Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Suami-istri mandiri

Marzuki, 40, dan istrinya zumiati, 37, warga desa batukalung, rajanglebong, bengkulu pisah urusan rumah tangga dan pekerjaan meski hidup serumah. agar sepeninggal mereka tidak rebutan warisan.

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA ketupat Bengkulu ada gaya hidup Bengkulu. Ini dia. Marzuki alias Suki, 40 tahun, dan istrinya Zumiati, 37 tahun, warga Desa Batukalung, Rejanglebong, meski hidup serumah, toh urusannya terpisah. Itu berlangsung separuh dari 20 tahun masa perkawinan mereka. Mereka mengerjakan kebun kopi dan sawah pembagian orangtua masing-masing. Di dapur mereka, ada karung beras, tempat garam, gula, bumbu serta aneka keperluan yang serba dua. Memang, periuk untuk memasak ada satu. Tapi pengadaan bahan diambil dari tempat yang berlainan. Jika kantong beras suami kosong, sang istri tetap memasak, dengan catatan si suami berutang dan harus membayar. Juga urusan pekerjaan. Sentana si suami -- sehari-hari bilal masjid yang kepalanya mulai ditauri uban itu -- membantu istrinya di kebun atau di sawah, ia harus dibayar sesuai dengan tarif umum. Dalam beternak pun mereka pisahpisah. Si suami punya lima bebek dan ayam, sang istri pun menyainginya. Begitu tajamnya pola hidup nafsi-nafsi ini hingga mereka bisa membedakan telur ternak masing-masing. Dalam menerima tamu juga begitu. Mungkin saja mereka melayani ngobrol samasama. Tapi soal tanggungan makan minumnya tergantung dari pihak mana tamu itu. Memasak memang lebih banyak dikerjakan istri. Sedangkan mencuci pakaian, menurut mereka, ya, urusan masing-masing. Jika ada yang sakit dan salah satu bokek, boleh meminjam, asal nanti dibayar. Cuma, harap jangan berburuk sangka, suamiistri mandiri ini lumayan rukun dan bahagia. Bahkan, menurut para tetangganya, mereka tak pernah kedengaran bertengkar apalagi baku hantam. Pisah urusan bermula setelah 10 tahun berumah tanpa keturunan dan bosan berobat kesana-kemari, akhirnya mereka sepakat tak perlu cekcok sementara menunggu panggilan Ilahi. Maksudnya, agar sepeninggal mereka kelak tak terjadi rebutan harta warisan. Meski pisah urusan, tak berarti mereka juga pisah ranjang. Pengakuan mereka, ya, urusan biologis normal saja. Dan sejauh ini tak terlintas dalam pikiran mereka untuk cerai. "Perceraian itu dosa dan dikutuk Tuhan," ujar Suki -- jebolan PGAN Curup -- kepada Marlis Lubis dari TEMPO. Bagi Zumiati yang jebolan kelas V SD itu juga tak ada perasaan berat, kendati mencari makan sendiri. "Pikiran saya tenang dan damai karena berusaha sendiri. Harta kekayaan kami nanti tidak menjadi rebutan keluarga, karena pembagiannya jelas sejak kini," katanya. Aha! Ed Zoelverdi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus