Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TENGAH malam sudah menjelang ketika Siti Hartati Murdaya memasuki ruang pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, 24 Juli 2001. Anggota Fraksi Utusan Golongan itu menenteng segepok berkas pencalonan wakil presiden. ”Kami mencalonkan Pak Susilo Bambang Yudhoyono,” katanya.
Saat itu adalah hari ketiga Sidang Istimewa MPR. Presiden Abdurrahman Wahid, yang dituduh terlibat korupsi dana nonbujeter Badan Urusan Logistik, telah dilorot dari Istana. Megawati Soekarnoputri, sang wakil presiden, diangkat menggantikannya. Majelis lalu membuka pencalonan untuk mengisi kursi RI-2 yang lowong.
Hartati, saat itu, mengaku mencalonkan Yudhoyono ”atas nama pribadi dengan persetujuan 90 anggota Majelis”. Yudhoyono yang juga dicalonkan 13 anggota Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia bersaing dengan Hamzah Haz, Akbar Tandjung, Siswono Yudohusodo, dan Agum Gumelar. Hamzah yang diusung Fraksi Partai Persatuan Pembangunan dan Fraksi Reformasi menang dalam pemilihan.
Kepada Tempo, Rabu pekan lalu, Hartati mengisahkan bahwa dirinya hanya ikut-ikutan ketika mencalonkan Yudhoyono menjadi wakil presiden. ”Malam itu semua anggota sudah pulang, jadi saya ketempuhan. Nama sayalah yang ditulis,” kata perempuan 61 tahun itu.
Tapi sejumlah mantan anggota Majelis menuturkan hal sebaliknya. Nursjahbani Katjasungkana, kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat, mengatakan bahwa Hartati pada saat itu sangat aktif menggalang dukungan. Hartati bahkan disebutnya ikut mengedarkan formulir tanda tangan untuk memenuhi syarat minimal pencalonan, yaitu dukungan 70 orang.
Siswono juga menyatakan hal yang sama. Menurut dia, Hartati adalah sponsor utama pencalonan Yudhoyono menjadi wakil presiden pada 2001. ”Tidak ada yang salah. Itu hak politik semua anggota MPR,” kata Siswono lagi.
Hubungan Hartati dengan Yudhoyono sudah terjalin lama. Ketua Umum Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) itu memang dikenal dekat dengan tentara. Seorang perwira tinggi menuturkan, Hartati akrab dengan Cilangkap sejak ABRI dipimpin Jenderal Feisal Tanjung.
Menurut seorang sumber, ketika Yudhoyono dicopot dari jabatan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan oleh Abdurrahman Wahid pada 1 Juni 2001, Hartati langsung menyorongkan bantuan. Ia menyediakan sebuah ruangan di lantai 8 gedung CCM Building, Jalan Cikini Raya, Jakarta Pusat. Di situlah PT Central Cipta Murdaya, kelompok usaha milik Hartati yang antara lain memegang lisensi sepatu merek Nike, berkantor.
Hartati menuturkan bahwa Yudhoyono saat itu menyewa satu ruangan di CCM Building. ”Saya tidak tahu ruangan itu dipakai untuk apa,” katanya. ”Sewanya murah, karena waktu itu Pak SBY belum menjadi presiden.” Sebagian ruang di gedung itu, kata Hartati, memang disewakan untuk umum.
Betulkah? Dari pengamatan Tempo, tak ada perusahaan di luar kelompok usaha Murdaya berkantor di gedung sembilan lantai itu. Dua lantai terbawah dipakai sebagai gerai penjualan alat olahraga—umumnya bermerek Nike. Lantai tiga hingga delapan adalah kantor anak-anak perusahaan Central Cipta Murdaya. Adapun lantai teratas adalah ruang pertemuan.
Beberapa karyawan di CCM Building masih mengingat ketika Yudhoyono berkantor di gedung itu. ”Dulu, sebelum menjadi presiden, Pak SBY memang berkantor di lantai 8. Tapi paling cuma tiga bulanan,” kata seorang petugas keamanan kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Yudhoyono aktif lagi di pemerintahan saat Megawati mengangkatnya kembali menjadi Menteri Koordinator Politik dan Keamanan pada Agustus 2001. Tiga tahun kemudian ia mundur dari jabatan itu untuk maju menjadi calon presiden. Berpasangan dengan Jusuf Kalla, ia dicalonkan oleh Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Kesatuan dan Pembangunan Indonesia.
Pada masa kampanye pemilihan presiden itu, jejak Hartati kembali muncul. Sumber Tempo menuturkan, ia ikut aktif memobilisasi dukungan untuk Yudhoyono di kalangan tentara dan umat Buddha. Ia juga banyak membantu Tim Sekoci, tim sukses bayangan untuk pemenangan Yudhoyono. Kelompok ini dipimpin Mayor Jenderal (Purn.) Soeprapto, kini Komisaris Independen PT Indosat.
Nehemia Lawalata, mantan anggota tim kampanye Yudhoyono-Kalla, menuturkan bahwa Hartati sejak awal ikut menyukseskan pasangan itu. ”Memang, Ibu Hartati tidak turun berkampanye seperti kami. Tapi beliau melakukan pendekatan di kalangan umat Buddha dan pengusaha,” tuturnya. ”Hubungan beliau dengan tokoh-tokoh di Tim Sekoci juga baik.”
Soeprapto ketika dimintai konfirmasi mengatakan belum lama mengenal Hartati, yaitu setelah Walubi banyak terjun di lokasi bencana. Mayjen (Purn.) Djali Yusuf, aktivis Tim Sekoci lainnya, mengakui bahwa timnya mendekati Hartati agar bisa memenangkan Yudhoyono di kalangan Buddha pada 2004. ”Perannya cukup signifikan,” ujarnya.
Mungkin karena jasanya itu, Hartati diberi ”kehormatan” mendampingi Yudhoyono pada saat menyampaikan pidato pertama sebagai presiden pada 20 Oktober 2004. Di Istana Merdeka, Hartati saat itu berdampingan dengan sejumlah tokoh yang terlihat sering berada di Cikeas, kediaman pribadi Yudhoyono, seperti Chatib Basri, Andi Mallarangeng, Denny J.A., Dino Pati Djalal, dan Surya Paloh.
Setelah itu Hartati setia menyokong kebijakan pemerintahan Yudhoyono. Pada September 2005, saat nilai tukar rupiah terjerembap hingga posisi Rp 11.800 per US$ 1, ia berinisiatif mengumpulkan sejumlah konglomerat untuk bertemu Presiden. Hadir saat itu Mochtar Riady (bos Grup Lippo), Putera Sampoerna, Budi Hartono (bos Grup Djarum), Peter F. Gontha, Sugianto Kusuma (Presiden Direktur Grup Artha Graha), dan keluarga Katuari (Grup Wings).
Istri Murdaya Widyawirmata Poo, Ketua Bidang Sumber Daya dan Dana PDI Perjuangan, menjelaskan bahwa ia mengajak para pengusaha agar tidak panik dan tidak memborong dolar pada saat bersamaan. Kesepakatan itulah yang dibawa para konglomerat ke Istana.
Kedekatan dengan pusat kekuasaan ternyata juga membawa Hartati tersangkut sejumlah kasus. Dua tahun lalu ia dituduh memanfaatkan Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi untuk membebaskan PT Intracawood Manufacturing miliknya dari ancaman pencabutan izin hak pengusahaan hutan di Kalimantan Timur (lihat Bersandar pada Teman Seangkatan).
Hartati juga dituduh memanfaatkan pengaruhnya di Istana dalam sengketa pengelolaan area Pekan Raya Jakarta antara PT Jakarta International Expo miliknya dan Jakarta Internasional Trade Fair milik Edward Soerjadjaya. Sardan Marbun, staf khusus Presiden bidang hukum dan pemberantasan korupsi, mengakui pernah menerima pengaduan dari Hartati dalam kasus ini pada 2005.
Surat itu dikirim ke PO Box 9949, kotak surat khusus untuk Presiden yang dikelola Sardan. ”Waktu itu kami balas ke Ibu Hartati agar ia menyelesaikan kasus ini lewat jalur hukum,” katanya pekan lalu.
Persoalan ini mencuat setelah Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Rusdi Taher membeberkan adanya campur tangan ”pusat kekuasaan” saat Hartati hendak ditetapkan sebagai tersangka. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Hendarman Supandji lalu mengambil alih kasus ini. ”Saya tanya alasannya. Dijawab (Hendarman), tapi tidak perlu dibeberkan, karena pasti akan menjadikan instabilitas politik,” ujar Rusdi.
Hendarman Supandji, kini Jaksa Agung, ketika itu membantah mencampuri kasus ini. Tapi belakangan ia menyatakan bahwa tidak ada unsur korupsi yang melibatkan Hartati. ”Ini kasus utang-piutang, jadi tidak ada kerugian negara,” katanya, November tahun lalu.
Hartati membantah bahwa ia meminta bantuan Istana dalam kasus pengelolaan area PRJ. ”Masa, saya ujug-ujug meminta waktu ke Presiden untuk melaporkan urusan kecil,” katanya. ”Kalau Rusdi Taher mau melawan atasan, kenapa saya yang disalahkan?”
Budi Setyarso, Heri Susanto, Sutarto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo