Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Pengisi Ruang Kosong

Di tengah pagebluk corona yang mematikan, sejumlah individu dan komunitas menolak diam dan tak mau menunggu pemerintah bersikap. Berawal dari ide sederhana, mereka membantu masyarakat yang terkena dampak pandemi. Menghimpun tenaga dan sumber daya, mereka bergerak cepat dan tepat untuk melawan wabah yang entah kapan berakhir. Inilah sebagian kisah gerakan solidaritas publik yang tak akan terhenti oleh bencana sekuat apa pun.

16 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Relawan memberikan paket sembako kepada warga yang terdampak Covid-19 di kawasan Jimbaran, Badung, Bali, 18 April 2020. Antara/Fikri Yusuf

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penyebaran wabah virus corona membuat dampak luar biasa bagi berbagai kalangan di seluruh negeri, terutama komunitas marjinal yang kerap mengalami diskriminasi.

  • Sejumlah individu dan komunitas bergerak membantu kaum minoritas yang terkena dampak, seperti gelandangan, pengemis, kelompok marjinal seperti pekerja seks komersial.

  • Bantuan serupa juga diulurkan pada tenaga medis yang bertumbangan. Selain alat pelindung diri, bantuan yang diberikan berupa tempat tinggal sementara di hotel atau losmen.

GENAP dua bulan Rhamdani, 33 tahun, menunggak sewa rumah petak dan cicilan sepeda motor pada awal Mei lalu. Penghasilan pengemudi ojek online itu terjerembap setelah wabah corona menghantam negeri ini pada awal Maret lalu. Dari semula mendapatkan Rp 200 ribu per hari, kini mendapat Rp 50 ribu saja dia sudah bersyukur.

Apalagi setelah Ibu Kota dan sekitarnya memberlakukan pembatasan sosial berskala besar. Tak ada penumpang bisa dia angkut. Rhamdani hanya bisa mengandalkan pelayanan lain, seperti mengantar barang dan makanan. Tetap saja jumlahnya tak cukup. Rhamdani tahu, sewaktu-waktu, dia bisa ditendang dari rumah petak dan sepeda motornya ditarik pihak leasing. “Untuk makan saja sudah sulit,” katanya pada Selasa, 12 Mei lalu.

Hatinya bertambah pilu setiap kali melihat paket bahan kebutuhan pokok tiba di rumah tetangganya di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat. Tak sekali jua bantuan itu mampir ke kontrakan Rhamdani. Ketua rukun tetangga yang mendengar keluhannya menyatakan dia tak mendapat bantuan sosial karena tak memiliki kartu identitas sebagai warga Depok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua relawan merapikan kamar yang akan digunakan oleh tenaga kesehatan di Kota Gorontalo, Gorontalo, 15 April 2020. ANTARA/Adiwinata Solihin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengakui kekacauan distribusi bantuan sosial ini. Persoalan data penduduk miskin menjadi penyebabnya. Menurut Ridwan, tiap lembaga memiliki data kemiskinan sendiri. Sejak pertengahan April lalu, pemerintah Jawa Barat mendistribusikan bantuan untuk 9,4 juta penduduk. Padahal jumlah penduduk yang terkena dampak wabah corona mencapai 38 juta jiwa. Ridwan pun menyerahkan data warga yang tak mendapat bantuan ke pemerintah pusat.

Kekacauan distribusi bantuan sosial juga terjadi di Ibu Kota. Pemerintah pusat dan Gubernur Jakarta Anies Rasyid Baswedan bersitegang soal penyaluran bantuan itu. Di luar panggung politik para elite tersebut, lebih dari 3,5 juta penduduk DKI yang bernasib seperti Rhamdani membutuhkan bantuan dengan cepat dan konkret.


•••

BENCANA acap membuat manusia berpikir bahwa kematian itu dekat. Seperti dituliskan Martin Heidegger dalam Being and Time (1962), kematian itu memicu kegelisahan. Meminjam teori itu, Idaman Alwi cs (2017) menyebutkan kegelisahan ini akan menggerakkan solidaritas secara masif dan spontan dalam situasi bencana.

Sejarah tak henti berkisah, solidaritas selalu hadir ketika bencana datang. Kala tsunami meluluhlantakkan Aceh pada pengujung 2004, masyarakat bergerak. Ribuan sukarelawan datang ke Tanah Serambi Mekah untuk menguburkan jasad, membagikan bantuan, atau menghibur anak-anak yang kehilangan keluarga. Mereka tak menunggu gerakan pemerintah, yang kerap tersandung oleh birokrasinya sendiri.

Di wilayah yang kerap dilanda bencana seperti Indonesia, solidaritas tak akan pernah hilang, betapapun dahsyatnya bencana itu. Termasuk wabah corona, yang hingga Selasa, 12 Mei lalu, telah menginfeksi hampir 15 ribu orang dan merenggut lebih dari seribu nyawa manusia negeri ini.

Kali ini, pandemi corona juga melahirkan banyak cerita solidaritas. Di Bandung, seorang bocah bernama Mochamad Hafidh, 9 tahun, menyumbangkan tabungannya sebesar Rp 435 ribu untuk dibelikan alat pelindung bagi tenaga medis. Di Semarang, Setyabudi Susanto, 72 tahun, dan istrinya, Sumiati Sastro Kaelan, 69 tahun, menyumbangkan uang tunai Rp 500 ribu dan 100 masker kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Pada edisi ini, Tempo memilih aksi solidaritas sebagai tema laporan utama. Kami memilih gerakan yang benar-benar diinisiasi publik untuk mereka yang terkena dampak pagebluk ini. Kami, misalnya, mengambil contoh penyediaan dapur umum Solidaritas Pangan di Yogyakarta. Sejak akhir Maret lalu, gerakan ini tak henti mengumpulkan bahan pangan, meracik bumbu, memasak, lalu membagikannya kepada pemulung, tukang becak, dan penghuni kawasan prostitusi.

Dari semula hanya satu, kini ada belasan dapur lain mengepul untuk membantu mereka yang terkena dampak wabah. Gerakan itu tak berhenti di Yogyakarta, tapi menyebar ke sejumlah daerah di Jawa Tengah. Ada juga Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan. Mereka menginisiasi penggalangan dana untuk penyandang disabilitas yang rentan terkena dampak corona.

Sejumlah kelompok juga bergerak mengedukasi masyarakat melalui gerakan mengkampanyekan cuci tangan. Inilah cara paling murah dan mudah untuk menghindari penyebaran virus. Berbagai kelompok ini menyadari, membantu masyarakat bisa dilakukan dengan cara sederhana, tanpa perlu menggunakan bahasa yang belum tentu dipahami semua lapisan masyarakat, misalnya social distancing. Aktivitas mereka mampu menutupi ruang kosong yang belum digarap pemerintah.

Tak hanya di kota, solidaritas juga menerabas jauh kepada mereka yang tinggal di kampung-kampung. Sejumlah komunitas membantu para petani bawang di Temanggung, Jawa Tengah, dan Yogyakarta yang kesulitan menjual hasil kebun karena keterbatasan ruang gerak. Komunitas ini berupaya mencarikan petani pembeli yang bisa menyambung napas mereka dan keluarga.

Sejumlah relawan menyelesaikan pembuatan masker berbahan kain di kompleks kantor BPBD Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, 14 April 2020. ANTARA /Anis Efizudin

Manakala ramai kabar tenaga medis tersungkur terkena corona, publik pun bahu-membahu merakit dan menjahit alat pelindung diri. Semua diberikan secara gratis, bahkan tanpa ongkos kirim. Ada pula pemilik penginapan dan kos-kosan yang meminjamkan kamar mereka untuk perawat dan dokter yang justru diusir karena menangani pasien Coronavirus Disease 2019 alias Covid-19.

Tentu saja, ada ribuan gerakan solidaritas lain, di luar yang kami tulis. Tanpa mengecilkan gerakan lain, semua sama berharganya. Mereka menembus berbagai sekat, seperti suku, agama, profesi, dan status sosial, untuk bersama-sama memikul beban dengan segala hal yang mereka miliki dan kerjakan. Pada akhirnya, gerakan-gerakan ini menunjukkan kita memiliki modal sosial untuk hidup bernegara—bahwa di setiap ruang kosong akan hadir mereka yang mengisinya.

Belum terang, kapan Indonesia dan dunia bakal terbebas dari pandemi corona. Namun, saat pandemi hari ini menjadi sejarah, barangkali kita bisa mengatakan kita selamat bukan terutama karena kerja pemerintah. Melainkan karena daya tahan dan solidaritas menghadapi nasib yang sama.

Itu seperti yang dialami Rhamdani, pengemudi ojek online di Sawangan, Depok, Jawa Barat. Di tengah kesulitan pun, teman-temannya terkadang memberi dia bantuan. Beberapa kali dia juga bertemu di jalan dengan mereka yang membagikan bahan kebutuhan pokok. Ada pula komunitas yang memberinya duit Rp 200 ribu. Dengan bantuan mereka, Rhamdani, istri, dan anaknya, yang berusia tujuh tahun, bisa bertahan menghadapi krisis.

WAYAN AGUS PURNOMO, BUDIARTI UTAMI PUTRI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Wayan Agus Purnomo

Wayan Agus Purnomo

Meliput isu politik sejak 2011 dan sebelumnya bertugas sebagai koresponden Tempo di Bali. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk menyelesaikan program magister di University of Glasgow jurusan komunikasi politik. Peraih penghargaan Adinegoro 2015 untuk artikel "Politik Itu Asyik".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus