DI India, sejak beberapa tahun yang lalu, kisah perjuangan Mahatma Gandhi sudah tergulung, tersimpan rapi di perpustakaan. Riwayat itu sudah tak dikutak-katik lagi, sudah menjadi bagian dari folklor tertulis. Negeri dengan jumlah penduduk 740 juta jiwa ini sudah dan tengah berubah. Tiga puluh lima tahun lalu, pertanian menjadi pendukung 100% produksi nasional - nyaris tidak ada infrastruktur industri. Tapi hari-hari ini India sudah memiliki kemampuan cukup piawai dalam bidang teknologi, rekayasa, dan manajemen. "Sungguh bodoh kalau kami tidak mendayagunakan semua itu," kata Perdana Menteri Rajiv Gandhi. Seiring dengan ini, bidang pertanian juga tetap mendapatkan perhatian. "Sejak kemerdekaan, hasil pertanian telah meningkat tiga kali lipat. Dan banyak di antaranya usaha swasta." Tapi keberhasilan itu telah menjadi (salah satu) penyebab kesenjangan kaya miskin bukan begitu, Tuan Rajiv? "Ya dan tidak," jawabnya. "Bahwa warga kami tetap banyak yang tergencet kemelaratan, tentu tidak salah. Tapi secara umum, banyak pula yang meningkat menjadi sedikit kaya. Saya rasa orang kaya-raya seperti para maharaja dan bangsawan sudah tidak ada. Orang kaya di negeri ini orang kaya baru. Dan mereka itulah kelas menengah yang, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk, jumlahnya cukup banyak. Jangan lupa, kelas seperti itu tidak pernah lahir di India selama 30 tahun ke belakang. " Rajiv Gandhi, sang perdana menteri, sungguh punya data yang, katanya sendiri, "Sulit dipercaya." Ini: Dari 1980 sampai 1984 pemerintah telah berhasll mengurangi persentase jumlah warganya yang hidup di bawah garis kemiskinan, dari sekitar 51 ke 37,5 persen. Dan sekarang, menurut catatan terakhir yang-kemudian dikutip lan Jack untuk majalah Sunday Times Oktober lalu, jumlah itu turun sampai 14%. Dan ini 14% dari 740 juta-- bukan dari hasil sensus 1980 yang 680 juta. "Itu yang telah kami lakukan dalam waktu empat tahun," Rajiv berkata. Sebuah kisah keberhasilan yang menakjubkan, dan orang tidak banyak ribut. Kebangkitan kelas menengah di India telah tidak tersimak oleh dunia luar. Padahal, jika melihat gambaran kemampuannya mengkonsumsi barang saja, orang bisa terkesima. Pada 1980, sepeda motor dan skuter yang dibuat negeri ini, dan laku terjual di pasaran sendiri, berjumlah 250 ribu. Ini, tahun silam, sudah menjadi 1 juta - empat kali lipatnya dalam lima tahun. Mobil yang diproduksi pada 1980 berjumlah 35 ribu, tahun lalu 100 ribu. Pesawat televisi pada 1975 laku 100 ribu, tahun barusan 2,5 juta. Mengenai pasar modal, pada 1980 jumlahnya 1 milyar rupee atau 66 juta poundsterling, terdiri dari saham langsung dan surat utang. Jumlah itu tahun ini menjadi 25 milyar rupee atau 1.650 juta pound. Gambaran itu telah memberi arti baru bagi development, pembangunan. Seorang penasihat ekonomi Rajiv kemudian bilang, "Selama 30 tahun kami telah memberikan pengertian baru, apa itu pembangunan yang lebih dari sekadar pengembangan kemampuan belanja rakyat." Sang ekonom yang tidak mau disebutkan namanya ini lulusan Doon School (pusat pendidikan para menak) di India dan kemudian melanjutkan ke Cambridge, Inggris. Yang lantas menjadi pertanyaan: sejauh mana kemakmuran dan kehidupan gemah-ripah itu menetes dari sekelompok kecil urban yang berhasil itu ke khalayak yang lebih luas. Banyak ekonom India, terutama dari golongan kiri, mempertanyakan optimisme yang digambarkan lewat data penurunan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sebab, kata mereka, jumlah mutlak kaum miskin telah menjadi lebih banyak dari sebelumnya. Bahwa jaringan yang kaya menjadi lebih kaya, sementara golongan melarat makin menjadi-jadi, bisa dibuktikan lewat statistik. Ada pembelaan, memang, dari kelompok moderat, yang menyatakan bahwa gambaran seperti itu tidak selamanya benar. Kata kelompok ini, memang sebagian yang miskin makin melarat, sebagiannya lagi tetap begitu, dan selebihnya telah - tak bisa dipungkiri - menjadi kaya. Di negeri dengan penduduk besar dan persoalan kompleks semacam India, dengan tambahan warga baru per tahun mencapai 15 juta jiwa, statistik tidak selalu bisa dipercaya, sekalipun sudah ada komputerisasi. Komputerisasi adalah bagian dari teknologi baru yang dengan bersemangat diimpor pemerintahan Rajiv. Dan teknologi baru (yang biasanya tidak padat karya) ini perlu dipertanyakan keabsahannya, mengingat India adalah gudang manusia dan harga tenaga kerja juga murah. Contoh soal adalah yang menyangkut komputerisasi jalur angkutan kereta api, yang tentu saja bakal ditebus dengan kerumitan politis jika harus menyingkirkan 5.000 karyawan. Rajiv tidak memungkiri kesulitan itu, tetapi juga menjelaskan duduk perkaranya. Satu hal, begitu banyak bujang dipekerjakan di sektor perusahaan negara, yang, katanya, "Tak mungkin mem-PHK-kan mereka." Hal lain, selama ini sistem lama telah demikian tidak efisiennya. "Biayanya banyak, tapi kualitasnya tidak setingkat dengan jika dibanding sistem baru. Pokoknya, perkeretaapian memang merugi. Ini berarti ratusan crorer (satu crore sama dengan 10 juta rupee) harus diambil dari program antikemiskinan, atau dari rencana waduk, atau dari stasiun pembangkit tenaga. Artinya, jatah program lain, yang menguntungkan golongan miskin, juga terpotong." Sebuah argumen bergaya senada dengan gaya Margaret Thatcher. Kenyataannya, dilihat dari kecondongan ekonomi masing-masing, kedua perdana menteri India dan Britania Raya itu rasanya tidak pernah sedekat saat ini - terutama sejak masa Nehru dan Attlee. Tapi, sejauh mana naluri Rajiv menjangkau dalam mengarahkan India dan mengatur hubungan internasionalnya dengan banyak negara di luar Inggris, masih belum bisa diduga. Washington menyukainya. Moskow juga tetap tidak mau menjauhi. Dua kenyataan itu tidak boleh secara sembrono diputuskan kesimpulannya. Selama 30 tahun, Soviet telah menjadi gantungan India dalam soal persenjataan, sekaligus teman seiring dalam politik, sementara Amerika Serikat tetap menyokong musuh bebuyutannya - Pakistan. Benar, Rajiv mulai berminat membeli persenjataan dari Amerika Serikat, sekaligus, barangkali, melonggarkan ikatannya dengan Soviet. Tapi ini pun belum bisa dijadikan alasan untuk menilai bahwa gantungannya akan berubah dari Timur ke Barat. Sebab untuk begitu, sudah pasti seluruh jajaran anak benua India mesti lebih dulu dirapikan. * * * Satu hal yang lebih jelas mengenai Rajiv - dalam kepemimpinannya di India - adalah usahanya yang telah menyalakan optimisme. Sejak kemerdekaannya, tahun 1984 telah menjadi masa paling tidak enak bagi India. Runtutan mala petaka - penyerbuan Kuil Emas, pembunuhan Nyonya Gandhi, pembunuhan balasan orang Hindu atas golongan Sikh, dan kebocoran gas beracun di Bhopal - telah menjalin satu citra bahwa India, seperti yang biasa diteriakkan para pengkritiknya, sudah membawa dosa asal untuk tidak bisa diperintah. Dan, segera atau di kemudian hari, sistem demokratis konstitusional yang tidak pas itu akan digantikan dengan kediktatoran atau, kalau tidak, akan mengalami masa pemerintahan terpenggal-penggal. Rajiv telah mengubah gambaran itu. Sebagian, ini merupakan kemenangan sikap dan penampilannya. Dalam banyak hal, dia, seperti diakuinya sendiri, "praktis lebih terbuka" - dibanding mendiang ibunya. "Bagi saya, pada saat memungkinkan, lebih baik bersikap blak-blakan - sehingga segi-segi negatif bisa tidak muncul." Lebih dari itu, karena pada dasarnya negeri ini sudah loyo dibebani banyak krisis dan sikap Mendiang Nyonya Gandhi yang sering tidak bisa diduga, kebaruan diperlukan. Masih ada penyebab lain yang memungkinkan Rajiv mewujudkan citra baru. Yaitu keberhasilannya -yang substantif dalam masa kepemimpinannya yang baru sepuluh bulan. Ia mempertaruhkan diri untuk mencapai kesepakatan dengan golongan Sikh dan gerakan warga Assam. Meski akar penyelesaian belum terurai, kenyataannya Punjab dan Assam kini sudah tidak sedegil di masa pemerintahan Nyonya Gandhi. India adalah negeri miskin, semua tahu, dengan para pemilih yang hidup dalam kepayahan ekonomi - kondisi yang telah menjadi klasik, dan Rajiv terjun ke dalamnya, dengan bekal yang memberikan variasi baru. Pajak ia potong, dan kebijaksanaan impornya lebih luwes. Para konsumen di negeri ini, 10% jumlah penduduk dan memiliki penghasilan yang memadai untuk dibelanjakan begitu saja, rasanya tidak pernah akan merasa sepuas sekarang. Golongan konsumen itulah yang memiliki nama-nama berbau Inggris yang terkadang menggelikan: Bunny, Dumpy, Sunny, Pinki, misalnya. Berbotol-botol Chivas Regal, hasil kongkalikong di pelabuhan, tersusun rapi di bufet rumah-rumah golongan minoritas ini. Dan orang lantas boleh mengkritik kesenjangan mereka dengan warga yang 90% jumlah penduduk. Mereka, yang 10% itu, tak kalah sadar diri dibanding, misalnya, golongan menengah Eropa. Jumlah mereka tak kurang dari 75 juta jiwa dan merupakan pasar yang empuk. Inilah kelompok yang menikmati buah hasil kemerdekaan India, dan yang menyinarkan rasa kepercayaan diri. Yang mereka kehendaki adalah India yang terus menggelinding, jaringan telepon yang tetap berdering, mentalitas para pegawai yang tak korup lagi, dan kemungkinan sekolah-sekolah serta rumah sakit mereka bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Pokoknya, hidup dalam keadaan semua terjamin. Politik, bagi golongan makmur itu, tak lain barang rendahan, mainan para feodal mata duitan dengan bantuan dedemit. Namun, pada diri Rajiv mereka menemukan hal baru, sebagai teman setali-jiwa. Pada pandangan mereka, Rajiv adalah perdana menteri yang tahu bagaimana memanfaatkan televisi dan adpertensi, serta mengumpulkan para manajer ahli kemasyarakatan untuk membantunya, sehingga pemerintahan lancar berjalan. Mereka akrab dengan riwayat Rajiv, terutama sekali sejak kejadian 1980 - ketika adiknya, Sanjay, meninggal dalam kecelakaan pesawat dan Rajiv menyadari dirinya sebagai pewaris tahta politik ibunya. Kisahnya dimulai setahun sesudahnya. Bulan Juni 1981, Rajiv berangkat sebagai kontestan ke Amethi, bekas wilayah pemilihan adiknya. Amethi adalah kota kecil tak terkenal, ditandai dengan kehidupan melarat dataran utara India, berada beberapa mil melalui jalanan berdebu di bawah Lucknow. Golongan oposisi agak melecehkan Rajiv ketika itu. "Siapa, sih, Rajiv Gandhi?" kata seorang agen partai lawan. "Dia bukannya sarjana muda gagal dari Cambridge? Lihat kandidat kami, Jabbalpur Pass, dengan gelar M.A." Partai Rajiv membuka markas kampanye agak sedikit di luar kota, di kediaman seorang bangsawan lokal sebuah bangunan tua dengan pagar tinggi dan halaman cukup luas. Para pendamping Rajiv tiba berkendaraan jip. Arun Singh, teman Rajiv ketika di Don School dan kemudian di Cambridge, telah merelakan waktunya, meninggalkan kesibukannya ,sebagai kontrolir pemasaran pada perusahaan Recklitt and Coleman di Calcutta. Lalu Arun Nehru, saudara jauh, juga cuti dari jabatannya sebagai manajer pabrik cat Jensen and Nicholson, juga diCalcutta. Makan bersama sang bangsawan pemilik rumah berarti hanya menyantap nasi dan sayuran. karena ia vegetarian setia - yang tidak banyak bicara dan mudah terlelap di mana pun. Tapi ia, aristokrat penidur ini, mewakili suatu kawasan dan para pemilihnya. Setelah matahari menyuruk ke balik cakrawala dan senja mengembangkan sayapnya, orang-orang itu naik ke peraduan dan ngobrol mengenai Schumacher. Seputar tengah malam, Rajiv baru pulang dari perjalanan kampanye ke desa-desa. Tak lupa sebongkah kambing guling dibawa serta dengan mobil, diselundupkan ke rumah sang bangsawan dengan dibungkus kertas aluminium. Lalu, "Kami beranjak ke sebuah ruang ber-AC( dan membuka pembicaraan di situ," kata lan Jack, si wartawan yang melaporkan cerita ini. Di situ juga tersedia Seven Up dingin . Dan Rajiv membuka omongan bahwa dirinya berniat menggusur para kader partai mendiang ibunya. Mereka yang korup dan tidak bisa dipercaya lagi akan digantikannya dengan golongan intelektual profesional yang belum karatan dimakan politik. Sementara sang bangsawan, rajah menurut bahasa lokal, tertidur pulas, pembicaraan mengenai politik India terus menghangat. Empat tahun kemudian, Amethi sudah berkurang kerontangnya dan lebih bersuasana industri. Pabrik-pabrik berdiri, cerobong mendongak. Di stasiun sudah ada jam digital. Bupatinya yang dulu kini sudah duduk di kantor Perdana Menteri, yang sudah diperbarui dengan mebeler bergaya Inggris abad ke-18. Di ruang ini Rajiv memasang dua lukisan miliknya pribadi, sepasang karya William Daniell, pelukis Inggris yang datang ke India pada 1784 dan ikut menentukan pandangan orang Barat mengenai negeri ini. Tentu itu merupakan karya lukis berbau kolonial, yang di masa jauh sebelum Rajiv, di antara generasi yang lebih nasionalis, akan dijadikan bahan perseteruan . Rasanya, kemudian, Rajiv tidak lagi awas bahwa India telah mengarah ke negeri kapitalis yang tak tahu diri. Paling tidak dengan adanya kemungkinan tumbuhnya semangat perdagangan bebas. Ia menyangkal. "Tidak," katanya. India tetap sosialis, "Dalam arti kami yakin bahwa pemerintah bekerja untuk rakyat yang melarat." Lebih dari itu? "Selebihnya, pengertian bekerja untuk kaum miskin berubah seiring dengan kemajuan dan perkembangan, ketika rakyat yang miskin mulai berkurang dan warga negara yang terlatih dan memiliki kemampuan terus bertambah." * * * Hampir setiap warga India kini harap-harap cemas, terutama mengenai keselamatan Rajiv sebisa-bisanya ia menghindar dari garis takdir seperti yang dijalani mendiang ibunya. Sebab, meski kalau dipikir-pikir ngeri juga, ada kemungkinan peluru panas yang dilepaskan senapan entah siapa bisa saja merobek nyawanya. Rajiv sendiri tahu hal itu. Pada suatu upacara penguburan seorang koleganya dalam Partai Kongres, misalnya, ia datang dengan rompi pengaman tahan peluru. Kantornya di Ibu Kota, bangunan berbata merah yang indah yang didirikan oleh Sir Edwin Lutyens sebagai kantor pemerintahan Inggris pada tahun-tahun terakhir penjajahannya di India, sudah dirombak demi kepentingan keamanan dirinya. Dalam kondisi serba terikat demi keamanan itu, Rajiv merasa tidak terganggu. Ia lebih memikirkan perkembangan kedua anaknya, yang sudah remaja, masing-masing Rahul dan Priyanka. "Bagi mereka pengetatan keamanan begini lebih menyiksa. Mereka tidak bisa lagi tumbuh secara alamiah sebagaimana layaknya anak-anak," katanya. Kedua anaknya kini sudah tidak lagi bersekolah di sekolah umum, tetapi mendatangkan guru untuk mengajar di kediaman sang perdana menteri dalam rumah yang dibentengi dan dikawal. Teman-teman mereka didatangkan pula ke situ. Istrinya, Sonia, tidak pula bebas seperti dulu untuk sembarangan mendatangi toko-toko atau restoran Cina, misalnya. "Bagi saya semua ini lebih merupakan kekangan fisik, lantaran saya tidak bisa lagi sembarangan pergi," kata Rajiv. Lebih dari itu, "Saya tidak merasa tegang sedikit pun. Secara mental kondisi ini tidak merepotkan saya." Sikap yang santai telah menjadi ciri Rajiv yang lain. Dengan itu ia ternyata lebih mudah menyesuaikan diri kepada pekerjaan, dari kursi pilot pesawat komersial ke kursi perdana menteri sebuah negeri yang dirundung segala kerumitan. Lima tahun lalu ia masih menerbangkan para penumpang, kebanyakan usahawan, dari New Delhi ke Calcutta atau Bombay dengan pesawat India Airline. Ketika itu ia lebih dari sekadar kurang perhatian pada urusan politik pada dasarnya ia tidak berselera. Tiba-tiba saja, setelah kematian adik dan kemudian ibunya, ia harus mewarisi India yang - bahkan - tengah dililit krisis paling merawankan sejak kemerdekaan. "Menyangkut kepindahan pekerjaan, saya rasa tidak ada perbedaannya," katanya. "Masalahnya: bagaimana kita berusaha mengerjakannya sebaik-baiknya, semampu kita, dengan sesedikit mungkin kompromi, sehingga kita pun yakin jalan kita benar. Tentu dalam bidang yang baru ini, di pemerintahan, tidak ada hal-hal yang tidak mungkin dikompromikan." la mengaku tidak mendapatkan beban yang lebih pada posisinya sekarang. Para pengkritiknya bilang, penampilannya yang kalem dengan kepribadian yang biasa-biasa saja justru menunjukkan imajinasinya yang pendek dan mentalitasnya yang dangkal. Dan India, kata para pengkritik itu, beruntung memiliki perdana menteri semacam ini. Sebab, kalau lebih pintar, banyak tingkah serta kaya imajinasi, ia justru akan memporak-perandakan keadaan. Di pihak lain, para pendukungnya mengatakan bahwa, bagaimanapun penampilan itu, ia telah memiliki bakat turunan dari kakeknya, Mendiang Nehru, dalam bermain politik. Karena itu, perlu ditanyakan apakah di masa remaja Rajiv menerima semacam wasiat politik dari sang kakek. Jawabnya: "Tidak. Harap Anda tahu, kami di rumah tidak biasa membicarakan soal politik." Tidak pernah? "Benar, tak pernah. Di masa kakek saya masih hidup sekalipun, mutlak tak pernah. Bahkan ketika kemudian saya berkecimpung di dunia politik, di rumah kami tidak sejenak pun bicara soal politik, di beranda atau apalagi di meja makan. Kalaupun di saat itu kami ngobrol, biasanya hanya soal bisnis dan pokok-pokok lain di luar politik." Barangkali memang sudah watak Rajiv sendiri sehingga keadaan menjadi begitu. Ia orang yang mencoba-coba tergugah pada ilmu pengetahuan dan jagat raya - semangat ini timbul akibat karya-karya E.F. Schumacher, Buckminster Fuller, dan Carl Sagan. Jauh, memang, dari politik. Ada pendapat lain - dari Arun Singh, yang rasanya teman paling dekat dan penasihat paling berpengaruh Rajiv. Kata Arun, "Dia orang yang tidak bisa berbengong-bengong tanpa melakukan tindakan apa-apa." Teman dan orang-orang di dekatnya yang lain bilang, "Rajiv memiliki pembawaan dan sikap dengan tiga ciri utama. Satu, dia orang yang sangat jujur dan tidak suka tedeng aling-aling. Selama ini tidak ada tanda apa pun bahwa dia bisa main curang. Kedua, toleransinya besar. Dan kemudian, yang ketiga, dia memiliki naluri yang kuat untuk melihat bersih tidaknya sebuah pekerjaan. Dia sendiri pun sadar untuk selalu adil. Kalau untuk itu mengalami kesulitan, dia akan mengakuinya." Dalam soal kepercayaan atau agama, misalnya, Rajiv bersikap tegas, tidak munafik. Di India, negeri dengan sejumlah nama tuhan untuk tiap-tiap agama seperti Brahma-Wisnu-Syiwa untuk Hindu, Allah bagi kaum Muslim, Trinitas Suci Nasrani - yang semuanya diakui keberadaannya oleh pemerintah, Rajiv sebenarnya bisa saja pura-pura menjadi penganut taat salah satunya. Pada saat orang bertanya kepadanya, apakah dia percaya pada Tuhan, tentu bisa saja ia menggombal atau berbohong, paling tidak supaya aman di mata rakyatnya. Namun, sebaliknya, ia malah bilang tidak percaya. "Tuhan dalam pengertiannya yang terbatas, tidak, tidak percaya. Saya bukan orang yang religius dalam pengertian seperti itu. Saya religius tanpa harus mengkotakkan diri dalam satu merk." Maksud Anda, Rajiv? "Begini. Saya yakin ada beberapa hal yang harus saya perjuangkan dengan komitmen penuh, sampai tuntas, sehingga diri lebur di dalamnya. Saya tidak peduli apakah semangat perjuangan seperti itu ada kaitannya dengan konsep ketuhanan dan agama atau tidak, tapi inilah cara bertindak untuk menggapai kasunyatan." Rasanya, hal begitu kok hanya semacam etika sosial atau pribadi, bukan laiknya sebuah semangat keagamaan. Dia berkilah, "Lho, kepercayaan agama itu bukankah etika pribadi juga?" Ya, tentu ada benarnya, cuma agama itu berkaitan dengan pokok-pokok alam gaib dan konsep ketuhanan - ya, begini orang biasanya berpendapat. "Baik, itu betul. Tapi dalam prosesnya, yang semacam itu kemudian telah menjadi etika masyarakat, dan ini sudah berlangsung sepanjang sejarah." Rajiv juga mengaku terus terang tidak pernah menancapkan dirinya ke dalam doa kepada Tuhan. Sikap begini tentu bisa merupakan penyimpangan bagi seorang pemimpin negeri semacam India, toh Rajiv seperti tidak ambil pusing. "Saya tak tahu," katanya. Dan, "Keluarga saya sendiri pada dasarnya tidak religius dalam pengertian begitu." Ah, ibunya, Nyonya Indira Gandhi, akhirnya 'kan menyatakan taat pada Hinduisme dan kemudian membukakan pintunya untuk para swami dan yogi yang datang kepadanya membacakan garis nasib. "Itu hanya lima atau enam tahun terakhir hidupnya sebelumnya tidak sama sekali," kata Rajiv. "Kakek saya, Jawaharlal Nehru, juga tidak religius. Beliau sangat sekuler. Ayah saya juga dia orang Persia. Ibu, pada sebagian besar masa hidupnya, bukan pemeluk Hindu. Sedangkan istri saya Kristen. Pokoknya, campur aduk, sehingga tidak ada kegiatan keagamaan yang jelas di rumah." Seandainya kenyataan begitu diketahui rakyatnya, Rajiv mengaku tidak gentar. Ia memiliki bekal kelugasan yang mengingatkan kita pada sikap para pemimpin India segenerasi kakeknya. Tentu ini bertolak belakang dengan pembawaan Nyonya Indira yang, dengan gerak alis matanya, sering bisa berselingkuh dari perasaannya sendiri di saat menghadapi kejutan-kejutan emosional. Tentu, saat ini masih belum waktunya untuk membayangkan Rajiv sebagai seorang seperti Camelot di Delhi. Yang jelas, untuk pertama kalinya India memiliki perdana menteri dengan latar belakang perkawinan bahagia. Ingat: Nehru menjadi pemimpin dalam statusnya sebagai duda, lalu Indira Gandhi adalah janda. Kedua mendiang itu pun muncul sebagai orang tua yang hanya lebih banyak berkesan bagi orang luar, sementara di dalam negeri sendiri biasa saja . Sedangkan Rajiv tampil muda, dan berakar mendalam di dalam negeri. Dengan kelompok inteligensia - yang dikucilkan Indira itu - misalnya, Rajiv dekat. Minimal kelompok ini sudah tidak cemas sehubungan dengan pemerintahan yang berbau kedinastian ini. * * * Rajiv Gandhi lahir pada 1944, tiga tahun sebelum Inggris angkat kaki dari India. Atau dua tahun setelah ibunya menikah dengan ayahnya, Feroze Gandhi. Lelaki keturunan Persia, ayah Rajiv, ini seorang wartawan yang, sayang, tidak begitu sukses. Tapi sebagai kepala keluarga ia tidak banyak tingkah dan bisa menikmati saat-saat harus membuatkan mainan bagi Rajiv kecil. Perkawinan Feroze dan Indira pun tidak sukses. Nehru, perdana menteri India pertama itu, tidak banyak menggubris kepentingan menantunya: ia menghendaki Indira, sang putri, lebih banyak terlibat urusan dinas pemerintahan. Dalam beberapa tahun Feroze dan Indira hidup berpisah. Anak-anak tumbuh di rumah kediaman Perdana Menteri bersama ibunya, sementara sang ayah menempati sebuah bungalo sederhana. Kedua anak dan bapaknya secara tetap bertemu dalam waktu-waktu tertentu. Rajiv berusia 16 ketika ayahnya meninggal. Waktu itu ia sudah bersekolah di Doon School karena ia mulai masuk ke lembaga pendidikan elite ini pada usia 11. Doon School, dibuka pada 1935, mulanya oleh para pendirinya - sekelompok pedagang dan profesional India yang mulai sadar akan perlunya kebangkitan tanah air mereka - diwarnai semangat menciptakan tenaga terampil terpelajar yang tidak dirasuki gaya aristokrasi feodal Inggris. Masuk akal, mengingat masa itu sekolah umum dengan sistem Inggris, yang berdiri di India mulai akhir abad ke-19, banyak membawa pengaruh semangat kebangsawanan Eropa. Ya, mau bagaimana lagi, yang bersekolah pun para anak orang kaya dan raja kecil lokal. Bayangkan, pergi ke sekolah didampingi kacung atau pengawal masing-masing, sembari banyak bersenang-senang dalam permainan polo. Pokoknya, Doon School didirikan dengan semangat, seperti kata pendirinya, "Sekolah dengan sistem Inggris terbaik tapi tumbuh bersama suasana dan lingkungan budaya India." Sekolah ini, yang bercokol di kaki Pegunungan Himalaya, 130 mil dari New Delhi, sampai pada usianya yang ke-50 - November 1985 - tetap memiliki perlakuan sama terhadap para , siswanya. Yaitu: mereka dididik hidup keras dalam asrama bersemangat spartan, harus giat main cricket dan hockey, lantas - tak kurang pentingnya - melakukan kerja praktek di pedesaan sebagai bagian mengembangkan watak dan keyakinan diri. Keterampilan akademis tetap perlu, meski tidak harus dominan. Dan, seperti konstitusi India, sekolah ini berwarna sekuler. Kata ketuanya yang sekarang, Gulab Ramchandani, kepada wartawan Time: "Di sini kami tidak menyediakan gereja, masjid, atau kuil." Namun, sementara itu, seperti kata eksekutif grup Hotel Oberoi, Gautama Khana, seorang alumnus, "Kami, yang terdiri dari empat golongan, yaitu Muslim, Sikh, Persia, dan Hindu, tidur dalam kamar yang sama. Perbedaan tidak pernah kami gubris." Rajiv tumbuh dalam suasana begitu dan, menurut beberapa catatan, ia menyukai tahun-tahun pendidikannya di situ. Ketika usianya menginjak tahun ke-13, ia sempat membuat kakeknya, Nehru, tercengang dengan keterampilannya mengotak-atik perkakas elektronik. Itu tidak berlebihan, mengingat di negeri ini sekolah lebih banyak menekankan gairah belajar tradisional tanpa kesempatan pengembangan kreativitas dan Doon School memberikan yang lain, yaitu keterampilan. Dan ini penting bagi Rajiv, pemuda yang intelektualitasnya tidak cemerlang. Ia memiliki kemungkinan berkembang di bidang itu. Rajiv kemudian melanjutkan ke Inggris, bersekolah dalam bidang rekayasa di Trinity Hall. Tapi tidak sukses. Menurut seseorang yang mengetahuinya, "Ketika itu dia sangat malas." Di luar itu, pada hari-hari libur Rajiv bekerja di perusahaan roti milik almamaternya, dan menjual es krim. India Society, perhimpunan orang-orang setanah air yang tiap tahun menyelenggarakan pesta atas biaya maskapai penerbangan nasional mereka, oleh Rajiv diikuti dengan ogah-ogahan. Bekas temannya ada yang bilang, Rajiv jago dan gila bilyar. Ada pula yang mengomentari, ia orang yang sering terlalu asyik dengan diri sendiri. Gelar tidak bisa ia raih di negeri rantau itu. Namun, nah, ia berhasil menggaet Sonia Maino, gadis Italia yang kebetulan tengah belajar bahasa Inggris. Sonia berasal dari kota industri Turin konon ayahnya ikut berada di front di masa Perang Dunia. Semula Nyonya Gandhi ragu-ragu: bisakah Sonia menyesuaikan diri dengan pola kehidupan keluarga India. Ternyata, ia dianggap lulus dan pasangan Rajiv-Sonia pun menikah pada 1968 di New Delhi. Suami istri ini lantas hidup menyatu dengan Nyonya Gandhi, sementara Rajiv menggabungkan diri ke Indian Airline sebagai pilot. Sonia rupanya memang cepat bisa menuruti- kemauan ibu mertuanya. Baginya, seperti yang diungkapkannya pada seorang wartawan majalah Hindi awal tahun lalu, "Saya sudah biasa dididik untuk menganggap seorang suami pusat penghormatan saya, lebih-lebih ibunya. Rasanya tidak adil kalau saya menganggap suami saya mutlak hak saya, seolah-olah mengabaikan kenyataan bahwa ia hidup bersama ibunya dan mendapatkan kasih sayangnya sudah sepanjang 25 atau 26 tahun." Dapat dimaklumi jika kemudian Sonia dan mertuanya menjadi akrab. Dengan latar belakang itu Rajiv disiapkan secara diam-diam, oleh ibunya, untuk dijadikan pewaris tahta kepemimpinan India. Semula memang Sanjay, yang berpenampilan lebih atraktif dan kadang cenderung kasar dibanding Rajiv. Tetapi, seperti kemudian tersiar di banyak media massa, ada konflik antara istri Sanjay, Maneka, dan Nyonya Gandhi - sebuah urusan yang konon berawal dari ketidaksesuaian antara Maneka dan Sonia. Sebuah kerumitan yang tidak bisa dihindari dalam keluarga-keluarga yang hidup bersama di bawah satu atap. Persoalan Maneka dan Nyonya Gandhi lantas merembet ke gelanggang politik - kondisi yang menyemarak ketika kemudian Maneka keluar dari keluarga Gandhi, setelah menjalani hari-hari yang tidak makin nyaman sepeninggal Sanjay. Dan ini berarti kekosongan pemegang warisan kekuasaan atas India. Rajiv, seperti kita lihat, kemudian mengisi lowongan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini