Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Lagu lama dan nostalgia

Nostalgia yang direntang hanya akan melahirkan impian tentang tempo dulu yang konon serba cerah. juga yang serba utopis. sang pemimpi akan lari dari kenyataan kini, dan melihat hitam dari hari ini.

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI ruang tengah saya dengar radio sedang mendendangkan sebuah lagu. Lagu lama. Telah sejak di sekolah menengah saya mendengar lagu itu. "Jiko den kana maso dahulu Jatuah nan badarai si aie mato Alah sansai yo badan, oi Sungguh mati, sampai kini saya tak pernah tahu, mengapa air mata harus berderai mengingat masa lalu itu. Apakah masa lalu itu demikian indahnya, dan hari kini demikian pahitnya terasa sehingga rasa sedih tak lagi dapat dibendung? Ataukah, sebaliknya? Demikian baiknya keadaan sekarang, sehingga lintasan kenangan ke masa lalu menyebabkan derita lama terasa lagi. Entahlah, sukar bagi saya untuk menebak. Barangkali bukanlah lirik dari lagu yang berhiba-hiba ini yang salah, tetapi pertanyaan saya. Saya mencari logika pada sesuatu yang bersifat puitis. Bisa juga demikian halnya. Tetapi lebih mungkin lagi ialah bahwa sebenarnya kenyataan yang melatar belakangi lirik itu tidaklah penting. Yang ditangisi bukan apa-apa, tetapi kenyataan bahwa hari lalu telah hilang. Kelampauan adalah suatu kehilangan. Dengan begini lirik ini hanyalah bisa dianggap sebagai pernyataan kekalahan. Kalah dalam melawan waktu yang telah berlalu. Bukanlah maksud saya berfilsafat-filsafatan. Filsafat bukanlah cangkir kopi saya, kata suatu ungkapan. Soalnya begini. Baru-baru ini dengan sangat gembira saya menerima suatu undangan untuk menghadiri silaturahmi sebagai lanjutan dari reuni yang telah kita adakan." "Reuni" dengan kawan-kawan lama. Saya menyesali diri, karena tak ada di kota pada waktu itu. Namun sesungguhnya, bukanlah undangan itu benar yang menjadi pikiran (nah, ini plagiat saya terhadap gaya seseorang), tetapi keterlarutan saya kepada suasana kerinduan. Hanya seketika, tetapi begitu mendenyut. Sekejap saya sadar hahwa saya telah latah dalam . . . ya, apalagi kalau bukan nostalgia, yang sedang menjadi "mode" itu. Mode? Barangkali lebih dari itu. Bahkan telah komersial. Denyutan rindu adalah pengalaman sangat pribadi, mulanya. Ia datang. Ia pergi. Kedatangannya tidak harus selalu ketika kita mempertentangkan kemanisan dulu dengan kepahitan kini. Dan kepergiannya juga tak selamanya harus seiring dengan keinginan untuk membanding kenyamanan kini dengan kegetiran dulu. Kerinduan kepada suasana kelampauan hanyalah pengingkaran terhadap waktu, yang kini dalam kesadaran modern telah dijadikan sesuatu yang bisa diukur sesuatu yang panjang atau pendeknya dapat dipastikan. Dengan bernostalgia waktu dipakai untuk tak berfungsi. Dalam kesadaran teringkarilah apa pun perubahan yang telah dipaksakan waktu. Yang ada hanya "suasana menetap", di mana kini dan lampau terbaur dalam suatu keutuhan. Tahun-tahun yang dilalui tak lebih daripada jam-jam - jam-jam yang hanya penting dalam kencan, tetapi tidak dalam biografi. Maka sejarah jadinya, juga dipaksa untuk tidak bisa bicara apa-apa. Ketegangan antara kontinuitas dan perubahan, yang merupakan bagian menetap dalam sejarah, dijadikan tak relevan. Nostalgia adalah tingkat yang paling rendah dari pemberontakan pada tirani waktu. Betapa nikmatnya pemberontakan ini. Maka kita pun bersiul menyanyikan lagu yang menguatkan suasana pemberontakan ini. Maka selintas menjalar pertanyaan, "Ah. bagaimana kalau." Nostalgia adalah puisi. Ia adalah pula pengandaian. Tetapi kenikmatan ini akan menimbulkan permasalahan yang sungguh-sungguh jika ia tak lagi disadari sebagai selingan yang melintas dalam kehidupan. Suasana nostalgia akan menciptakan realitas yang sangat tak ramah, jika ia dijadikan sebagai patokan dalam menilai dan mengerti hari kini. Kegelisahan akan melanda, serenta pengandaian yang ditimbulkannya menuntut jawaban-jawaban yang tak akan pernah didapatkan. Suasana nostalgia yang direntang-rentang hanyalah akan melahirkan pengimpi yang sibuk "menciptakan" dan mengelus tempo doeloe yang konon serba cerah. Pada "tempo doeloe" ini pula ia meletakkan impian yang serba utopis. Lampau dan nanti mencair dalam impian. Maka kemudian si-pengimpi akan berubah menjadi pelari dari kenyataan kini. Kerinduan yang dipakai sebagai ukuran dalam menilai hari kini akan dapat menyebabkan seseorang menjadi reaksioner yang tak hentinya menafikan keabsahan hari kini. Dalam kegelisahannya, jadilah ia kemudian si pengumpat yang hanya sanggup melihat aspek yang hitam dari hari kini. Mungkin saya telah berlebih-lebihan. Bukankah yang asyik bernostalgia adalah mereka yang sedang dan pernah sukses? Tetapi inilah soalnya. Sukses dan nostalgia yang berkepanjangan adalah kombinasi yang menimbulkan sikap tak perduli. Yang sah adalah "tempo doeloe". Dan yang sukses kini? Ya, terimalah sebagai kekarunan tanpa tanggung jawab. Kehilangan sukses dan nostalgia berkepanjangan bukan saja menista hari kini tetapi juga kehilangan kepercayan pada hari nanti. Maka teriakkanlah pembangunan atau apa saja yang serba baik untuk hari kini dan hari nanti setinggi langit, ia tak akan mendengar. Sementara itu, lagu lama dari ruang tengah makin mengecil. Alah sansai yo badan, oi. Saya kembali kepada keasyikan kerja semula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus