Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Soal Sriwijaya Fiktif, Ridwan Saidi: Mereka Tak Paham Bahasa Kuno

Ridwan Saidi mengatakan pernyataannya tentang Sriwijaya Fiktif dibantah ahli sejarah dan arkeolog, karena mereka tidak paham bahasa kuno.

29 Agustus 2019 | 16.02 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pernyataan budayawan Betawi Ridwan Saidi tentang Kerajaan Sriwijaya fiktif dibantah arkeolog dan ahli sejarah. Namun, pria yang akrab disapa Babe Ridwan menjelaskan bahwa ada hal yang harus diluruskan terkait dengan sejarah Sriwijaya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Babe Ridwan, arkeolog tidak mengerti bahasa-bahasa kuno. Itulah yang menyebabkan sejarah Indonesia fatal dan perlu direkontruksi. "Prasasti yang mendukung keberadaan Sriwijaya yang selama ini mereka gunakan, prasasti yang ditemukan 1918, itu ada arkeolog Prancis yang menebak-nebak itu Bahasa Sansekerta," katanya kepada Tempo melalui telepon, Kamis, 29 Agustus 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Babe Ridwan mengatakan Kerajaan Sriwijaya fiktif dalam dua video di kanal YouTube dan menganggap Sriwijaya sebagai gabungan bajak laut. Dua video yang berisi pernyataan Ridwan Saidi tentang Sriwijaya ini diunggah oleh akun YouTube bernama Macan Idealis.

Video pertama berdurasi 15 menit diunggah pada 23 Agustus 2019, sedangkan video kedua berdurasi 20 menit diunggah pada 24 Agustus 2019. "Prasasti itu aksara yang digunakan Bangsa Arya. Tapi Ras Arya itu kan luas sampai Armenia dan Samarkand itu Ras Arya. Aksara boleh sama tapi bahasanya lain," ujar Babe Ridwan.

Sebelumnya, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Provinsi Sumatera Selatan Farida Wargadalem menilai pernyataan Babe Ridwan tentang keliru dan tidak dapat diterima. "Jelas ngawur, sebuah temuan harus diuji oleh forum ilmuwan sebidang agar ada pengakuan, tidak bisa asal berpendapat," kata Farida, Senin, 26 Agustus 2019 lalu.

Menurut Babe Ridwan, bahasa yang dipakai prasati yang ditemukan itu adalah Bahasa Armenia, bukan Sansekerta. Sehingga, kata Babe, terjemahannya jadi keliru berat, itu bukan tentang keberadaan Sriwijaya.

"Tapi adalah ajaran teologi Kaum Saba abad ke-7. Di situ ada Situs Sabokingking, Sabo itu kan Saba, Kingking itu pengikut. Jadi yang ada bukan Sriwijaya, tapi satu komunitas religius atau orang-orang saba atau bahasa jaman itu dinamakan Sabokingking," tutur Babe Ridwan.

Selain Farida, Peneliti Utama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Bambang Budi Utomo menanggapi pernyataan Babe Ridwan dengan mengganggapnya nyeleneh. "Pada hakekatnya Engkong sedang menghancurkan bangsa Indonesia, seperti yang dikatakannya bahwa untuk menghancurkan sebuah bangsa, hancurkan dulu sejarahnya," kata Bambang yang biasa disapa Tomi, kemarin.

Babe Ridwan juga menyebutkan bahwa banyak peneliti salah mengartikan prasasti. Babe Ridwan mencontohkan, Dapunta Hyang, diartikan sebagai nomenklatur untuk Prabu. Tapi menurutnya, Dapunta Hyang artinya image Tuhan, dan Sriwijaya adalah sang ruang, jadi prasastinya sangat prosais.

"Saya kan membantah (penelitian yang ada), sumbernya saya melakukan penelitian sendiri, sumbernya bilang kaga ada, saya kan melakukan penelitian," ujar Ridwan.

Berita lain terkait polemik sejarah Sriwijaya fiktif, bisa Anda simak di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus