Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Dapur Para Pembuat Gamelan

Pembuatan musik gamelan masih dikerjakan secara sederhana, pemesannya tidak banyak. Mereka tangguh karena terpanggil jiwa seni. (ils)

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIHINGAN adalah sebuah banjar kecil yang terletak 7 km di barat Kota Klungkung, Bali Di desa inilah, dibuat gong, gamelan dan berbagai perangkat alat musik Bali. Menurut catatan Pemda setempat, 99% dari 179 kk (kepala keluarga) yang ada di banjar ini mempunyai kebolehan membuat alat-alat musik tradisional daerah ini. Dan tidak kurang dari 28 pera pembuat gong masih lestari hingga kini di Tihigan. Masing-masing perapen mempunyai pekerja sekitar 25 - 50 orang. Tempat kerja mereka biasanya pengap dan gelap. Tidak tampak ada peralatan modern, selain sebuah kikir hasil buatan luar negeri. Sisanya, hanyalah sebuah batu kali besar sebagai alas, sepit besi buatan sendiri, palu baja seberat 4 kg bertangkai kayu, dan tumpukan-tumpukan arang. Dengan bercelana kolor saja punggung para pekerja yang hitam tampak mengkilat karena keringat. Ditambah abu yang memenuhi ruangan sempit dan percikan bara yang bagaikan kunang-kunang, cukup menimbulkan suasana kerja yang khas. Tembaga, Timah, Menyan Sama seperti sistem pengairan (subak) orang Bali, para pande gamelan ini tergabung dalam sebuah kesatuan yang disebut sekehe, sebagai bagian kecil dari perkumpulan pura (dadiya). Rata-rata mereka berpenghasilan Rp 1.000/hari. Itu kalau ada pesanan. Kalau pesanan sedang sepi, "ya kami ngebon sana-sini," ujar Wayan Mustika, salah seorang pande. "Kadang-kadang, sebulan lamanya, belum tentu ada yang memesan," ujar Pan Kondri, yang usianya telah 75 tahun, dan mempunyai anak buah 20 orang. Para pande gamelan ini biasanya mendapat pesanan lewat pedagang perantara. Sebuah gong bergaris tengah 14 cm, misalnya, mereka jual sekitar Rp 300.000. Dan kalau ditelusur sampai ke pembeli yang memerlukannya, harga tersebut nyaris menjadi dua kali lipat. Satu set gamelan Bali komplit, harga rihingan Rp 4,5 juta. Dikerjakan dalam waktu 55 hari, oleh sekitar sepuluh tenaga kerja. Bahan baku kuningan atau tembaga (bisa juga dicampur) yang diperlukan, sekitar 300 kg. Umumnya, nereka tidak mendapat kesulitan untuk inendapatkan bahan baku ini. Harga bahan baku Rp 5.000/kg, "tapi kami lebih senang beli kuningan atau tembaga rongsokan," kata Pan Kondri, "karena harganya lebih murah." Pan Kondri tidak menerangkan secara terperinci bagaimana proses dan campuran logam sehingga gamelan bisa selaras dengan kuping si pendengar. Tetapi para pembuat gamelan di Kecamatan Bekonang, Kabupaten Sukoharjo, Surakarta, mempunyai tradisi berpuasa, tidak tidur, selamatan, sebelum mereka mencetak gamelan. Bahkan dari campuran logam dan timah (berbanding 3: 1) ini masih lagi diberi campuran yang bersifat mistis seperti kemenyan, gula Jawa dan bunga sesaji. Kelompok pembuat gamelan di Bekonang (kini dengan lima buah "pabrik") dipimpin oleh seorang empu yang dipanggil Panji Sepuh. Mungkin karena lebih banyak yang memesan, harga gamelan dari Sala ini lebih mahal ketimang yang dari Bali. Resowiguna, 58 tahun, yang mempunyai "pabrik" gamelan sejak 1955 (dan yang paling banyak menerima pesanan dan paling besar usahanya di Bekonang), memutuskan, mutu gamelanna dibagi dalam empat kelas. Mulai dari lp 15 juta untuk kelas satu tiap sct ampai sekitar Rp 7 juta untuk kelas terendah. Sebagian besar para pande gamelan ini mempunyai pekerjaan lain, yaitu bertani. Barangkali karena sambilan itulah, waktu pembuatannya tak dapat tepat. Misalnya sebuah gong besar dapat makan waktu 12 hari. Itu pun belum rampung, karena masih harus dilaraskan suaranya. Apalagi gong kualitas kelas satu, bisa makan tempo satu bulan. Karena untuk kualitas ini harus lebih teliti dan paling tidak dikerjakan oleh 12 orang. Berapa penghasilan pengrajin gamelan di Bekonang? Harga gamelannya memang lebih tinggi, tetapi "gaji" pengrajinnya tidak dapat dikatakan memadai bagi kepandaian khusus ini. Untuk sebuah gong kualitas unggul, Panji Sepuh cuma menerima Rp 25.000 untuk masa kerja sekitar empat minggu. Upah pengrajin gamelan Sunda, lebih rendah lagi. Sekitar Rp 5.000 - Rp 20.000 seorang untuk kerja selama seminggu. Perbedaan upah ini juga tergantung dari keahlian si pengrajin masing-masing. Seperangkat gamelan Sunda yang dikerjakan oleh enam orang (tukang cor, tukang cetak, tukang ukir kayu dan tukang laras suara) bisa selesai dalam tempo dua minggu. Gamelan degung perunggu tipe A, dengan ancak ukir dari kayu jati, harga seperangkatnya Rp 3,5 juta. "Tapi saya senang, semakin banyak orang menaruh perhatian pada kesenian Sunda," kata Adis, 60 tahun, pemilik pembuatan alat-alat musik Sunda, Myang Sari, di Bandung. Mayang Sari setahunnya rata-rata mendapat pesanan dua atau tiga perangkat gamelan perunggu dan 12 perangkat gamelan terbuat dari besi. Yang belakangan ini lebih murah harganya, di samping bahan bakunya pun lebih mudah didapat. Biarpun pesanan atau upah rendah, "tapi saya bekerja di sini karena panggilan jiwa seni," ujar Encir, 60 tahun, yang telah sembilan tahun bekerja di Mayang Sari. Demikian pula Ferry, 40 tahun, yang telah lima tahun bekerja di tempat yang sama sebagai penyetel lempengan besi menjadi instrumen yang melahirkan musik yang merdu. Caranya? "Yang, sulit diterangkan. Itu mah pakai perasaan," tuturnya. Memang alat bagi tukang stem nada, seperti dikatakan Sundoro Widoatmojo dari Bekonang, "cuma telinga dan jiwa pendengaran dan rasa." Sejak 1961 dia sudah jadi tukang melaras nada. Setiap instrumen yang setengah rampung, misalnya bonang, harus "dicicipi" dulu oleh kuping Sundoro. "Kalau ada yang belum sreg," kata Sundoro, "jiwa saya akan bereaksi." Dia kemudian menyuruh tempa atau kikir lagi bonang tersebut sampai nadanya terdengar selaras. Para pembuat alat musik tradisional ini rupanya tidak tertarik untuk melaksanakan pembaruan cara membuat gamelan. Karena ini berarti mengubah sistem manajemen mereka. Di Tihingan misalnya, pernah sebuah bank ingin membantu pengrajin gong. "Tapi kami menolak," ujar Wayan Waspa Susana, perbekel desa tersebut. Mereka enggan terlibat utang, karena pemasaran tidak bisa diandalkan. Di Bekonang, Surakarta, semua pengrajin gamelan bergerak secara mandiri. Tidak ada bantuan modal dari bank pemerintah atau badan kesenian swasta. ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) atau PPKJ (Pusat Pengembangan Kebudayaan Jawa) yang ada di Sala, paling banter memberikan bimbingan berupa pembinaan kualitas. Ini berarti secara tak langsung membina pemasaran pula. "Tapi profesi ini bisa diandalkan," kata Yuyun, yang ayahnya mempunyai Mayang Sari di Bandung. Yuyun membuktikan, bahwa walaupun ayahnya cuma seorang pensiunan guru Konservatori Karawitan Sunda, "dia bisa menghidupi dan menyekolahkan kami limabelas bersaudara." kata Yuyun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus