Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Superman

Seorang pelancong di jakarta keheranan, selama bertahun-bertahun bekerja dalam panas udara & gaji yang tidak cukup, dapat hidup dalam kemewahan. akhirnya diketahui orang tersebut korupsi & sering meninggalkan kantor.

11 Januari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG pelancong muncul di Jakarta. "Saya heran," katanya, "bagaimana Anda bisa tahan bekerja dalam panas udara seperti ini. Selama bertahun-tahun! Sedangkan gaji yang Anda terima boleh dikatakan tidak cukup. Saya juga heran Anda berani punya anak lebih dari satu - maaf, sampai lima, dan mungkin bertambah. Apa tidak memikirkan bahayanya kondisi itu terhadap masa depan mereka? Siapa yang memperhatikan mereka, karena Anda suami-istri selalu sibuk, hampir satu hari penuh? Apa Anda punya sumber keuangan yang lain, atau Anda percaya segalanya akan dapat diatasi dengan sendirinya nanti, dalam perjalanan? Artinya, Anda benar-benar seorang pemain akrobat yang baik, dalam hidup?" Sebulan kemudian pelancong itu meneruskan pertanyaannya. "Dan bagaimana mungkin, dalam keadaan keuangan yang terjepit, Anda masih punya pembantu rumah tangga? Saya lihat di rumah Anda ada televisi warna, VCR, mesin cuci, sebuah mobil, pesawat telepon, raket tenis, peralatan golf, serta beberapa benda lain yang buat saya termasuk barang-barang mahal." "Apakah Anda telah berusaha menciptakan rumah Anda sebagai surga, meski dengan cara agak memaksa diri, karena mungkin Anda berpikir semuanya itu, meskipun mahal, dapat sekaligus memenuhi seluruh anggota keluarga? Jadi, semacam kompensasi untuk menyegarkan batin bersama, sehingga akhirnya dapat juga dinilai efisien? Atau semua itu terpaksa dilakukan demi menjaga status sosial, yang kadangkala bisa menjadi bagian utama dari apa yang disebut kepuasan di Jakarta?" Beberapa hari kemudian, pelancong itu berbicara lagi - lewat telepon. "Saya masih ingin menyatakan keheranan saya," katanya hati-hati. "Tetapi, maaf kalau ini terlalu pribadi. Tidak usah dijawab kalau terasa seperti kurang ajar - anggap saja guyon. Begini. Saya heran, karena saya lihat ada beberapa hal yang bertentangan di rumah Anda ketika Anda mengundang saya makan sekeluarga. Di almari buku Anda saya lihat sederet lengkap ensiklopedi, buku-buku filsafat dan ilmu politik, bercampur dengan komik, novel pop dan cerita silat. Koleksi kaset Anda terdiri dari lagu-lagu klasik, dangdut, rock, gamelan tradisional." "Di dinding, saya lihat reproduksi lukisan Basuki Abdullah, poster bintang film dan dua lukisan abstrak. Juga beberapa stiker yang bunyinya nakal, pop, berbau protes, dan ada juga yang religius, membawa pesan moral, bahkan yang terasa seperti mengancam. Suasana rumah Anda dan cara Anda mengatur kehidupan terasa bebas, modern tetapi juga kikuk, sehingga saya bingung. Saat itu, sampai sekarang, saya tidak dapat menemukan sikap yang tepat menghadapi Anda, karena buat saya Anda tetap samar-samar dan gelap. Siapa Anda sebenarnya? Seorang intelektual yang sangat terbuka, yang dapat mencampurkan berbagai hal dalam satu saat, atau seorang yang sedang berusaha mencari-cari bentuk peri laku yang tepat?" "Saya juga bingung apakah Anda seorang warga kota besar dengan gaya hidup yang sudah praktis, atau seorang yang sedang berusaha menegakkan kembali tata cara dari tempat asal Anda dulu, jauh di pedalaman sana, di kehidupan kota yang serba cepat ini ? Seandainya saya tahu, malam itu mungkin akan menjadi pertemuan yang penting - tidak hanya basa-basi - karena Anda pasti berusaha memberikan kesan yang baik untuk tamu seperti saya. Atau mungkinkah Anda kasus yang istimewa?" Hampir dua bulan kemudian, pelancong itu menulis sebuah surat dari tempat lain, masih di bilangan Indonesia. "Kini saya mulai agak mengerti. Saya seperti mendapat jawaban, setelah makin banyak melihat. Karena, tidak hanya Anda - banyak orang lain saya lihat memiliki beberapa aspek yang campur baur dalam kehidupan. Jauh dari Jakarta, saya bertemu dengan seorang guru sekolah. Tetapi dia bukan hanya guru dia Juga wiraswastawan, anggota sebuah organisasi politik, seniman pemikir, ketua RT, olahragawan, pecandu cerita silat, ahli kebatinan, dan suami tiga istri yang masing-masing empat anak dan termasuk penyokong emansipasi dan program KB." "Itu hanya sekadar contoh yang menunjukkan bahwa kesulitan untuk menetapkan siapa yang sedang saya hadapi sebetulnya bukan kesulitan, tapi kebodohan - karena saya memakai ukuran lain. Mungkin kehidupan betul-betul kompleks, dan semua orang harus menjadi superman. Buat saya sekarang, semuanya makin jelas. Saya tidak bingung lagi semuanya bisa dimengerti, kalau kita kembalikan kepada kenyataan bahwa semua orang adalah superman. Setelah dua bulan, semua pertanyaan saya yang semula bernada sinis berubah menjadi pernyataan kekaguman. Saya telah dihadapkan kepada gaya hidup yang mau tak mau menyadarkan saya kembali: manusia itu benar-benar makhluk yang super." Pada bulan ketiga, pelancong itu kembali ke Jakarta. Berjabat tangan, mukanya sudah terbakar cahaya matahari. Ia bercerita. "Sekarang saya tidak bertanya lagi. Tapi akan menceritakan sesuatu. Setelah percaya bahwa saya sedang berada di tengah masyarakat superman, saya terkejut. Seorang sahabat yang baik sekali, yang telah berkali-kali menolong saya, tiba-tiba saja jatuh hanya karena soal yang sepele sekali. Orang itu guru sekolah yang sudah saya ceritakan dulu. Sekarang dia dalam penjara, karena menggelapkan uang koperasi murid-murid. Itu mestinya tidak perlu, mengingat jumlahnya hanya sekitar Rp 50 ribu." "Dan yang lebih mengejutkan adalah ketika saya mencoba menelepon Anda," tulis pelancong itu kemudian di kapal terbang, dalam perjalanan pulang ke tanah airnya. "Telepon itu ternyata sudah mati. Apakah Anda sudah terlambat membayar rekeningnya, tidak ada waktu untuk mengurus ? Juga, ketika saya melihat mobil Anda, yang keluar dari dalamnya ternyata orang lain. Ketika saya tanya, mereka bilang Anda baru saja menjualnya. Mengapa dijual, bukankah kendaraan perlu di Jakarta? Lalu ketika saya mencoba mengunjungi rumah Anda, ternyata Anda sudah tidak di situ lagi - mereka bilang pindah. Jadi, itu bukan rumah Anda? Mengapa Anda sudah mengontrak rumah yang begitu besar dan terletak di kawasan yang sulit diJangkau lalu lintas umum serta Jauh dan tempat pekerjaan Anda? Lebih terkejut lagi ketika saya ke kantor Anda - mereka bilang Anda sudah berhenti - maaf, salah seorang teman baik Anda mengatakan bahwa Anda sudah diberhentikan, karena jarang masuk kantor. Mungkinkah Anda telah mendapat pekerjaan yang lebih baik, atau sudah tak mampu bekerja di satu tempat karena kebutuhan Anda tak tercukupi? Ya, saya jadi kembali dengan pertanyaan-pertanyaan. Yang paling penting: mengapa Anda memaksa diri menjadi superman? Apa betul tidak bisa hidup kalau bukan superman Apa sudah sedemikian keadaannya, sehingga menjadi superman yang gagal pun cukup memuaskan?" Beberapa tahun kemudian, pelancong itu menulis surat dari tanah airnya. "Dear Superman. Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan yang teratur, saya menderita semacam kerinduan terhadap nilai-nilai hidup yang dulu sudah pernah saya dapati di Indonesia tetapi tidak benar-benar saya resapi. Saya seperti merasa asing di tempat saya sekarang. Semuanya serba otomatis, serba menurut aturan, sehingga membosankan. Saya merasa kehilangan warna hidup, terpencil, sepi, dan tak berguna. Saya merindukan kemesraan yang lebih kompleks, persaudaraan, pergaulan, hubungan batin, keramahan, dan rasa humor Anda yang tinggi. Bahkan juga basa-basi dan segala yang tidak hanya diukur dari efisiensi dan kepraktisan. Saya merindukan hidup yang wajar. Jadi, saya akan datang kembali." Tak lama kemudian pelancong itu sudah berada di Jakarta. "Tetapi kali ini saya bukan seorang pelancong lagi," katanya sambil tersenyum lebar, dengan beberapa patah bahasa Indonesia yang beraksen khas Jakarta. "Saya sudah memutuskan untuk tinggal beberapa lama di sini. Saya sudah mengontrak rumah. Kini saya adalah sebagian dari Anda semua, dengan cara melihat dan barangkali juga berpikir lebih kurang seperti Anda. Dengan cara, atau gaya, atau upaya hidup, yang sebagai Anda lakukan, yaitu hadir di dalam kehidupan sebagaimana yang dituntut keadaan. Saya mengerti sekarang, dan yakin, hidup begini lebih sedap dan manusiawi. Sebagai balasan atas undangan Anda dulu, datanglah ke rumah saya sekeluarga untuk makan malam, untuk menyambung persahabatan kita yang hampir putus." Setelah tamunya pulang, pelancong yang tidak mau lagi disebut pelancong itu berkata, "Heran sekali. Aneh sekali. Mengapa Anda begitu banyak pertanyaan. Dan mengapa pertanyaan-pertanyaan itu terlalu kritis, bahkan nyaris kedengaran bingung, marah, dan terlalu sinis. Anda mestinya bisa menjawab itu sendiri, kalau mau mencoba melihat segala sesuatu dengan ukuran yang tepat. Mengapa Anda mesti bertanya? Itu berlebih-lebihan. Bukankah keadaan saya, apa yang saya lakukan sekarang, rumah saya, hidup saya, perbuatan saya, perasaan dan cara berpikir saya, sudah persis, komplet sama dengan yang ada pada Anda? Bukankah, seperti Anda, sekarang saya juga seorang superman". Tetapi itu hanya dikatakan dalam hatinya. Tidak diomongkannya langsung, atau lewat surat, atau lewat telepon. Sesuai dengan kebiasaan setempat: menggerundel. Ia sudah orang sini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus