Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudharmono menjalani hari tua dengan hanya sedikit kegiatan. ”Setiap hari saya santai kok,” kata dia sambil mesem ketika ditemui Tempo untuk sebuah wawancara menjelang Musyawarah Nasional Partai Golkar di Bali setahun lalu.
Kesibukan pria yang pernah menduduki jabatan penting pelbagai bidang itu memang jauh menurun. Apalagi, setelah dia melepas aktivitasnya sebagai wakil ketua dari tujuh yayasan yang diketuai mantan presiden Soeharto, misalnya, Yayasan Dharmais, Yayasan Supersemar, Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila.
Praktis aktivitasnya diarahkan untuk lebih banyak merawat kesehatan dirinya sendiri. Karenanya, ia rajin menemui ahli medis dalam jadwal yang tertata. Tiap Senin, misalnya, datang ke sinshe, Selasa menjalani fisioterapi, dan sebulan sekali ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk cek neurologi. ”Wong dokter juga tidak tahu penyakit saya apa kok,” ujarnya berkelakar.
Di usia 78 tahun ketika itu, Pak Dhar—demikian banyak koleganya memanggil—mengganti kegiatannya yang telah ditinggalkan dengan melahap berita-berita utama 10 koran Ibu Kota yang dilangganinya. Ini menunjukkan semangat dan minatnya mengikuti perkembangan situasi politik tak pernah pupus.
Kendati sudah pensiun, rumahnya di Jalan Senopati, Jakarta, pun tak pernah istirahat dari hiruk-pikuk para tamu serta sahabat yang datang, khususnya mereka yang masih aktif di Partai Beringin dari yang sekadar menjenguk hingga yang minta petunjuk.
Nama Sudharmono kembali mencuat di berbagai media beberapa tahun belakangan ketika ia menyatakan ketidaksetujuannya terhadap politisi senior Akbar Tanjung yang kembali mencalonkan diri sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Terlebih lagi, bagi Pak Dhar, ada semacam ”dosa” Akbar ketika membuat ”kebijakan” mendukung Megawati ketimbang Jusuf Kalla sebagai kader potensial Golkar dalam pemilu yang lalu.
Ayah lima anak, sekaligus kakek dari 12 cucu, ini dikenal sebagai sosok yang memiliki sikap loyal sekaligus tegas oleh banyak koleganya, di antaranya Prof Widjojo Nitisastro, Fuad Hassan, Emil Salim, atau mantan Menteri Penetapan Aparatur Negara J.B. Sumarlin. Dalam ingatan Sumarlin, Pak Dhar dinilainya punya sikap correct, disiplin, seram, dan terkesan arogan. Gaya berjalan pria tinggi langsing itu selalu dengan kepala ndangak, mendongak.
Pergaulannya dengan masalah ekonomi negara dimulai ketika dirinya didapuk menjabat Sekretaris Presidium Kabinet Ampera 1966. Ketika itu dia dihadapkan pada masalah pelik perekonomian negara yang tidak terkendali seperti keuangan, perdagangan luar negeri, harga-harga, tingkat bunga.
Pria lulusan Akademi Hukum Militer dan Perguruan Tinggi Hukum Militer dengan gelar sarjana hukum ini menjadi staf Peperpu (Penguasa Perang Pusat) pada masa Soekarno.
Sebelum menjabat sebagai wakil presiden mendampingi Soeharto pada 1988–1993, Sudharmono menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (1983–1988). Setelah pensiun sebagai wakil presiden, ia bersama Ismail Saleh SH (mantan Menteri Kehakiman), Ali Said, dan Bustanil Arifin mendirikan Yayasan Amal Pelayanan Hukum. Dia menjadi penasihat presiden ketika menggantikan Roeslan Abdulgani yang menjadi Ketua BP7.
Lahir di Desa Cerme, Gresik, Jawa Timur, 12 Maret 1927, Pak Dhar adalah anak keempat dari 5 saudara pasangan Supijo Wirodirejo, juru tulis Kecamatan Cerme, dan Sukarsi. Ia sudah berstatus yatim piatu saat usianya baru menginjak 3 tahun.
Sejak sekolah dasar, Sudharmono telah menunjukkan prestasi yang baik. Selain moncer di bidang akademik, Sudharmono juga aktif ikut organisasi Gabungan Siswa Sekolah Menengah di Semarang (Gasemse). Ia masuk Tentara Negara Indonesia (TNI) pada awal pembentukannya pada 1945 hingga menjadi komandan pasukan Divisi Ronggolawe hingga clash pertama dengan Belanda.
Pada Rabu, 25 Januari pekan lalu, sekitar pukul 17.30 WIB, mantan orang kepercayaan Soeharto itu menghembuskan napas terakhir di Rumah Sakit MMC, Jakarta. Sudah sejak dua minggu sebelumnya dia dirawat di rumah sakit tersebut karena mengalami gangguan paru-paru.
Kondisinya terus memburuk setelah ginjalnya ikut terganggu sehingga harus menjalani cuci darah. ”Komplikasi paru-paru yang diderita Eyang sudah ruwet,” kata Niken, salah seorang cucu Sudharmono.
Evieta Fadjar P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo