Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Encep Sudarwan sampai tak ingat berapa kali perwakilan Bank Dunia datang ke kantornya di Gedung Syafruddin Prawiranegara, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Direktur Barang Milik Negara itu bercerita, sejak akhir tahun lalu, tim dari kedua lembaga intensif bertemu di Jakarta.
Mereka ngebut merampungkan konsep strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana untuk menekan biaya pemulihan serta rekonstruksi pascabencana. Targetnya, pembahasan kelar sebelum pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia digelar pada 8-14 Oktober 2018. “Bank Dunia memberi masukan agar pembiayaan dan asuransi ini tak dianggap sebagai kerugian negara,” kata Encep saat ditemui di Hotel Westin Nusa Dua, Bali, Rabu pekan lalu.
Penyusunan strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana digarap dua tim Kementerian Keuangan. Badan Kebijakan Fiskal mengurus sisi kebijakan makro, sementara Direktorat Jenderal Kekayaan Negara bertugas mendata semua aset negara yang akan diasuransikan untuk menekan ongkos pemulihan dan rekonstruksi pascabencana.
Indonesia satu di antara 35 negara di dunia yang berpotensi kehilangan banyak korban jiwa bila bencana alam tiba. Risiko besar lain disebabkan oleh kualitas infrastruktur yang tak tahan bencana. Sepanjang 2000-2016, rata-rata kerugian ekonomi akibat bencana alam mencapai Rp 22,8 triliun per tahun. Saat gempa dan tsunami menyapu Sumatera pada 2004, kerugian materiil diperkirakan Rp 51,4 triliun. Bahkan, dalam dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2004-2014, total kerugian mencapai Rp 126,7 triliun.
Pemerintah sebenarnya selalu menyiapkan dana cadangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun angkanya jauh lebih rendah ketimbang nilai kerugian yang timbul. Alokasi dana cadangan bencana rata-rata hanya Rp 4,4 triliun. Jumlah itu tak sampai 20 persen dari total kerugian ekonomi. Dalam penanganan bencana Aceh dan Sumatera Utara, alokasi anggaran negara hanya Rp 3,3 triliun. Sebagian besar biaya revitalisasi ditutup dari dana sosial masyarakat dan bantuan lembaga internasional, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).
Karena itu, Kementerian Keuangan berencana mengasuransikan aset-aset negara agar biaya rekonstruksi tak hanya ditanggung pemerintah. Bulan lalu, Direktorat Jenderal Kekayaan Negara selesai menghitung 1.570 unit aset yang dikelola Kementerian Keuangan. Total valuasinya Rp 11 triliun. Mereka menyeleksi tanah, bangunan, gedung perkantoran, dan jembatan yang berkualitas baik agar memiliki nilai klaim asuransi tinggi.
Selanjutnya, pemerintah menawarkan aset-aset tersebut kepada industri asuransi. Direktur Jenderal Kekayaan Negara Isa Rachmatarwata mengatakan proses seleksi untuk memilih perusahaan asuransi belum final. Pemerintah tak ingin hanya satu perusahaan asuransi yang menanggung risiko atas ribuan aset negara. Belakangan, Isa mesti berkonsultasi dengan Otoritas Jasa Keuangan sebagai regulator industri asuransi dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. “Agar tahu mana asuransi yang sehat, dan tidak timbul isu monopoli,” ujar Isa.
Asuransi bukan satu-satunya opsi. Menurut Staf Ahli Bidang Kebijakan, Regulasi Jasa Keuangan, dan Pasar Modal Kementerian Keuangan Arif Baharudin, Bank Dunia juga mengirimkan tim ahli dari negara-negara yang rentan terkena dampak bencana, seperti Jepang, Filipina, dan Meksiko. Para ahli memberikan pelatihan penyusunan mekanisme pembiayaan sebelum dan sesudah bencana, yaitu masa tanggap darurat, pemulihan, serta pembangunan kembali.
Kementerian Keuangan melibatkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan akademikus dari Institut Teknologi Bandung serta Universitas Syiah Kuala, Aceh. Pada Desember tahun lalu, tim menggelar seminar di Padang. Pemerintah Kota Padang telah memiliki beberapa skema asuransi perlindungan risiko bencana alam.
Menurut Arif, pemerintah perlu merancang beberapa jenis pembiayaan bencana sesuai dengan risiko frekuensi dan dampak kerugian. Misalnya APBN hanya membiayai periode tanggap darurat yang membutuhkan biaya tak besar, seperti untuk evakuasi korban dan penyediaan kebutuhan makanan, kesehatan, air bersih, serta sanitasi.
Adapun pada fase pemulihan dengan tingkat kerugian sedang, pemerintah bisa memanfaatkan dana pinjaman dari bank pembangunan multilateral, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Ada pula skema dana gabungan (pooling fund) yang berasal dari alokasi APBN, sisa lebih anggaran berjalan, dana hasil penerbitan surat berharga negara, pinjaman bank multilateral, dan bantuan swasta. Untuk menampung dana ini, pemerintah bisa membuka rekening khusus di Bank Indonesia, menugasi badan usaha milik negara, atau membentuk badan layanan umum khusus. “Risiko terbesar, seperti rekonstruksi bangunan, bisa ditransfer ke orang lain dengan skema asuransi,” tutur Arif.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara mengatakan tahap rekonstruksi pascabencana selalu membutuhkan dana jumbo. Kerusakan infrastruktur menyebabkan pemerintah daerah lumpuh tanpa pemasukan. Tahun-tahun berikutnya, pemerintah daerah harus menyusun proyek prioritas untuk membangun kembali infrastruktur yang rusak. “Makanya kami mencari cara supaya tak menggeser-geser anggaran terus,” ucap Suahasil.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan rencana pemerintah mengasuransikan aset negara dalam rangkaian pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia di Nusa Dua, pekan lalu. Tujuannya agar pemerintah tak melulu bergantung pada APBN dan bantuan lembaga internasional ketika bencana tiba. “Bagaimana mengelola bencana, risiko fiskal? Yaitu dengan asuransi aset negara dan aset masyarakat,” ujar Kalla dalam pidatonya, Rabu pekan lalu.
Pembicara lain dalam seminar itu adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basoeki Hadimoeljono, Menteri Manajemen dan Anggaran Filipina Benjamin Diokno, serta Wakil Menteri Keuangan Jepang Yota Ono.
Sri Mulyani meminta bantuan Bank Dunia agar dapat mereasuransi aset negara kepada industri asuransi internasional, “Dan membantu kami mendapatkan harga (premi) yang rendah dan wajar.” Sebab, premi asuransi akan dibayar menggunakan anggaran negara.
Bank Dunia pernah membantu Maroko mengasuransikan perumahan rakyat dan usaha mikro-kecil-menengah. Bank Dunia juga pernah mengeluarkan obligasi katastrofe senilai US$ 1,4 miliar untuk membiayai penanganan dampak bencana gempa di Peru, Cile, Meksiko, dan Kolombia.
Seusai pertemuan, Jusuf Kalla dan CEO Bank Dunia Kristalina Georgieva menggelar pembicaraan tertutup di Hotel Westin, Bali. Georgieva menawarkan beberapa skema pembiayaan, yaitu pinjaman bencana jangka panjang, obligasi katastrofe, dan reasuransi. “Kami terbuka menyiapkan pembiayaan dalam jumlah besar,” kata Georgieva kepada Tempo di Hotel Westin. Ia menyarankan Indonesia memperdalam instrumen pembiayaan risiko bencana. “Sebab, pada masa mendatang akan lebih banyak bencana karena perubahan iklim. ”
Bank Dunia resmi menyerahkan bantuan US$ 5 juta untuk pembangunan infrastruktur saat Georgieva berkunjung ke perkampungan Balaroa di Palu bersama Kalla, Jumat pekan lalu. Adapun ADB memberikan pinjaman dana darurat senilai US$ 1 miliar untuk Indonesia. “Pinjaman ini di luar pinjaman reguler bagi Indonesia senilai US$ 2 miliar per tahun,” demikian dikutip dari keterangan resmi Bank Pembangunan Asia.
PUTRI ADITYOWATI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo