Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para petani kesulitan menjual hasil bumi selama masa pandemi.
Harga jeblok bikin daya beli petani rontok.
Sejumlah komunitas berinisiatif membuka akses distribusi.
PESAN berantai via aplikasi WhatsApp mampir ke telepon Fransisca Callista pada Sabtu, 27 April lalu. Mengatasnamakan Bupati Temanggung, Jawa Tengah, Muhammad Al Khadziq, memo itu mengabarkan bahwa harga bawang putih petani Temanggung anjlok karena tak ada pembeli. Membaca pesan tersebut, perempuan 29 tahun itu menghubungi Pratama Panji Prasetya, seorang petani di Desa Ketitang, Kecamatan Jumo, Temanggung. Fransisca meminta Panji mengecek kabar tersebut. “Sayang betul ada bawang putih melimpah enggak terserap pasar,” kata Fransisca pada Ahad, 10 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keesokan harinya, Panji pergi mengendarai sepeda motornya, sekitar 45 menit perjalanan ke arah barat daya, menuju Desa Kwadungan Jurang, Kecamatan Kledung. Terletak di antara lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing, wilayah ini merupakan sentra pertanian bawang putih di Temanggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sana, Panji bertemu dengan Sariyadin, koordinator Kelompok Tani Sudi Makaryo. Benar saja, petani bawang putih di desa tersebut tengah kesulitan memasarkan hasil ladang mereka. Panen datang ketika permintaan pasar merosot akibat pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19). “Akibatnya, bawang putih melimpah dan harganya anjlok,” ujar Sariyadin.
Di Temanggung, terdapat 3.000 hektare kebun bawang putih. Kelompok Tani Sudi Makaryo mengelola sekitar 15 hektare lahan. Setiap hektare, kata Sariyadin, bisa menghasilkan 1 ton bawang putih kering. Sebenarnya Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sempat memanen bawang putih di Desa Petarangan, Kecamatan Kledung, pada 15 April lalu. Dua pekan seusai seremoni ini, ribuan ton bawang putih Temanggung justru banyak yang tak terbeli. “Katanya penjualan akan dibantu pemerintah. Tapi sekarang belum ada,” ucapnya.
Persoalan yang dihadapi petani makin pelik karena musim panen justru bersamaan dengan dibukanya keran impor bawang putih. Selama ini, harga bawang putih impor memang lebih murah dan ukurannya lebih besar. Walhasil, kata Fransisca, “Petani makin sulit menjual hasil bumi mereka.”
Lahir di Ciamis, Jawa Barat, Fransisca akrab dengan usaha tani perdesaan di Temanggung. Dia dikenal sebagai otak berdirinya Pasar Papringan, pasar tradisional berkonsep wisata desa di Desa Ngadimulyo, Kecamatan Kedu, Temanggung. Dengan Panji, dia terhubung di Kebon Jiwan, komunitas pertanian berkelanjutan di Desa Medari, Kecamatan Ngadirejo. Sisca—panggilan akrabnya—adalah pendamping di komunitas tersebut. Sedangkan Panji menjadi petani binaan.
Begitu memastikan kabar petani bawang putih tengah kesusahan, keduanya berbagi tugas. Sisca menghubungi kenalannya melalui grup WhatsApp dan Instagram. Panji yang mengumpulkan bawang putih dari petani. Sariyadin kemudian bisa mengajak 10 orang lain.
Sisca secara terbuka menjelaskan kepada konsumennya bahwa bawang putih petani lokal ini masih menggunakan pestisida dan belum sepenuhnya bebas dari tanah. Namun, dia berpromosi, aromanya lebih kuat ketimbang bawang putih impor. “Meskipun lebih susah dikupas karena ukurannya lebih kecil,” ujar lulusan program master desain budaya Chiba University, Jepang, itu.
Tiga hari setelah rantai pasok dadakan itu dibuka, pesanan datang dari penjuru daerah, terutama di wilayah Jabodetabek. Sedikitnya 300 kilogram bawang putih terjual. Agar bawang lebih mudah diterima pasar, Sisca mengedukasi petani supaya lebih memperhatikan kualitas. Bawang putih yang siap dijual, misalnya, mesti bebas dari tanah. Kemasannya pun harus menarik. Hingga Senin, 11 Mei lalu, Sariyadin dan kelompoknya sudah menjual hingga 1 ton bawang putih ke berbagai daerah. “Semoga menjelang Lebaran kembali ada permintaan,” kata Sariyadin.
Pasar bahan pangan seperti tak ada habisnya. Tapi pandemi Covid-19 telah membalikkan segalanya. Pertanian, yang disebut oleh Sukarno sebagai “soal mati-hidupnya bangsa kita” dalam peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia—kini Institut Pertanian Bogor—pada 27 April 1952, kini terancam limbung. Pembatasan aktivitas di sejumlah daerah telah membuat permintaan berkurang. Saluran distribusi pun terganggu. Seperti disebutkan Sariyadin, pukulan wabah makin kencang menghantam petani karena hasil panen sedang banyak-banyaknya.
Harga komoditas pangan pun melorot. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional mencatat, hingga Selasa, 12 Mei lalu, harga bawang putih di pasar tradisional turun rata-rata 16 persen dalam sebulan terakhir. Begitu pula bawang merah anjlok 21 persen. Adapun harga cabai merah dan cabai rawit masing-masing juga rontok 16 persen dan 24 persen.
Bagi konsumen, turunnya harga menjadi angin segar. Namun, bagi petani, ini adalah pukulan. Harga yang mereka terima tak sebanding dengan harga yang dikeluarkan. Kondisi tersebut tampak dari data Badan Pusat Statistik yang mencatat indeks nilai tukar petani—indikator daya beli petani di perdesaan—merosot makin tajam dalam dua bulan terakhir. Penurunan terjadi di semua kelompok petani, dari yang bergerak di tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, hingga perikanan.
Di Yogyakarta, Qomarudin Najmi dari Serikat Petani Indonesia tak henti menerima keluhan dari jejaring organisasinya soal sulitnya menjual sayuran, ikan, hingga hasil ternak. Ambruknya bisnis hotel dan restoran di masa pandemi telah menghapus pasar terbesar mereka selama ini. Karantina mandiri di berbagai komunitas masyarakat turut menyusahkan penyaluran hasil bumi dari petani. “Konsumen juga kesulitan mengakses petani langsung,” ucapnya.
Itu sebabnya, Serikat Petani Indonesia kini bergerak membuka akses distribusi produk pangan. Mereka mencari konsumen secara langsung untuk kemudian dipertemukan dengan petani. Dengan begitu, petani bisa langsung menjual hasil ladang mereka. Awalnya mereka menggunakan ojek aplikasi untuk mengantarkan pesanan. Belakangan, agar lebih efisien, Qomarudin meminta calon konsumen membeli secara kolektif. “Nanti akan kami antar langsung ke konsumen,” katanya.
Aksi sosial juga dilakoni oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Organisasi non-pemerintah yang beranggotakan serikat tani, kelompok masyarakat adat, dan perkumpulan nelayan ini menginisiasi Gerakan Solidaritas Lumbung Agraria. Selain penting untuk memastikan hasil bumi dari anggotanya tak membusuk di gudang penyimpanan, kegiatan yang dimulai pada Maret lalu itu bertujuan memastikan ketersediaan bahan pangan bagi masyarakat rentan, seperti buruh dan pekerja informal, di perkotaan.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Dewi Kartika mengatakan sejauh ini sudah 10 ton bahan pangan, dari beras, buah, hingga sayuran, telah didistribusikan lewat Solidaritas Lumbung. KPA bekerja sama dengan serikat pekerja menyalurkan bantuan pangan yang bersumber dari ladang-ladang surplus milik petani.
Bahan pangan untuk bantuan ini merupakan donasi dari sejumlah serikat tani. Selain itu, KPA menggulirkan skema pembelian dengan harga normal untuk kemudian dijual kembali dengan harga miring. Beras dari petani Rp 10 ribu per kilogram, misalnya, disubsidi Rp 3.000 per kilogram. “Sekalipun harga ekonomis, kualitasnya tetap premium,” ujarnya. “Ini penting untuk memutus mata rantai tengkulak.”
WAYAN AGUS PURNOMO, DEVY ERNIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo