Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanpa tedeng aling-aling, Eni Maulani Saragih menjawab semua pertanyaan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis pekan lalu. Kader Partai Golkar itu blakblakan mengungkap lobi-lobi dan pengawalan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1.
Di persidangan, Eni juga menyatakan secara terang-benderang peran dan jatah imbalan untuk bos PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Sofyan Basir, beserta jajarannya. ”Waktu itu disampaikan kalau ada rezeki dibagi bertiga. Saya bilang Pak -Sofyan bagiannya yang paling the best-lah,” kata mantan Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat itu menirukan ucapan Johannes Budisutrisno Kotjo dalam sebuah pertemuan.
Eni menjadi saksi dalam sidang perkara suap pengadaan proyek PLTU Mulut Tambang Riau-1 dengan terdakwa Johannes Budisutrisno Kotjo. Menurut Eni, pembahasan mengenai imbalan untuk Sofyan itu terjadi di Hotel Fairmont, Jakarta, pada akhir 2017. Saat itu, Eni sedang melakukan pertemuan bersama Sofyan dan Kotjo, bos PT Samantaka Batubara, yang akan menyediakan batu bara untuk PLTU tersebut.
Menurut Eni, Sofyan dalam pertemuan itu mengatakan bahwa dia yang seharusnya mendapat jatah terbanyak karena yang paling berperan mengawal proyek PLTU tersebut. ”Karena Bu Eni yang fight di sini, harus dapat yang the best-lah,” ujar Eni menirukan ucapan Sofyan. Namun saat itu Eni belum tahu jatah yang disediakan untuk Sofyan. Eni sendiri dijanjikan Kotjo mendapat bagian US$ 1,5 juta.
Seusai obrolan mengenai jatah besel itu, dua anak buah Sofyan menyusul ke Hotel Fairmont. Mereka adalah Direktur Pengadaan Strategis 1 Nicke Widyawati dan Direktur Pengadaan Strategis 2 Supangkat Iwan Santoso. Dalam kesempatan itu, Kotjo- berkeberatan atas persyaratan kesepakatan penjualan listrik (power purchase agreement) perusahaan patungan antara anak usaha PLN, PT Perusahaan Jawa Bali Investasi (PJBI), China Huadian Engine-ering Company Ltd, dan BlackGold Natural Resources Ltd.
Kotjo, yang saat itu juga pemilik BlackGold, dan agen Huadian meminta masa pengendalian pembangkit selama 20 tahun setelah tanggal operasi komersial. Namun Sofyan, berdasarkan pertimbangan teknis dari Nicke dan Supangkat, menawarkan masa pengendalian 15 tahun. ”Dikarenakan adanya keberatan Pak Kotjo sehingga belum dihasilkan kesepakatan,” ucap Eni.
Jaksa Ronald F. Worotikan mengatakan pertemuan Eni dengan trio pejabat PLN itu terjadi beberapa kali sejak 2016. Tiga pejabat di kantor pusat PLN di Jalan Trunojoyo, Melawai, Jakarta Selatan, tak lain Sofyan, Nicke, dan Supangkat. Pertemuan awal mengenai proyek PLTU ini di gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Di sela-sela rapat Komisi Energi dan PLN itu, Eni menyampaikan kepada Sofyan cs bahwa ia diberi tugas oleh Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto membahas soal proyek PLTU.
Menurut jaksa, Sofyan mengaku sudah tahu proyek yang dimaksudkan karena pernah membahasnya di kediaman Setya. Kala itu, Setya meminta proyek 2 x 1.000 PLTGU Jawa III. Namun Sofyan menyatakan proyek di Jawa sudah ada kandidatnya, yang masih tersedia di Sumatera.
Tindak lanjut dari pertemuan itu, PLN lantas memasukkan proyek pembangkit ini ke Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2016-2025. PLTU Riau-1 merupakan pembangkit tenaga batu bara yang menggunakan skema mulut tambang. Skema ini mengharuskan pembangunan pembangkit tidak jauh dari lokasi tambang pemasok batu bara sehingga bisa menghemat biaya logistik.
Skema proyek pembangkit ini juga mensyaratkan pembentukan perusahaan patungan yang terdiri atas PT PLN atau anak usahanya dan badan usaha milik swasta baik dalam maupun luar negeri. Dalam perusahaan patungan itu, 51 persen saham harus dikuasai PLN dan sisanya swasta. ”Nicke saat itu masih Direktur Pengadaan Strategis 1. Jadi mungkin terkait dengan pemasukan RUPTL serta teknis lain berupa penunjukan langsung PT PJBI,” ujar jaksa Ronald.
Untuk pembahasan teknisnya, Johannes Budisutrisno Kotjo beberapa kali datang ke kantor pusat PLN. Di ruangan Sofyan Basir, ia mendapat penjelasan dari Supangkat Iwan Santoso mengenai mekanisme pembangunan proyek pembangkit yang mengacu pada aturan tadi. Kotjo pun menyanggupi persyaratan bahwa pihak swasta harus bersedia sebagai penyedia dana.
Ia juga berhasil menjadikan perusahaannya, PT Samantaka Batubara, sebagai mitra pemasok batu bara untuk pembangkit di Peranap, Indragiri Hulu, Riau, itu. Meski sudah resmi menjadi mitra pemasok batu bara, Kotjo masih belum mendapat kepastian membangun megaproyek senilai Rp 12,78 triliun itu. Ia meminta bantuan Eni Saragih untuk meyakinkan Sofyan lagi melalui pertemuan di Plaza Senayan, Jakarta.
Dua pekan setelah pertemuan di Senayan itu, PLN melalui PT PJBI dan PLN Batubara meneken kontrak induk dengan Huadian dan BlackGold. Tiap pengusaha dalam kontrak induk akan bekerja sama dalam bentuk konsorsium untuk pembangunan proyek PLTU Mulut Tambang Riau-1. Komposisi sahamnya adalah PT PJBI 51 persen, Huadian 37 persen, dan BlackGold 12 persen.
Sebulan kemudian, penandatanganan letter of intent oleh Supangkat Iwan Santoso. Isi surat itu mengenai masa kontrak 15 tahun dan tarif dasar 5,49 sen dolar Amerika Serikat. Huadian dan BlackGold belum ikut menandatangani kesepakatan itu karena masih merasa ada ganjalan mengenai masa kontrak seperti harapan mereka sekitar 20 tahun.
Karena buntu dalam penentuan masa kontrak inilah Eni Saragih dan Johannes Kotjo kerap melobi Sofyan Basir. Dalam kesempatan itu, Eni meminta jatah yang dijanjikan Setya Novanto itu kepada Kotjo, yang digunakan untuk kebutuhan operasi partai ataupun pribadi. Pada sekitar Mei 2018, Eni mendatangi kediaman Sofyan di Bendungan Hilir, Jakarta. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Supangkat Iwan Santoso itu, Sofyan menanyakan mengenai kesepakatan pembayaran penjualan listrik.
Supangkat menjelaskan belum sepakat memenuhi persyaratan jangka waktu selama 15 tahun dan masih berkeinginan 20 tahun. Eni meminta Sofyan agar proses kesepakatan segera dilakukan. Namun Sofyan menyatakan, jika Huadian dan BlackGold berkukuh, megaproyek ini akan diserahkan kepada pihak lain.
Masih belum ada kejelasan, Eni dan Kotjo- kembali bertemu dengan Sofyan di Hotel Fairmont pada Juli 2018. Topik yang dibahas masih sama: soal jangka waktu pengelolaan PLTU Riau-1 oleh swasta sebelum diserahkan kepada negara atau PLN. Mereka juga membahas proyeksi PLTU Mulut Tambang Riau-2. Seusai pertemuan itu, kata Eni, Sofyan meminta berbicara empat mata dengan Kotjo. Eni lantas undur diri. ”Saya tidak tahu lagi yang dibahas Pak -Sofyan dengan Pak Kotjo karena saya pulang,” ujarnya.
Jaksa Ronald mengatakan akan menggali isi obrolan antara Sofyan dan Kotjo dalam pertemuan di Fairmont itu. Sejauh ini pengakuan adanya janji untuk diberikan jatah imbalan kepada Sofyan baru dari Eni. ”Ini yang akan kami tanyakan ke Pak -Sofyan dalam sidang nanti. Akan kami hadirkan juga Pak Supangkat,” ucap Ronald.
Tim jaksa juga masih menelusuri sumber fee yang disiapkan untuk Sofyan dari Kotjo yang diambilkan dari jatah 2,5 persen dari nilai proyek itu atau alokasi lain. Menurut dia, pemberian hadiah atau janji ini diatur dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ”Dari janji itu harus ada alat bukti, siapa yang mengetahui janji itu dan siapa yang menjanjikan. Kami harus cari lagi keterangan yang lain,” kata Ronald.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan fakta persidangan menjadi fakta penting dalam mengembangkan kasus ini. ”Nanti akan tergantung bagaimana penyidik mengembangkannya,” ujar Saut. Namun yang pasti, kata dia, status Sofyan cs hingga saat ini belum berubah alias masih sebagai saksi. ”Pimpinan memperhatikan kasus strategis ini dengan detail,” ucapnya.
Adapun Johannes Budisutrisno Kotjo menyangkal jika disebut menyiapkan jatah fee untuk Sofyan Basir. ”Enggak ada, enggak ada,” ujarnya. Kotjo bungkam saat ditanya soal topik pembicaraan dengan -Sofyan di Hotel Fairmont itu. Ihwal pertemuan dengan anak buah Sofyan, Nicke Widyawati dan Supangkat Iwan Santoso, Kotjo membenarkan, tapi enggan menjelaskan detailnya.
Sofyan Basir membantah terlibat pengaturan dan pembahasan jatah fee dalam proyek pembangkit di Riau itu. Namun ia tidak menyangkal ada beberapa pertemuan. Dia mengakui proyek ini belum ada kesepakatan final. ”Kesepakatan operasi sekian tahunnya itu belum,” ujar Sofyan. Setya Novanto juga membantah terlibat pembahasan fee dan pengaturan megaproyek itu. ”Saya tidak ada kaitannya,” kata Setya.
Dimintai konfirmasi mengenai pertemuan-pertemuannya mendampingi Sofyan Basir dengan Eni Saragih itu, Nicke Widyawati tak merespons pesan pendek ataupun surat yang dikirimkan Tempo. Setelah diperiksa KPK pada 17 September lalu, Nicke menolak memberikan penjelasan saat ditanyai wartawan tentang informasi pertemuan dia dengan Eni dan Johannes Kotjo dalam beberapa kesempatan. ”Detail penjelasan tentu tidak bisa disampaikan di sini,” ujarnya.
LINDA TRIANITA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo