Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Suara Lonjong Tarif Listrik

Biaya produksi listrik PLN lebih tinggi dari luar negeri. Besaran skenario pemerintah tak lebih dari 20 persen.

30 Januari 2006 | 00.00 WIB

Suara Lonjong Tarif Listrik
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

KANTOR para wakil rakyat menjadi gaduh pada awal pekan lalu. Di depan gedung Nusantara I, puluhan pemuda menggelar aksi mendukung korban saluran udara tegangan ekstra tinggi (SUTET). Empat warga korban SUTET tampak di antara pengunjuk rasa.

Demonstrasi mulai memanas ketika para pendemo memaksa masuk ke ruang rapat, yang tentu dicegah para petugas keamanan. Aksi saling dorong tak terhindarkan hingga kaca pintu masuk pecah berantakan.

Puncak aksi adalah ketika empat korban SUTET, yang lemah karena mogok makan, menduduki bangsal depan ruang rapat komisi energi. Kendati pintu tertutup rapat, hawa panas unjuk rasa sepertinya merembes ke dalam ruang, tempat para wakil rakyat bersidang.

Maklumlah, agenda pembahasan saat itu cukup hot, yaitu kenaikan tarif dasar listrik. Sejak awal tahun ini, spekulasi tentang besaran dan waktu kenaikan tarif listrik ramai diperbincangkan. Perdebatan turut diramaikan oleh perkiraan sejumlah pejabat pemerintah.

Menteri Negara Kepala Badan Pembangunan Nasional Paskah Suzetta, misalnya, sempat melontarkan ramalan mengagetkan. Paskah menyatakan tarif listrik dapat naik hingga 100 persen.

Ada juga skenario kenaikan dari Kantor Menteri Koordinator Perekonomian. Menurut para pejabat di Lapangan Banteng, tarif listrik perlu naik antara 18,4 persen dan 48,3 persen. Waktu kenaikan tarif dijadwalkan antara 1 Februari dan 1 Maret.

Itu sebabnya, DPR mengundang Tim Teknis Kenaikan Tarif Dasar Listrik pemerintah untuk menjelaskan rencana kenaikan tarif. Dari tim bentukan pemerintah itu hadir Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Yogo Pratomo, Deputi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Roes Aryawidjaja, serta seluruh direksi PLN.

Di depan para anggota Komisi VII, tim tarif membeberkan empat skenario harga yang baru. Dalam opsi kenaikan tarif listrik yang disodorkan pemerintah, tersebut kisaran antara 15 dan 20 persen.

DPR tak dengan serta-merta mendukung kenaikan tarif listrik. ”Kenaikan ini di luar kemampuan masyarakat,” kata Agusman Effendi, Ketua Komisi. ”Kita meminta agar lebih dulu dilakukan audit atas biaya pokok produksi listrik sebelum membicarakan kenaikan tarif,” Tjatur Sapto Edy, anggota Komisi Energi dari Fraksi PAN, menimpali.

Desakan untuk mengaudit biaya produksi muncul karena angka yang diajukan PLN dianggap kelewat tinggi. Saat pembahasan tarif, PLN menyatakan biaya produksi rata-rata sebesar Rp 867 per kilowatt hour (kwh). Perinciannya, biaya produksi untuk tegangan rendah sebesar Rp 1.052 per kwh, sedangkan untuk tegangan tinggi Rp 600 per kwh.

Biaya itu lebih tinggi dibandingkan biaya produksi listrik dari sejumlah negara lain, yang diperoleh DPR. Rata-rata biaya produksi listrik internasional adalah US$ 0,07 per kwh, atau sekitar Rp 700 per kwh.

Mengapa harga produksi listrik di dalam negeri begitu tinggi? ”Dari dulu data PLN banyak ngaconya,” ujar ekonom Faisal Basri. Pendapat senada terdengar dari Fabby Tumiwa, Koordinator Working Group Power Sector Restructuring, kelompok yang memantau bisnis listrik.

”Tidak ketahuan biaya apa saja yang dibebankan ke dalam perhitungan biaya produksi,” ujar Fabby. Selama ini, PLN mengklasifikasikan biaya produksinya menjadi biaya pembelian tenaga listrik dari kontraktor swasta, biaya bahan bakar, pemeliharaan, pegawai, administrasi, dan biaya penyusutan.

Permintaan mengaudit biaya produksi sejatinya pernah dilontarkan anggota parlemen. Kendati permintaan itu tak pernah ditolak, kabar tentang pelaksanaan, apalagi hasil audit, tak pernah terdengar.

Ketika DPR menagih lagi janji mengaudit biaya produksi, pemerintah menyanggupi. ”Kami akan melaksanakan apa yang diminta oleh DPR,” ujar Yogo. BPK telah ditunjuk menjadi pelaksana audit, yang dijadwalkan berlangsung dua hingga empat pekan.

Jika pemerintah menepati janjinya ke DPR, kenaikan harga paling cepat terjadi pada Februari. Setelah ada hasil audit biaya pokok, baru DPR membahas jalan keluar untuk menutupi kekurangan uang PLN. Sekadar mengingatkan, tahun ini PLN hanya mengantongi sepertiga dari subsidi yang dimintanya.

PLN mengklaim membutuhkan subsidi Rp 38 triliun. Jumlah yang direstui pemerintah hanya Rp 17 triliun. Artinya, masih ada kekurangan biaya produksi Rp 21 triliun.

Tanpa audit biaya pokok produksi, menutup defisit hanya akan menjadi debat kusir. Bahkan di dalam lembaga eksekutif pun, suara mengenai kenaikan tarif listrik masih lonjong. Para pejabat yang mengurus fiskal dan anggaran bisa disebut pendukung fanatik kenaikan tarif listrik.

Dengan argumentasi bahwa pemerintah harus setia pada target anggaran sebesar 0,8 persen, mudah ditebak para pejabat yang mengurus fiskal akan menyarankan beban produksi listrik ditanggung para pengguna melalui kenaikan tarif.

”Kami paham bahwa kenaikan tarif listrik akan memberi beban,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani. ”Di sisi lain, kalau tidak ada kenaikan, APBN sangat terbatas.” Tapi, ada pula pejabat yang berharap menghindari kenaikan tarif.

”Kalau bisa tidak naik, ya lebih bagus,” ujar Menteri Perindustrian Fahmi Idris. Ia berharap demikian karena mengurus kalangan industri yang harus menanggung tambahan beban bila tarif listrik naik.

Ketika PLN mengenakan biaya tambahan kepada pelanggan yang menggunakan listrik ekstra di saat beban puncak, banyak pelanggan kelas industri yang mencak-mencak. ”Pengenaan denda itu meningkatkan biaya operasi kami,” ujar seorang pemilik pabrik tekstil kelas menengah yang enggan dikutip namanya.

Industri serat, tekstil, dan produk tekstil terhitung yang paling vokal menyuarakan keberatan terhadap kenaikan tarif listrik. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSFI), Kustarjono Projolalito, menyatakan industri sintetis akan terengah-engah bila listrik naik sebab, seperti industri semen, mereka butuh listrik sehari penuh.

Di industri tekstil, hilir dari industri serat, rencana kenaikan tarif juga disambut dengan waswas. ”Biaya listrik mencapai 8 persen hingga 12 persen dari seluruh biaya produksi kami,” ujar Ernovian G. Ismy, Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia.

Keluhan para pebisnis itu berlabuh pada kekhawatiran yang sama. Jika biaya membengkak, produk buatan mereka akan sulit menyaingi harga produk negara lain. Buntut yang perlu dipikirkan pemerintah adalah, jika semakin banyak perusahaan gulung tikar, jumlah pengangguran akan meningkat drastis.

Dampak buruk kenaikan tarif listrik yang juga perlu dipikirkan oleh pemerintah adalah laju inflasi. Setelah harga BBM dilepas melayang pada akhir tahun lalu, inflasi sepanjang tahun lalu meroket hingga 18 persen. Jika tarif listrik dikerek kelewat tinggi dan terlalu dini, ada yang mengkhawatirkan angka inflasi kembali melesat.

”Kenaikan tarif listrik sebaiknya tak lebih dari 30 persen,” ujar Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah. Jika kenaikan di atas angka itu, bank sentral memperkirakan inflasi akan melaju hingga melewati 8 persen—ujung-ujungnya, akan kembali menggoyang nilai tukar rupiah.

Kalkulasi yang tak terlalu berbeda datang dari ekonom M. Chatib Basri. Ia menyarankan tarif listrik dinaikkan tak lebih dari 20 persen agar inflasi tak terganggu. ”Kalau kenaikan tarif sebesar itu, inflasi paling banyak melonjak 1,5 persen,” katanya.

Para petinggi negeri ini berjanji akan mengambil pilihan yang paling tidak membebani rakyat. ”Agar tidak menambah beban mereka yang mengalami kesulitan ekonomi,” ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mudah-mudahan janji itu ditepati.

Thomas Hadiwijaya, Sutarto, Retno Sulistiyawati, Agus Supriyanto, Ewo Raswa, Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus