Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sibolga Tanpa Harimau

Dengan adanya pelarangan pukat harimau, sebagian besar penduduk sibolga mulai cemas akan kehilangan mata pencaharian.(kt)

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGIAN besar penduduk Kota Sibolga sedang cemas. Sebab bila riwayat pukat harimau di kawasan ini benar-benar berakhir 1 Januari tahun depan, berarti 3/4 dari penduduknya (seluruhnya 54.000 jiwa) akan terkena akibatnya. Sehingga diperkirakan kota yang dikenal sebagai pusat kaum nelayan di Sumatera Utara itu akan kembali sepi seperti sebelum ada pukat harimau. Bagi Pemda Kotamadya Sibolga kepergian pukat harimau memang tak akan terasa benar akibatnya. "Hanya kehilangan retribusi dari dermaga pukat harimau sekitar Rp 30 sampai Rp 40 juta setahun," kata Walikota Sibolga, Khairudin Siregar SH. Tapi jauh berbeda bagi sekitar 40.000 penduduk kota yang langsung terlibat dalam kesibukan penangkapan ikan di sana. Mereka antara lain adalah awak pukat harimau, para pedagang ikan, buruh pengering ikan, sampai pada mereka yang bertindak sebagai penyalur bahan bakar, bahan makanan dan air tawar. Dengan sekitar 150 pukat harimau ditambah armada penangkap ikan tradisional, perairan Sibolga selama ini rata-rata menghasilkan 24.000 ton ikan setahun. Para pemilik pukat yang memandang potensi laut di sini cukup besar, sejak beberapa tahun lalu berdatangan dan berpangkalan di kota ini -- sekaligus mengundang penduduk sekitar Sibolga untuk berdatangan sebagai buruh di segala sektor yang berkaitan dengan perikanan. Sehingga kota yang sebelumnya sepi dan sempit, jadi ramai oleh pendatang. Tapi Kepres 39/1980 yang melarang pukat harimau beroperasi mulai 1 Januari 1981 di kawasan Pulau Sumatera, mulai mencemaskan sebagian besar penduduk kota ini. Tak terkecuali penduduk biasa. Bahkan para pedagang mulai menghitung kemerosotan peredaran uang mereka. Sebab dari seluruh produksi ikan di kota ini berputar uang sekitar Rp 12 milyar setahun. Akibat langsung misalnya akan dirasakan Abdullah Sani Situmorang. Selama ini ayah dari 2 orang anak ini adalah pensuplai air minum bagi dermaga pukat harimau yang tidak berlangganan air PAM Sibolga. Dengan modal sebuah becak dan 10 jerigen, "selama ini saya bisa mengumpulkan kentungan Rp 1.500 sehari." Ia rupanya tak mampu membayangkan kemerostan penghasilannya bila pelarangan pukat harimau sudah terlaksana. "Saya tidak tahu, kita lihat saja nanti," katanya. Zuber Malau, satu dari sekian ratus penjemur ikan, juga tampaknya mulai was-was. Ia dan kawan-kawannya membeli ikan dari dermaga pukat harimau rata-rata 20 ton seminggu dengan harga Rp 60/kg untuk dijemur dijadikan ikan asin. Untuk menyisik dan membelahnya diupahkan Rp 5/kg kepada sekitar 2.000 anak-anak dan inang-inang. Pihak terakhir ini rata-rata berpenghasilan Rp 1.500 sehari. "Nganggurlah kami jadinya," ujar Indun boru Harahap, seorang penyisik ikan ketika ditanyai soal pelarangan pukat harimau. Walikota Khairudin mengaku memang belum punya rencana apa-apa untuk menyelamatkan sebagian besar warganya yang akan tersapu oleh pelarangan trawler. Ia hanya mengulangi janji Gubernur Sum-Ut, "pasti ada jalan keluar untuk mengatasi akibat Kepres 39/1980 itu." Jalan keluar itu barangkali memang sedang dirintis oleh beberapa orang yang selama ini sudah bergerak di bidang perikanan di Sibolga. Dua orang pemilik pukat harimau, D.E. Manurung dan T.E Siregar, misalnya tak lama setelah Kepres itu diumumkan, cepat-cepat mendirikan cabang PT Mina Nusantara Raya (Minura -- yang berpusat di Jakarta) untuk Sibolga. Dengan perusahaan ini Manurung dan Siregar akan mengumpulkan para pemilik trawler untuk bergabung dalam satu usaha penangkapan ikan dengan sistem long line. Dengan sistem itu dimaksudkan beroperasinya kapal-kapal pukat kecil (non harimau) yang diiringi satu "kapal induk" yang selain berperan sebagai penyalur kebutuhan, juga untuk menyimpan hasil-hasil tangkapan sementara. Daerah operasinya 200 mil dari garis pantai. Untuk itu, menurut Manurung, kini telah terhimpun modal sekitar Rp 2 milyar. Ditambah dengan modal dari para pemilik pukat harimau sekarang dan kredit bank, Minura merencanakan membeli armada penangkap ikan baru itu dari Jepang. Untuk itu Walikota Sibolga yang rupanya menyetujui rencana Manurung dan Siregar buru-buru mengajukan syarat harus menggunakan buruh dan awak lokal dan dicegah agar tak terjadi kelangkaan ikan di masa-masa peralihan nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus