CAKRAWALA POLITIK ERA SUKARNO Oleh: Ganis Harsono Penerbit: Inti Idayu Press, Jakarta, 1985, 216 halaman APAKAH yang harus dilakukan oleh seorang bekas atase pers, yang "telanjur" mempunyai banyak kenalan di kalangan wartawan asing, ketika tiba-tiba peristiwa penting terjadi, sedangkan pejabat yang berwenang memberi keterangan tak bisa dihubungi? Inilah yang dialami Ganis Harsono di waktu Proklamasi PRRI diumumkan. Maka, dalam keadaan terdesak itu, ia terpaksa berlagak dengan mengatakan, "Pemerintah menganggap Proklamasi PRRI itu sebagai petualangan yang keliru arah". Pernyataan itu biasa saja. Apalagi yang bisa dikatakan seorang pejabat ketika tantangan terhadap pemerintah telah diajukan? Tetapi, kata Ganis, inilah awal dari segalanya yang menyebabkan ia terlempar ke "lingkungan dalam" rezim Demokrasi Terpimpin. Maka, mulai dari jabatan sebagai juru bicara Departemen Luar Negeri, Ganis akhirnya mencapai puncak karier sebagai Deputi Menteri Luar Negeri. Karena kedudukan yang cukup strategis itu pula ia kemudian dianggap bersalah dalam berbagai kebijaksanaan politik, yang menyebabkan Indonesia terjerumus ke dalam krisis sosial-politik yang cukup parah. Ia dipenjarakan oleh pemerintah Orde Baru dan, tanpa proses pengadilan apa pun, akhirnya dibebaskan. Ketika beberapa tahun kemudian ia menulis buku ini, yang mula-mula dlterbitkan dalam bahasa Inggris (1977), kepahitan dan kegetiran sebagai orang yang merasa telah dikhianati dan dianiaya sudah menipis, tetapi keyakinan akan ketepatan arah politik luar negeri yang ditempuh di zaman Bung Karno tetap kuat (halaman 3-84). Tetapi biarkanlah sikap subyektif ini bertahan. Jangankan seorang diplomat atau pejabat, sedangkan ilmuwan sering tak sangup mcmbendung subyektivismenya. Tentu tersembul juga pertanyaan: Apakah peristiwa faktual dari keterangan yang bisa diberikan oleh seseorang yang terlibat langsung dalam berbagai proses perumusan dan pelaksanaan politik di era Bung Karno? Maka, kita akan segera menemukan sifat ganda buku ini. Pertama, buku ini cukup bercorak "kenangan" dari penulisnya. Ganis bercerita tentang masa awal kariernya sebagai diplomat muda. Ah, betapa menjengkelkan terasa, ketika Duta Besar Dr. Subandrio, dengan mengejek, menunjukkan kekurangan Ganis: "Sayang, Saudara bukan sarjana". Kemudian kita diperkenalkannya dengan seorang tokoh Inggris yang diberinya julukan "Paddington Playboy". Dan kita pun terasa ikut menghela napas, "Ah, kalau...". Seandainya "info" yang diberikan Paddington Playboy ini digubris, siapa tahu pada pertengahan 1950-an kita telah akan bisa memberi dampak yang positif dalam politik internasional, ketika konflik Suez sedang di puncak yang paling kritis. Peristiwa yang cukup menarik juga ialah kejengkelan Ganis ketika ia, sebagai anggota delegasi Indonesia ke Beijing, mengadakan perundingan dengan delegasi RRC yang hanya mau menang sendiri. Episode ini secara sugestif memperlihatkan betapa semunya "persahabatan diplomatik" Indonesia - RRC. Kedua, kisah yang disampaikannya tentang situasi kenegaraan. Dalam hal inilah sesungguhnya kita bisa berharap ia memberikan kenangan pribadi yang bercorak "sumber orang dalam". Sayang, ia kurang berhasil. Ataukah ia sesungguhnya berada di luar segala hal yang dibicarakannya, sehingga tugasnya hanyalah sekadar mengingatkan kita yang mungkin telah lupa atau belum tahu? Kalau demikian, penilaian yang harus diberikan pada buku ini haruslah berdasarkan pada ukuran yang biasa diberikan terhadap usaha penulisan sejarah politik kontemporer biasa. Dengan memakai ukuran itu, sumbangan buku ini terutama terletak pada konfirmasi atas berbagai fakta yang telah lama diketahui - tentang usaha Bung Karno mengadakan keseimbangan antara ABRI (Nasution) dan PKI (Aidit), kemudian kecenderungan Bung Karno pada Nyoto, dengan menjauhi Aidit, dan sebagainya. Tetapi, bukankah konfirmasi fakta berarti peneguhan pengetahuan? Hanya saja, ketika membaca buku ini timbul juga penyesalan. Mengapa Ganis harus mencoba-coba jadi "sarjana", padahal ia mungkin mempunyai perbendaharaan pengetahuan yang lebih intim tentang era Sukarno? Usahanya untuk memberi keterangan terhadap berbagai dinamika politik intern, yang memberi pantulan jalan perumusan politik luar negeri, dengan sendirinya haruslah diukur dari sudut "ilmiah" ini. Bentuk teoretis yang diperkenalkannya tentang lima lapisan piramida kepemimpinan Indonesia memang menarik, tetapi tak bisa menangkap berbagai dinamika politik yang terjadi. Maka, persyaratan pertama dari pembentukan teori telah mengalami kemacetan. Buku yang mungkin akan bagus ini telah agak tersia-sia jadinya. Tetapi, seperti halnya ketika Ganis masih muda, ia telah memilih. Dan pilihan ini adalah haknya. Taufiq Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini