Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kuli dan pers

Banyak koran dan majalah ingin menggunakan bahasa indonesia dengan cermat agar mutu berita dan tulisan meningkat. Problem wartawan dalam menertibkan bahasa adalah adanya berbagai aliran berbahasa

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kuli lain yang sekarang mulai cerah dan hasil kerjanya dirasakan orang banyak. Yakni, "kuli bahasa". Dalam berbagai pertemuan kebahasaan di beberapa tempat, seorang ahli bahasa, Profesor Doktor Anton M. Moeliono, mengatakan, "Saya dengan gembira dapat menyatakan bahwa selain TEMPO sekarang banyak koran dan majalah yang berlomba-lomba menggunakan bahasa Indonesia dengan lebih cermat." Dari kalangan para redaktur memang ada upaya sungguh-sungguh menuju kecermatan berbahasa. Tanpa bermaksud memuji secara berlebihan, saya merasa mendapat kejutan akhir tahun dari harian Bali Post, Denpasar. Pada bulan Desember 1991, saya diminta berlibur sekeluarga di Bali agar di sela-sela berlibur itu saya dapat membantu Redaksi mengupayakan perbaikan penampilan bahasanya. Untuk keperluan tersebut disediakan tiket pesawat Jakarta-Denpasar pulang-pergi untuk satu keluarga, lima orang. Dua kamar hotel disediakan sampai kami puas berakhir tahun. Masih ada kemudahan lain, yakni tersedia minibus berpengatur hawa, lengkap dengan sopir yang siap mengelilingi Pulau Dewata. Tindakan harian Bali Post itu saya rasa mengharukan karena sebelumnya sudah tiga kali saya diundang untuk keperluan sejenis. Bedanya adalah bahwa undangan terakhir ini mempunyai tujuan yang lebih serius. Harian itu ingin meningkatkan korektornya mendapat tugas lebih berat, yakni menjadi editor bahasa -- untuk menambah jumlah editor bahasa yang sudah ada. Para pemimpin koran ini ingin benar meningkatkan mutu berita dan tulisan lewat peningkatan kemampuan dan keterampilan editor bahasa. Bila korektor yang ada tidak cukup layak menjadi editor bahasa, akan dicari sejumlah orang lain dari luar. Pers Indonesia, yang Ahad lalu merayakan Hari Pers Nasional yang ke-46, patut bergembira karena kesadaran pers akan bahasa Indonesia membanggakan. Selain permintaan langsung kepada para ahli yang profesional (baik yang resmi kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa maupun kepada perseorangan) ada juga permintaan kepada praktikus bahasa yang amatiran. Pengadaan tenaga editor bahasa telah disiapkan oleh beberapa perguruan tinggi, misalnya, Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran. Dalam program diploma, kedua perguruan tinggi itu menyelenggarakan kursuskursus singkat mencetak tenaga penyunting. Lembaga-lembaga pendidikan yang menghasilkan wartawan siap pakai, memasukkan pelajaran Bahasa Indonesia dalam kurikulumnya. Sekadar contoh, dua lembaga dapat disebut, yakni Lembaga Pers Dr. Soetomo di Jakarta dan Lembaga Pendidikan, Penelitian, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y). Dari lembaga-lembaga ini diharapkan tenaga profesional di bidang pers, tahu dan mampu menerapkan pemakaian bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Problem yang dihadapi wartawan dalam merapikan bahasa adalah terdapatnya berbagai aliran dalam berbahasa. Di kalangan ahli bahasa ada pemeo bahwa dari 100 ahli bahasa ada 100 pendapat. Di kalangan linguis yang "murni" dan linguis yang kontemporer terdapat beberapa perbedaan pendapat. Misalnya, tentang pemakaian klausa partisip (participial clause). Yang "murni" berpendapat bahwa, "Menjawab pertanyaan pers, Menteri X mengatakan bahwa tindakannya sesuai dengan petunjuk Presiden" adalah struktur terjemahan harfiah dari bahasa Inggris, "Answering the press ...". Kelompok ini berpendapat bahwa perlu ditambahkan satu kata pada awal kalimat, misalnya, ketika atau dalam. Jadi, yang dianggap benar dan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia adalah, "Ketika (dalam) menjawab pertanyaan pers, Menteri X mengatakan bahwa tindakannya sesuai dengan petunjuk Presiden." Kalangan yang kontemporer berpendapat bahwa struktur yang dikatakan berbau asing itu sah saja dan gejala serupa juga ditemukan dalam beberapa bahasa daerah, misalnya, Jawa. "Minangkani pamundut panjenengan, kula aturaken ..." ("Memenuhi permintaan Anda, saya sampaikan ..."). Struktur inilah yang sekarang banyak mewarnai pers kita. Pada pengamatan saya, Profesor Badudu berada di dalam kubu ini, sedangkan Anton Moeliono berada di kubu yang lain. Perbedaan ini kemudian membuat perbedaan dalam buku panduan (paling tidak kesepakatan lisan) setiap penerbit pers. Namun, perbedaan ini sah saja. Di Amerika Serikat juga terdapat perbedaan pendapat, misalnya dalam ejaan. Ada pers (termasuk televisi) yang mengeja Washington, D.C. Ada juga yang mengeja Washington D.C. Yang lain mengeja Washington DC, baik dengan koma maupun tidak. Seyogianya Profesor Badudu mengader banyak badudu agar baik pers maupun masyarakat pada umumnya makin sadar dan mahir dalam ketertiban berbahasa. Waktunya sekarang tepat karena kesadaran di kalangan masyarakat tampak meningkat. Pengasuh majalah Aku Anak Shaleh menerima usul saya mengubah namanya menjadi Aku Anak Saleh dengan alasan bahwa bagaimanapun cara melafalkannya, ejaan yang dianjurkan adalah saleh, bukan shaleh, soleh, atau sholeh. Awal bulan yang lalu, para eksekutif di Grup Jaya bersedia mengubah Jaya Group menjadi Grup Jaya walaupun kini makin semarak penggunaan group di belakang nama kelompok tertentu. Pers pun tidak dapat menghindar dan banyak yang mengikuti penamaan yang ejaan dan susunannya keinggris-inggrisan itu. Bahwa kesadaran masyarakat akan kecermatan berbahasa Indonesia di media massa menggembirakan terpancar dari banyaknya surat pembaca yang menyoal masalah bahasa, yang tampaknya "remeh-temeh". Pernah ada pembaca yang melancarkan kritik pedas kepada TEMPO. Pada pendapatnya, dalam tulisan TEMPO terdapat cacat elementer dalam soal bahasa. Sayang, pembaca itu menyembunyikan nama dan alamatnya sehingga tidak dapat diberikan tanggapan sepatutnya. Sayangnya lagi, artikel yang ditunjuknya adalah Pariwara, semacam iklan yang tidak diperiksa oleh redaktur bahasa di TEMPO. Memang, sejumlah pemasang iklan enggan naskahnya diubah sedikit pun, baik pilihan kata maupun susunan kalimatnya. Penyuntingan naskah untuk sebagian iklan ditabukan walaupun salah menurut kaidah bahasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus