Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Makin banyaknya petani menggunakan situs jual-beli online untuk memasarkan produknya merupakan perkembangan menggembirakan. Pasar di ranah maya itu sungguh membantu mereka. Tak perlu lagi ada perantara, entah pengepul entah tengkulak, yang biasanya justru menggaruk untung lebih besar ketimbang para petani. Inisiatif penggunaan teknologi seperti ini layak didukung.
Dudi Krisnadi, petani kelor dari Blora, Jawa Tengah, salah satu contohnya. Melalui situs jual-beli online Kelorina, dia menjual daun serta biji kelor dan menghasilkan Rp 50-250 juta sebulan. Lewat aplikasi itu, hasil kebunnya juga merambah pasar luar negeri.
Model bisnis ala Dudi dan banyak petani lain memang bukan hal baru. Para raksasa e-commerce (jual-beli online) telah menggarap pasar Indonesia setidaknya dalam lima tahun terakhir. Pemain besar seperti Lazada, Tokopedia, dan Bukalapak, bahkan yang datang dari luar seperti AliExpress—milik taipan digital Cina, Jack Ma—sudah lama menggarap pasar Indonesia. Ini belum menghitung platform bisnis online lewat media sosial, seperti Twitter, Facebook, dan Instagram, yang belakangan juga berkembang pesat.
Dengan nilai pasar e-commerce Indonesia yang tahun lalu saja sudah mencapai Rp 394 triliun, peluang model bisnis ini untuk berkembang sangat besar. Sayangnya, sektor ini masih kurang memberi perhatian pada produk-produk pertanian seperti yang digarap Dudi.
Presiden Joko Widodo pada April tahun lalu di Brebes, Jawa Tengah, meresmikan sistem pemasaran e-commerce untuk para petani. Sistem itu bernama LimaKilo. Lewat aplikasi yang disponsori Kementerian Komunikasi dan Informatika itu, petani bawang dan cabai merah bisa memasarkan langsung hasil taninya ke pembeli di kota, tak perlu lagi melalui pengepul atau tengkulak.
Pemerintah seharusnya mendorong lebih banyak pemain lokal terjun ke bisnis online produk pertanian. Bisnis ini akan mengurangi masalah produk pertanian, seperti harga cabai atau bawang yang selangit karena permainan makelar. Terpangkasnya rantai distribusi juga membuat petani dan konsumen sama-sama mendapat harga yang lebih baik.
Upaya pemerintah mengenalkan model pemasaran berbasis digital masih sangat kurang. Tak banyak program yang dilahirkan pemerintah. Mereka semestinya lebih banyak membuka ruang kreativitas melalui berbagai lomba pembuatan aplikasi (hackathon) dan pendampingan usaha-usaha rintisan (startup) yang berfokus pada produk pertanian.
Kebijakan pajak dan regulasi pengawasan pun semestinya berbasis pada pengutamaan kepentingan penggiat e-commerce lokal. Sayangnya, yang terjadi justru menghambat tumbuhnya bisnis berbasis digital ini. Salah satu contoh adalah aturan pajak tentang pemungutan pajak penghasilan atas transaksi e-commerce. Pungutan pajak itu terkesan tidak adil karena di satu sisi penggiat e-commerce lokal harus membayar pajak, sedangkan di sisi lain, untuk situs-situs e-commerce raksasa dari luar negeri, pajaknya belum juga bisa dipungut. Padahal nilai transaksi yang mereka lakukan sangat besar.
Secara teknis, sebetulnya tak ada hambatan untuk terus memacu pertumbuhan bisnis online. Yang diperlukan hanya memberi keleluasaan melalui regulasi pendukung yang menguntungkan pemain lokal. Jika itu dilakukan, bisnis online akan membuat para makelar hasil tani turun pentas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo