta. Keputusan tersebut tak lepas dari desakan pemerintah Belanda yang ingin menerapkan program reorganisasi agraria. Hamengku Buwono VII merasa program itu sebagai penyempitan ruang geraknya sebagai Sultan Yogyakarta. Dia kemudian menunjuk penggantinya, Gusti Raden Mas Sujadi, sebagai Sultan Hamengku Buwono VIII. Sementara itu, di rumah pengasingan, Djoeminah dianggap menderita sakit malaria. Dia kemudian meninggal secara misterius.
Djoeminah dimakamkan di Kotagede, Yogyakarta, bukan di makam Imogiri, yang merupakan makam raja-raja dan keluarga raja dari Kesultanan Mataram. ”Peristiwa itu sungguh menyakitkan buat trah Djoeminah. Eyang Djoeminah putra mahkota dan tidak dimakamkan di Imogiri,” ujar Djaduk Ferianto, komposer dan salah satu dari tujuh anak Bagong Kussudiardja. Djaduk menduga sikap pemberontakan Djoeminah dan nasib Djoeminah yang disingkirkan bahkan sampai saat dia wafat diam-diam sangat mempengaruhi ayahnya.
Djaduk melihat karya tari ciptaan Bagong Kussudiardja yang berani keluar dari pakem tari Jawa klasik ala Keraton Yogyakarta, misalnya tari Bedhaya Gendheng, sesungguhnya, meski tak pernah diungkapkan secara eksplisit oleh Bagong, merupakan turunan dari ”rasa sakit” dan sikap anti-kemapanan KGPAA Djoeminah terhadap keraton dan Belanda. Tari Bedhaya Gendheng merupakan pengembangan dari tari Bedhaya Keraton Yogyakarta. Tapi tari kreasi Bagong keluar dari pakem tari Bedhaya klasik.
Pada tari Bedhaya Gendheng, semua penari mengenakan kostum berwarna putih dengan iringan musik yang sangat cepat. Latar panggung berbentuk segitiga dan menggunakan kain putih permanen. Bedhaya Gendheng berlawanan dengan musik pada tari Bedoyo yang pelan. ”Pak Bagong memberi shock therapy buat penari,” kata koreografer Maria Magdalena Ngatini, yang belajar tari kepada Bagong sejak 1979 hingga Bagong wafat pada 2004. ”Para bangsawan Keraton Yogyakarta menganggap Bedhaya Gendheng merusak tari Jawa klasik,” Djaduk menambahkan.
Pameran dengan kurator dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Suwarno Wisetrotomo, ini berlangsung pada 29 September-3 November 2018. Suwarno menemukan bahwa Bagong ternyata dokumentator yang baik. Dia meninggalkan warisan berupa dokumen, dari sketsa, catatan koreografi pola lantai, konsep tari, surat, puisi, sampai catatan kelahiran anak pertamanya sejak lahir hingga masa pertumbuhan. Bagong juga menyimpan karya-karya fotografinya ketika ia menjadi pegawai negeri di Jawatan Kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta. Artikel-artikelnya yang ditulis secara kritis di media massa juga ia simpan. ”Beberapa arsip menguning dan menjamur,” ujar Suwarno.
Butet Kertaredjasa (kiri) dan Djoko Pekik, Bantul, Yogyakarta, September lalu. -TEMPO/Shinta Maharani
Namun, dari sekian arsip yang ditinggalkan Bagong, memang tidak ada tulisan khusus dari Bagong mengenai kakeknya yang dilupakan sejarah itu. Dan apakah kakek Bagong itu sangat mempengaruhi sikap-sikap Bagong dalam mencipta karya tari dan memandang kesenian dari keraton memang belum ada penelitian khusus. Djaduk hanya ingat, sebelum meninggal, Bagong berwasiat agar Djaduk dan Butet Kartaredjasa tidak mencampuri urusan internal Keraton Yogyakarta. Terutama berhubungan dengan peristiwa KGPAA Djoeminah, yang disingkirkan dari Keraton Yogyakarta.
Djaduk ingat keturunan Hamengku Buwono VII, yakni trah Djoeminah, sempat dihapus dari Keraton Yogyakarta. Dia mengatakan ayahnya pernah mengalami putus asa terhadap masalah itu. Adik kandung Bagong, Handung Kussudyarsana, kemudian berusaha mengurus silsilah keturunan Djoeminah. Bagong, yang merupakan keturunan langsung Hamengku Buwono VII dan KGPAA Djoeminah, juga tak menginginkan anak-cucunya memakai gelar kebangsawanan Keraton Yogyakarta walaupun sesungguhnya mereka berhak menggunakannya. Bagong hanya berpesan kepada Djaduk dan Butet bahwa mereka harus sekuat tenaga meneruskan keberlangsungan padepokan. ”Padepokan ini ibaratnya bagi Bapak merupakan kadipaten atau keraton sendiri. Semua keturunan Djoeminah harus membuktikan kemampuan di keratonnya sendiri, yaitu padepokan tari ini,” kata Djaduk.
Djaduk Ferianto di Bantul, Yogyakarta, September lalu. -TEMPO/Shinta Maharani
BAGONG Kussudiardja pertama kali belajar menari kepada kakaknya, Kuswadji Kawindrasusanto, yang mendalami seni tari Jawa klasik gaya Yogyakarta. ”Kegemarannya pada seni tari membawa bapak saya belajar menari di Krido Bekso Wiromo di bawah asuhan GPH Tedjakusuma,” ujar Djaduk Ferianto. Sekolah tari gaya Yogyakarta bernama Krido Bekso Wiromo didirikan pada masa Hamengku Buwono VII. Sekolah itu tidak hanya diperuntukkan buat orang lingkungan keraton, tapi juga siapa pun yang punya minat belajar tari. Menurut Djaduk, pengikut Krido Bekso Wiromo kebanyakan petani asal Kabupaten Bantul dan buruh pengikut Suryodiningrat. Gusti Pangeran Harya Tedjakusuma kerap ikut diskusi Seloso Kliwon bersama Ki Hadjar Dewantara.
Bagong muda dikenal luas sebagai spesialis penari tarian tokoh prajurit kera atau Anggada, tarian klasik gaya Yogyakarta. Purwadmadi Admadipurwa, penulis buku Joget mBagong: Di Sebalik Tarian Bagong Kussudiardja, menyebutkan, selain berguru kepada GPH Tedjakusuma, Bagong belajar tari Jawa gaya Surakarta kepada sejumlah guru serta tari Bali kepada Ni Ketut Reneng dan Ida Bagus Budhe.
Bagong juga belajar tari Sunda kepada pelopor tari kreasi Sunda, Cece Sumantri; tari Sumatera atau Melayu kepada Sauti dari Medan; tari Kalimantan atau Dayak; dan tari Sulawesi. Pada 1954, dia mengikuti misi kebudayaan dan pertukaran kesenian ke banyak negara Eropa, Asia Timur, Amerika, Amerika Latin, dan ASEAN.
Bagong bersama Wisnu Wardhana mendapatkan beasiswa dari Rockefeller Foundation untuk belajar balet modern kepada Martha Graham di Martha Graham Modern Dance School, New York, dan Connecticut College Jacob’s Pillow University of the Dance, Amerika Serikat, pada 1957. Dalam foto hitam-putih yang dipamerkan, terdapat foto Bagong sedang berlatih bersama murid-murid Graham. Selain itu, Bagong tampak sedang berdiri bersama maestro tari Wisnu Wardhana mengenakan beskap, jarit motif batik parang, dan blangkon. Dari Martha Graham-lah Bagong menyerap teknik kontraksi dalam tari.
Bagong Kussudiardja (kanan) di Marta Graham, Amerika, pada 1950-an. -REPRO/TEMPO/Yovita Amalia
Setelah hampir dua tahun belajar di Amerika, Bagong kembali ke Tanah Air. Dia menciptakan tari Layang-layang, yang menggunakan teknik tari balet. Layang-layang merupakan pengembangan dari tari Manu Tranggana, yang dibuat Bagong sebelum bertolak ke Negeri Abang Sam. Pada versi awal, para penari menggunakan selendang Jawa dan penutup kepala. Tapi kemudian penari mengenakan kaus sebagai kostum. Bagong juga mengecap latihan tari India di New Delhi dan mempelajari sejumlah tarian Jepang di sela belajar seni rupa di Kyoto, Jepang. ”Bagong haus pengalaman baru dan suka bekerja keras menciptakan karya seni baru,” kata Purwadmadi Admadipurwa.
Koreografer Sutopo T.B. menyebutkan wawasan, konsep, materi pemahaman, dan teknik tari Bagong Kussudiardja merupakan kompilasi, mozaik, dan gabungan dari semua elemen yang mempengaruhi serta membentuknya sebagai koreografer. Sutopo merujuk pada buku stensil Tehnik Tari, yang dibuat pada 1983 dan menjadi pegangan serta bacaan murid-murid Bagong dalam mengolah gerak, berbasis tari Jawa sebagai dasar gerak dasar.
Murid Bagong yang juga koreografer, Bimo Wiwohatmo, menyebutkan pola lantai menjadi kekuatan dan ciri khas koreografi Bagong. Dalam seni rupa, pola lantai berbicara bagaimana membagi ruang supaya imbang atau justru menciptakan disharmoni. ”Pak Bagong sangat sadar ruang. Dia selalu ingin bagaimana penonton bisa melihat dari banyak sudut pandang, bukan hanya satu arah,” ujar Bimo. Menurut Bimo, Bagong lebih suka berpentas dengan latar panggung model tapal kuda. Ini agar penonton bisa menikmati karyanya dari sisi mana pun.
SELAIN Bedhaya Gendheng, tari Kuda-kuda karya Bagong Kussudiardja pernah dianggap merusak pakem tari Jawa klasik. Bagong menciptakan tari Kuda-kuda setelah ia pulang dari menjalankan misi kebudayaan pada 1954. Dalam tarian itu, dia menggambarkan orang belajar naik kuda. Ia merombak pakem tari Jawa klasik dengan mengubah durasi waktu tari, jumlah penari, dan iringan musik. Bagong hanya menampilkan dua penari. Gending pangkur pengiring tari dia ganti dengan pengrawit dari Solo karena ia menganggap itu lebih dinamis.
Kenakalan-kenakalan Bagong juga muncul ketika dia menciptakan tari bertema Yesus. Bagong sebelumnya muslim. Sepulang dari Amerika pada 1967, ia mulai aktif di Gereja Kristen Baptist. Pendeta David Soemarto kemudian membaptis Bagong pada 1968. Tatkala mendalami kekristenan, Bagong menciptakan karya bertema Yesus yang mengagetkan.
Adalah fakta bahwa sebelum film drama musikal Amerika berjudul Jesus Christ Superstar arahan sutradara Norman Jewison muncul pada 1973, Bagong telah menciptakan tarian tentang Yesus. Pada 1969, ia membuat sendratari kolosal tentang kelahiran dan kebangkitan Yesus. Dalam sendratari itu, Yesus diperankan oleh F.B. Suharto. Pertunjukan itu dilangsungkan di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta. Sendratari Yesus menjadi peristiwa besar buat orang Nasrani karena Yesus untuk pertama kali dalam peristiwa kebangkitan digambarkan sedang berjoget atau menari.
Bagong Kussudiardja dan kostum Tari Layang. -REPRO/TEMPO/Yovita Amalia
Pada 1990-an, Bagong menciptakan koreografi tentang Yesus yang lebih nakal berjudul Anteng. Ada adegan Yesus disalib, tapi kemudian Yesus turun dari salib, lalu berkeliling dengan menaiki sepeda. Menurut Djaduk Ferianto kepada Bagong, sejumlah pendeta dan pengamat seni tari bertanya tentang maksud tarian itu. Bagong menjawab bahwa maksud tarian itu adalah Tuhan ada di mana-mana. ”Tuhan ngepit (bersepeda), ke mana-mana, termasuk di angkringan,” ucap Djaduk menirukan jawaban bapaknya.
Imajinasi liar Bagong tidak hanya berhenti pada tari, tapi juga seni lukis batik. Pada 1972, ia melukis citraan Yesus yang disalib dengan wajah berupa wayang. Lukisan ini fenomenal. Terkesan magis. Juga terkesan sebuah Katolik Jawa yang surealis, tapi amat memancarkan citra kekudusan. Lukisan ini ia hadiahkan kepada Paus Paulus II di Vatikan.
Bagong Kussudiardja bertemu dengan Paus Paulus VI. -REPRO/TEMPO/Yovita Amalia
Pertemuan Bagong dan Paus Paulus VI tergambar melalui foto yang dipamerkan di padepokan. Anda bisa menyaksikan bagaimana Bagong saat bertemu dengan Paus Paulus VI di Vatikan. Bagong mengenakan lurik dan blangkon khas Jawa. Dia bersimpuh di hadapan Paus Paulus VI. Bagong meletakkan dua tangan Paus Paulus VI pada keningnya.
SHINTA MAHARANI, SENO JOKO SUYONO
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo