SEBAGIAN besar penduduk Kota Sibolga sedang cemas. Sebab bila
riwayat pukat harimau di kawasan ini benar-benar berakhir 1
Januari tahun depan, berarti 3/4 dari penduduknya (seluruhnya
54.000 jiwa) akan terkena akibatnya. Sehingga diperkirakan kota
yang dikenal sebagai pusat kaum nelayan di Sumatera Utara itu
akan kembali sepi seperti sebelum ada pukat harimau.
Bagi Pemda Kotamadya Sibolga kepergian pukat harimau memang tak
akan terasa benar akibatnya. "Hanya kehilangan retribusi dari
dermaga pukat harimau sekitar Rp 30 sampai Rp 40 juta setahun,"
kata Walikota Sibolga, Khairudin Siregar SH. Tapi jauh berbeda
bagi sekitar 40.000 penduduk kota yang langsung terlibat dalam
kesibukan penangkapan ikan di sana. Mereka antara lain adalah
awak pukat harimau, para pedagang ikan, buruh pengering ikan,
sampai pada mereka yang bertindak sebagai penyalur bahan bakar,
bahan makanan dan air tawar.
Dengan sekitar 150 pukat harimau ditambah armada penangkap ikan
tradisional, perairan Sibolga selama ini rata-rata menghasilkan
24.000 ton ikan setahun. Para pemilik pukat yang memandang
potensi laut di sini cukup besar, sejak beberapa tahun lalu
berdatangan dan berpangkalan di kota ini -- sekaligus mengundang
penduduk sekitar Sibolga untuk berdatangan sebagai buruh di
segala sektor yang berkaitan dengan perikanan. Sehingga kota
yang sebelumnya sepi dan sempit, jadi ramai oleh pendatang.
Tapi Kepres 39/1980 yang melarang pukat harimau beroperasi mulai
1 Januari 1981 di kawasan Pulau Sumatera, mulai mencemaskan
sebagian besar penduduk kota ini. Tak terkecuali penduduk biasa.
Bahkan para pedagang mulai menghitung kemerosotan peredaran uang
mereka. Sebab dari seluruh produksi ikan di kota ini berputar
uang sekitar Rp 12 milyar setahun.
Akibat langsung misalnya akan dirasakan Abdullah Sani
Situmorang. Selama ini ayah dari 2 orang anak ini adalah
pensuplai air minum bagi dermaga pukat harimau yang tidak
berlangganan air PAM Sibolga. Dengan modal sebuah becak dan 10
jerigen, "selama ini saya bisa mengumpulkan kentungan Rp 1.500
sehari." Ia rupanya tak mampu membayangkan kemerostan
penghasilannya bila pelarangan pukat harimau sudah terlaksana.
"Saya tidak tahu, kita lihat saja nanti," katanya.
Zuber Malau, satu dari sekian ratus penjemur ikan, juga
tampaknya mulai was-was. Ia dan kawan-kawannya membeli ikan dari
dermaga pukat harimau rata-rata 20 ton seminggu dengan harga Rp
60/kg untuk dijemur dijadikan ikan asin. Untuk menyisik dan
membelahnya diupahkan Rp 5/kg kepada sekitar 2.000 anak-anak dan
inang-inang. Pihak terakhir ini rata-rata berpenghasilan Rp
1.500 sehari. "Nganggurlah kami jadinya," ujar Indun boru
Harahap, seorang penyisik ikan ketika ditanyai soal pelarangan
pukat harimau.
Walikota Khairudin mengaku memang belum punya rencana apa-apa
untuk menyelamatkan sebagian besar warganya yang akan tersapu
oleh pelarangan trawler. Ia hanya mengulangi janji Gubernur
Sum-Ut, "pasti ada jalan keluar untuk mengatasi akibat Kepres
39/1980 itu."
Jalan keluar itu barangkali memang sedang dirintis oleh beberapa
orang yang selama ini sudah bergerak di bidang perikanan di
Sibolga. Dua orang pemilik pukat harimau, D.E. Manurung dan T.E
Siregar, misalnya tak lama setelah Kepres itu diumumkan,
cepat-cepat mendirikan cabang PT Mina Nusantara Raya (Minura --
yang berpusat di Jakarta) untuk Sibolga. Dengan perusahaan ini
Manurung dan Siregar akan mengumpulkan para pemilik trawler
untuk bergabung dalam satu usaha penangkapan ikan dengan sistem
long line.
Dengan sistem itu dimaksudkan beroperasinya kapal-kapal pukat
kecil (non harimau) yang diiringi satu "kapal induk" yang selain
berperan sebagai penyalur kebutuhan, juga untuk menyimpan
hasil-hasil tangkapan sementara. Daerah operasinya 200 mil dari
garis pantai.
Untuk itu, menurut Manurung, kini telah terhimpun modal sekitar
Rp 2 milyar. Ditambah dengan modal dari para pemilik pukat
harimau sekarang dan kredit bank, Minura merencanakan membeli
armada penangkap ikan baru itu dari Jepang. Untuk itu Walikota
Sibolga yang rupanya menyetujui rencana Manurung dan Siregar
buru-buru mengajukan syarat harus menggunakan buruh dan awak
lokal dan dicegah agar tak terjadi kelangkaan ikan di masa-masa
peralihan nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini