"SAUDARA-Saudara. Nyonya Nita membawa bola sendirian. Digiring ke kiri, lalu ke kanan. Melambung tinggi. Akhirnya, ya, bola masuk ke lubangnya. Eh, maaf, maksudnya ke lubang sarungnya. Dan bola menghilang, Saudara-Saudara...." Penonton bingung. Yang menyiarkan pandangan mata itu juga pura-pura bingung. Ke mana bola itu? Yang jelas, Nyonya Nita lari ke arah gawang lawan. Ketika dekat gawang musuh, terdengar lagi komentar, "Saudara-Saudara, bola kelihatan lagi dan gol...." Penonton bersorak. Ini sepak bola ajaib. Berlangsung pertengahan Juli lalu di Gang Mandasia, Kampung Krapyak, Semarang, sepak bola ini untuk menyambut HUT Proklamasi yang akan datang. Tujuannya tidak muluk-muluk, hanya hiburan. Karena itulah penonton melimpah ruah. "Ini acara yang baru pertama kali kami adakan. Sambutan masyarakat ternyata meriah," kata Drs. Thohir Hadiwijoyo, ketua RW Kampung Krapyak. Lapangan yang dipakai hanyalah lapangan voli. Jadi, yang bertarung bukan kesebelasan, melainkan keenaman -- artinya satu tim berenam. Pesertanya harus wanita dan sudah berstatus ibu-ibu. Gadis dilarang ikut. Semua pemain mengenakan sarung. Syarat lain, ini yang membuat daya tarik penonton, sarung itu hanya dililitkan begitu saja di dada, tidak boleh dibantu tali atau setagen. Jadi, kalau melorot, ya, harus dinaikkan lagi. Sering pemain menggiring bola dengan memegang sarungnya. Porno? Oh, bukan. Walau sarung-sarung itu lebih sering melorot atau malah copot tak ada yang bugil. Semua pemain bola mengenakan celana training. Semangat bertanding memang tinggi, sering kali ibu-ibu itu jatuh bangun. Pertandingan itu cuma berlangsung 2 x 20 menit dengan jedah 5 menit. Penonton puas karena tak henti-hentinya tertawa. "Kalau ada pertandingan seperti itu, saya mau ikut lagi ujar Nyonya Nita, ibu empat anak itu dengan mata berbinar. Sepak bola model begini mungkin menarik dikembangkan di Indonesia karena tujuannya jelas, semacam dagelan. Dibandingkan sepak bola serius tapi toh hasilnya tak lebih dari dagelan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini