MENARIK PELAJARAN DARI SEJARAH Oleh: Hardi Penerbit : CV Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, 226 halaman HARDI adalah seorang tokoh politik terkemuka dari PNI. Antara lain dia pernah menjadi wakil perdana menteri, anggota DPR, dan duta besar di Hanoi. Sungguhpun begitu, perjalanan perjuangan politiknya tidaklah selalu mulus dan berjaya. Ia pernah berada dalam posisi-posisi yang sulit dan pahit. Melalui perjalanan perjuangan politiknya yang berliku-liku dan panjang itu, muncul dan berkembanglah kualitasnya sebagai seorang tokoh nasionalis yang demokrat dan berkarakter. Rasa keterikatannya yang dalam terhadap prinsip-prinsip politik yang diyakininya serta keinginannya yang kuat untuk memperjuangkan apa yang dianggapnya terbaik bagi bangsa dan negaranya rupanya menyebabkannya tetap kritis dan kreatif. Dia tampak risau dan mungkin frustrasi melihat berbagai hal yang berkembang dalam kehidupan politik bangsanya beberapa tahun terakhir ini, tetapi tetap berhasil memakai waktunya secara produktif. Buku ini adalah salah satu buktinya. Melalui buku Menarik Pelajaran dari Sejarah ini, pembaca akan mengetahui persepsi dan pandangan Hardi tentang pengalaman perjuangan bangsanya memerdekakan dan membangun dirinya, tidak lain karena karya tulisnya ini pada dasarnya adalah hasil renungannya yang kritis terhadap apa yang dibaca, diteliti, dan dialaminya sendiri. Dalam 10 bab yang terkandung dalam buku ini, Hardi ingin berbagi dengan pembaca, makna dan pelajaran yang dapat digali, dicerna, dan diolahnya. Untuk itu, kita diajaknya menelusuri benang merah perjuangan bangsa Indonesia melawan imperialisme dan kolonialisme sampai kepada zaman kemerdekaan sekarang ini. Dia mulai dengan nasionalisme yang tersimpul dalam perlawanan heroik yang pernah dilakukan melawan penjajah dengan sistem kapitalisme, imperialisme, dan kolonialismenya sebelum abad ke-20. Perlawanan itu selalu berakhir dengan kekalahan dramatis, terutama karena lawan memiliki senjata modern yang lebih ampuh. Belajar dari pengalaman sejarah yang heroik dan pahit itu, kaum nasionalis di zaman pergerakan nasional berkesimpulan bahwa melawan sistem imperialisme dan kolonialisme tidak cukup dengan senjata saja. Mereka "menemukan suatu cara baru ... yaitu membangun suatu 'Organisasi Modern' sebagai wadah perjuangan". Dari situ bangsa Indonesia mengembangkan nasionalismenya dengan memasukkan ciri dan karakter baru yang kemudian menyemangati pemuda, ditantang oleh fasisme Jepang, dan seterusnya melahirkan Pancasila, UUD '45, dan kemerdekaan. Rentang waktu yang dicakup oleh buku yang tidak begitu tebal ini terlalu panjang, dan karena itu pembaca yang kritis dan memiliki pengetahuan sejarah yang mendalam tentunya akan mudah menemukan lubang-lubang kelemahan pada buku ini dari satu bab ke bab yang lain. Uraian-uraiannya kurang mendalam dan kurang tuntas. Tetapi, sebagaimana telah diungkapkan di atas, penulisnya sendiri memang tidak berpretensi bahwa buku ini adalah sebuah karya tulis ilmiah. Karena itu, pembaca paling-paling hanya dapat beradu argumentasi tentang persepsi dan pandangan Hardi. Pada halaman-halaman terakhir dari bukunya, kita menemukan persepsi dan pandangan Hardi yang menggigit dan berharga tentang berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa kita sesudah proklamasi. Di samping mengakui bahwa di zaman Demokrasi Parlementer (Demokrasi Liberal) dulu terdapat banyak kekurangan, ia mengemukakan beberapa hal yang positif. Di zaman partai-partai politik berkuasa itu, korupsi tentu saja ada, tetapi katanya, dengan melihat "cara hidup para menteri, pejabat-pejabat pemerintah lainnya, dan warga ABRI pada waktu itu, jelas bahwa mereka tidak korup". Sejalan dengan itu, ia ingin meluruskan isu yang bernada "antipartai", dan bahwa perilaku semua orang di zaman Orla adalah buruk dianggapnya bersifat subyektif dan emosional, dan karena itu bukanlah cara yang baik (obyektif) untuk menarik pelajaran dari pengalaman sejarah masa lampau. Dia juga risau melihat gejala-gejaia memudarnya nasionalisme di zaman pembangunan ini, antara lain karena berkembangnya individualisme dan liberalisme yang menyebabkan orang mementingkan diri sendiri, menjadi serakah karena ingin lekas kaya. Hal itulah yang menyebabkan korupsi, pungli, penyalahgunaan kekuasaan, serta perangai buruk lainnya. Kecenderungan individualis-liberalis itu sekaligus dipakainya pula sebagai argumentasi untuk mengoreksi pandangan yang hidup di sebagian generasi muda di tahun 1970-an, yang menganggap nasionalisme PNI, atau nasionalisme ajaran Bung Karno telah usang, sempit, antiasing, dan bahkan antimodal asing. Ditegaskannya bahwa nasionalisme PNI atau Soekarno bukanlah apriori antimodal asing, tetapi memang antisistem kapitalis. Demikianlah, di samping beberapa kelemahan, antara lain karena kurang mendalam dan kurang tuntasnya uraian-uraiannya, dalam buku ini pembaca akan mengetahui persepsi dan pandangan Hardi yang kritis dan tajam, terutama tentang persoalan-persoalan bangsa dan negara kita sekarang ini dan di masa depan. Bahasanya relatif lancar, dan karena itu cukup enak dibaca. Alfian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini