Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi
Tarif Telepon

Berita Tempo Plus

Tak Bisa Sembarang Naik

Telkom mengusulkan kenaikan tarif percakapan lokal dan abonemen. Biaya produksinya dipertanyakan.

30 Januari 2006 | 00.00 WIB

Tak Bisa Sembarang Naik
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

DELAPAN pucuk surat bertanggal 27 Oktober 2005 mendarat di meja Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), Basuki Yusuf Iskandar. Pengirimnya Direktur Utama PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (Telkom), Arwin Rasyid. Isinya seru.

Manajemen PT Telkom mengusulkan penataan ulang tarif telepon. Karena masih bersubsidi, Telkom meminta tarif lokal dinaikkan 30 persen dan abonemen dinaikkan 10,8 persen. Sebaliknya, karena terlalu tinggi, tarif sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) diturunkan 18,6 persen.

Subsidi itu, kata juru bicara PT Telkom, Muhammad Awaluddin, berasal dari pendapatan SLJJ yang jauh di atas biaya produksinya kepada pendapatan lokal dan abonemen yang jauh di bawah biaya produksinya masing-masing (lihat tabel).

Acuan yang dipakai Telkom adalah hasil penghitungan biaya produksi yang dibuat konsultan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi pada 2002. ”Di sana terlihat masih ada subsidi 17 persen pada percakapan lokal, subsidi 36 persen pada abonemen, dan margin 109 persen pada SLJJ,” ujarnya.

Sayang, hasil penghitungan resmi yang mestinya menjadi data penguat itu belakangan justru berbalik. Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi, Heru Sutadi, mengatakan, biaya produksi yang diajukan Telkom sudah kedaluwarsa. ”Komite meminta Telkom menyerahkan penghitungan dengan data minimal tahun 2004,” katanya.

Kritik terhadap metode penghitungan biaya produksi Telkom juga dilontarkan Ketua Masyarakat Telematika Indonesia, Mas Wigrantoro R.S. Ia menilai formula penghitungan tarif yang dipakai masih menggunakan formula di era monopoli jasa telekomunikasi. Dalam formula itu, variabel yang dipakai menentukan tarif baru adalah besarnya tarif lama ditambah indeks harga konsumen, ditambah efisiensi internal, dan ditambah atau dikurangi efisiensi industri.

Mestinya, kata dia, di era kompetisi ini Telkom menghitung berdasarkan biaya riil yang dikeluarkan untuk membuat satu produk layanan. Contohnya dengan memasukkan biaya operasional jaringan, biaya langsung, dan biaya tak langsung. ”Sehingga benar-benar diketahui untung-ruginya sebuah produk.”

Pengamat telekomunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Roy Suryo, bersuara senada. Menurut dia, di beberapa tempat Telkom masih memanfaatkan teknologi yang memungkinkan satu jaringan fisik digunakan oleh dua hingga empat sambungan sekaligus. ”Pada jaringan ini, biaya produksinya hanya seperempat dari jaringan lainnya,” katanya.

Batu sandungan yang menghadang Telkom bukan hanya itu. Heru memastikan Komite masih akan mengkaji beberapa faktor lain sebelum menyetujui atau menolak usulan Telkom, misalnya dampak kenaikan tarif terhadap keuangan Telkom. ”Apakah Telkom rugi kalau tariff rebalancing tidak jadi,” katanya.

Pemerintah juga berhati-hati sekali menanggapi usulan Telkom. Juru bicara Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi Departemen Komunikasi dan Informatika, Gatot S. Dewa Broto, menyatakan, komitmen yang dibuat pemerintah dan DPR pada 2002 saat ini sudah tidak terlalu berarti lagi.

Pasalnya, penghitungan besaran kenaikan telah menjadi perdebatan yang tak kunjung selesai karena adanya perbedaan cara menghitung. ”Bisa saja Telkom bilang persentasenya belum terpenuhi (dari target 45,49 persen), tapi pemerintah menilai sudah tercapai,” katanya.

Pada 2002, pemerintah dan DPR sepakat menaikkan tarif rata-rata telepon-tetap sebesar 45,49 persen dalam tiga tahap. Kenaikan tahap pertama sudah dilakukan pada 1 Februari 2002 rata-rata 15 persen, dan tahap kedua pada 1 April 2004 rata-rata 9 persen.

Gatot juga menyodorkan dua catatan penting. Pertama, kenaikan tarif dipastikan tidak akan dilakukan dalam waktu dekat. ”Kalau dipaksakan sekarang akan sulit, karena ada kenaikan tarif listrik,” katanya. Kedua, kalaupun disetujui, ada kemungkinan persentase kenaikannya lebih rendah dari yang diusulkan Telkom. ”Bisa saja seperti kejadian di tahun 2004, usulan kenaikan tarif Telkom dipangkas setengahnya oleh BRTI,” katanya.

Efri Ritonga, Sam Cahyadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus