Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Jejaring aktivis mendirikan dapur umum untuk membantu kaum miskin kota yang terkena dampak Covid-19.
Mereka menerima sumbangan bahan pangan dari berbagai komunitas.
Gerakan dapur umum ini sekarang sudah tersebar ke berbagai daerah di seluruh Indonesia.
DI dapur berukuran setengah lapangan bulu tangkis, Linda duduk meriung bersama empat rekannya sembari ditemani musik dangdut. Para pekerja seks di kawasan Bong Suwung, Yogyakarta, itu sedang meracik bumbu, menanak nasi, serta mengolah sayur, tempe, dan ikan sarden. Setelah semua matang, mereka membungkus makanan itu, lalu membagikannya kepada kaum lanjut usia, janda, dan tunawisma yang tinggal di pinggiran rel di dekat lokalisasi. Saban hari, mereka menyiapkan 200-an nasi bungkus.
Bahan baku dapur umum di kawasan Bong Suwung diperoleh dari Solidaritas Pangan Jogja, gerakan bersama untuk membantu kelompok miskin perkotaan. Gerakan ini mengumpulkan donasi uang tunai serta menampung sumbangan hasil bumi dari berbagai komunitas di sekitar Yogyakarta. “Jika enggak ada bantuan, saya tidak bisa makan,” kata Linda pada Senin, 11 Mei lalu.
Solidaritas Pangan Jogja diinisiasi antara lain oleh aktivis perempuan, Ita Fatia Nadia, dua bulan lalu. Penggagasnya sebagian besar adalah aktivis yang aktif dalam gerakan Gejayan Memanggil. Mereka menolak sejumlah rancangan undang-undang bermasalah, seperti revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Omnibus Law, serta RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di masa pandemi, pegiat Gejayan Memanggil banting setir membantu kelompok marginal yang terkena dampak virus mematikan. “Ini gerakan kolektif warga,” ujar Ita Fatia.
Ita menyebut dapur umum sebagai gerakan sosial dan politik yang menghubungkan mahasiswa, orang yang kehilangan mata pencarian, dan kelas menengah. Pada 1998, Ita Fatia menyiapkan dapur serupa untuk menyokong gerakan mahasiswa. Dia mengaku gerakan ini terinspirasi dari novel sastrawan Rusia, Maxim Gorky, yang berjudul Ibunda. Buku ini berkisah tentang Pelagia Nilovna yang tergerak membantu gerakan revolusioner melawan kekuasaan Tsar. Pelagia menyediakan makanan dan minuman serta membagikan selebaran-selebaran yang mendukung perjuangan buruh.
Di Yogyakarta, Ita beruntung karena donatur datang dari segala penjuru. Ada organisasi nonprofit, kampus, seniman, hingga petani. Tidak hanya menggalang donasi, upaya mereka juga menguatkan jejaring antarkomunitas. Mereka menerima sumbangan bahan pangan dari komunitas petani di Pegunungan Dieng, Wonosobo, dan Sekolah Gajah Wong, lembaga pendidikan yang berfokus pada pemulung. Mereka juga mendapat sumbangan dari Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, yang terancam tergusur tambang pasir besi. “Ini bentuk solidaritas petani,” kata Widodo, ketua paguyuban kelompok itu.
Salah satu kelompok masyarakat yang kerap mendapat bantuan adalah komunitas pekerja seks di Bong Suwung, tempat Linda biasa mencari nafkah. Sejak kasus positif Covid-19 merangkak naik, polisi menutup lokalisasi ini. Linda pun menganggur tanpa penghasilan. Mereka juga tak tersentuh bantuan pangan pemerintah karena tak memiliki kartu tanda penduduk Yogyakarta. Sebagian besar pekerja seks ini datang dari Solo, Magelang, dan Semarang.
“Sembilan tahun bekerja, saya tak punya tabungan,” ujar Linda pelan. Perempuan 36 tahun ini juga menunggak sewa kamar kos beberapa bulan. Induk semangnya sudah mengirim ultimatum: dia harus angkat kaki jika uang kos tak juga dibayar akhir bulan ini. “Untuk makan saja, saya harus menumpang ke teman-teman,” kata perempuan asal Semarang ini.
Nia, Ketua Arum Dalu Sehat, paguyuban pekerja seks di Bong Suwung, lalu menghubungi Solidaritas Pangan melalui media sosial. Tak lama kemudian, bantuan berupa bahan pangan pun tiba. Linda dan teman-temannya bisa bernapas lega.
Ketika baru dimulai pada awal Maret lalu, gerakan dapur umum Solidaritas Pangan hanya berlokasi di Kampung Ngadiwinatan, Yogyakarta. Kini, dapur umum ini bertempat di sebelas lokasi di seantero kota tua itu: di Prawirotaman, Balirejo, Gamping, sampai di sebuah kampung pemulung di Bantul. Gerakan ini juga menyebar ke berbagai kota, seperti Banyuwangi, Madura, Klaten, Bandung, Tangerang, Serang, dan Jakarta. Mereka memasak dan mendistribusikan nasi bungkus untuk pengayuh becak, buruh gendong, pedagang pasar tradisional, pekerja rumah tangga, pekerja seks, pemulung, buruh pabrik, buruh tani, hingga eks tahanan politik 1965.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo