Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Burhanuddin Muhtadi
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta dan Direktur Indikator Politik Indonesia
PAGI 3 November 1982, sehari setelah pemilihan Gubernur California, Amerika Serikat, San Francisco Chronicle memasang headline "Bradley Win Projected". Survei-survei pra-pemilihan dan exit poll juga mendaulat Tom Bradley, eks Wali Kota Los Angeles yang sukses tapi berkulit hitam dan calon dari Partai Demokrat, sebagai pemenang dengan selisih besar.
Apa lacur, hasil pemilihan umum menunjukkan sebaliknya. George Deukmejian, calon dari Republik yang berkulit putih, justru unggul. Charles Henry (1983) menemukan faktor ras di balik kekalahan Bradley. Kalangan pollster mengenangnya sebagai Bradley effect, ketika warga kulit putih saat disurvei menyembunyikan antipatinya kepada Bradley karena takut dituding rasis.
Apakah Bradley effect terjadi dalam pemilihan kepala daerah Jakarta? Ini misteri yang belum terpecahkan. Jika benar terjadi, mengapa sebagian pollster sukses memprediksi Basuki Tjahaja Purnama unggul, meski selisihnya dengan Anies Baswedan tak selebar yang mereka prediksi?
Setidaknya ada tiga hipotesis yang mungkin mengafirmasi Bradley effect terjadi di Jakarta. Pertama, gap kepuasan kinerja dan elektabilitas Ahok terjadi jauh sebelum kasus Al-Maidah meledak. Survei Indikator Politik Indonesia pada Januari 2016 menunjukkan 74 persen warga puas atas kinerja Ahok, tapi "hanya" 48 persen yang sudi memilihnya. Pada Mei-Juni 2016, approval rating Ahok mencapai 76 persen, tapi kedipilihannya "hanya" 53 persen. Survei eksperimen Indikator pada Januari 2016 juga menemukan etnis dan agama merupakan faktor yang dipertimbangkan penduduk dalam menentukan pilihan. Namun desain eksperimen memberi informasi berharga bahwa "kesamaan agama" lebih dipertimbangkan dibanding "kesamaan etnis".
Pertanyaannya, apakah jarak yang lebar antara kepuasan kinerja dan kedipilihan semata-mata karena minoritas ganda yang disandang Ahok? Bukankah banyak yang mengklaim karakter dan emosi Ahok yang meledak-ledak turut menyulut antipati? Di antara kedua variabel ini, mana yang menjadi derivative atau variabel terikat yang ditentukan nasibnya oleh variabel bebas?
Insiden Al-Maidah membuka kotak pandora dan menjustifikasi apa yang selama ini disimpan rapat-rapat di bawah telapak meja. Intinya, sebelum muncul penantang secara definitif pun politik identitas diam-diam sudah bekerja. Mereka mengakui Ahok sudah bekerja baik, tapi hati mereka sulit menerima karena dia dianggap sebagai representasi yang liyan (representation of "the Others")—meminjam istilah Christoffanini (2003).
Ahok menyandang dua lapis minoritas sekaligus: Kristen dan Tionghoa. Di sebagian kalangan moderat pun tebersit kekhawatiran bahwa naiknya Ahok menjadi sinyal dominasi minoritas yang sebelumnya dianggap sudah merajai ekonomi dan kini merambah ke politik. Ketika Ahok meroket, ada perasaan di sebagian kalangan bahwa domain politik yang dianggap menjadi kaveling eksklusif mereka terancam. Inilah yang dalam literatur post-colonial disebut stereotip, yakni "a preconceived and oversimplified idea of the characteristics which typify a person, situation, etc. an attitude based on such a preconception" (Felsenstein, 1995: 11).
Preposisi kedua yang bisa mengonfirmasi Bradley effect adalah faktor Al-Maidah yang menjadi prediktor yang kuat dan konsisten dalam menjelaskan elektabilitas calon. Banyak yang menyimpulkan agama bukan faktor utama dengan bersandar pada temuan exit poll ketika hanya 7-9 persen responden mengaku memilih berdasarkan agama. Tapi pertanyaan seperti ini rentan terdistorsi social desirability bias: mengungkapkan pilihan berdasar agama dianggap bukan politically correct. Sebaliknya, memilih berdasarkan program terlihat lebih intelek.
Analisis regresi logistik multinomial menyediakan jawaban atas seberapa signifikan sebuah variabel independen setelah dikontrol oleh variabel-variabel yang lain. Hasilnya, kasus Al-Maidah terbukti terus membayangi elektabilitas Ahok. Dan harus diakui ucapan Ahok itu memang politically incorrect. Ini mengapa Anies paling banyak mendapat aliran pemilih undecided. Bisa jadi, ketika disurvei, responden menyembunyikan pilihan karena mengaku pilihan atas dasar tersinggung ucapan Ahok soal Al-Maidah mungkin kurang "heroik".
Terakhir, hipotesis yang menyokong Bradley effect adalah model pilihan rasional—yang dalam survei pamungkas Indikator diukur melalui "kinerja petahana" dan "kondisi ekonomi"—terbukti tidak signifikan dalam menentukan pilihan. Artinya, terlepas apakah warga Jakarta puas atau tidak puas terhadap Ahok, efeknya minimal. Demikian juga kondisi ekonomi di Jakarta, secara egoisentrik dinilai membaik atau memburuk, tidak menjadi faktor determinan.
Jika ketiga hipotesis di atas benar, kita patut mempertanyakan rasionalitas pemilih di Jakarta yang selama ini digadang-gadang lebih rasional dibanding wilayah lain. Terlepas dari pengukuran rasionalitas yang mungkin masih debatable, temuan bahwa kepuasan atas kinerja inkumben ternyata tak cukup mengantarkan kesuksesan elektoral tentu mengagetkan.
Ketika Ahok meroket, ada perasaan di sebagian kalangan bahwa domain politik yang dianggap menjadi kaveling eksklusif mereka terancam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo