Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETI jati bersalut bendera Merah Putih itu perlahan diturunkan di bawah renyai hujan, setelah gelegar tembakan salvo. Di dalamnya terbaring jenazah Jenderal Purnawirawan Rudini, 77 tahun. Mantan Kepala Staf Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, dengan inspektur upacara KSAD Jenderal Djoko Santoso, Ahad dua pekan lalu.
Sejumlah tokoh nasional, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, datang melayat. Tampak juga karangan bunga belasungkawa dari mantan presiden Soeharto. Rudini dikebumikan di samping pusara Jenderal Besar A.H. Nasution dan mantan wakil presiden Jenderal Umar Wirahadikusumah.
Rudini mengembuskan napas terakhir hampir tengah malam, Sabtu dua pekan lalu, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ayah tiga anak dan suami Oddyana ini meninggal karena penyakit jantung dan gagal ginjal.
Menurut anaknya, Dewi Nandini, Rudini pernah menjalani operasi jantung pada 1999 dan harus cuci darah dua kali seminggu. Ketika terakhir kali masuk rumah sakit, mantan Menteri Dalam Negeri itu menolak dibantu alat picu jantung. ”Bapak bilang dia sudah lelah,” kata Dina sambil terisak.
Di kalangan kenalan dekatnya, Rudini dianggap kawan diskusi yang menyenangkan. Ia juga ramah kepada wartawan. Gaya bicaranya yang terbuka sering kali dinilai berani dan kritis, terutama pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Misalnya ketika, sebagai Menteri Dalam Negeri, ia melontarkan ide otonomi daerah yang memungkinkan daerah mandiri, relatif bebas dari pengaruh Golkar dan militer.
Rudini lahir di Malang, Jawa Timur, 5 Desember 1929, sebagai anak ketiga dari sembilan bersaudara. Ayahnya, pegawai Dinas Pekerjaan Umum, ingin Rudini menjadi dokter. Tapi sang anak memilih jadi serdadu.
Setamat SMA, pada 1950, dia ikut tes calon perwira yang dikirim ke Royal Military Academy di Breda, Belanda. Dari 50 ribu peserta, hanya 35 yang lulus, termasuk Rudini. Empat tahun kemudian, ia pulang dengan pangkat letnan dua dan langsung dilantik sebagai Komandan Peleton Batalion 518/Brawijaya.
Postur tubuhnya yang pas-pasan, hanya 160 sentimeter, sering membuat orang meragukan kemampuan tempurnya. Tapi Rudini tak peduli. ”Napoleon yang kesohor itu juga kecil. Jadi, jangan main-main,” katanya sekali waktu. ”Saya mau buktiin bahwa saya lebih mampu dan lebih banyak akal.”
Setelah dua tahun menjadi Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Rudini diangkat menjadi KSAD, 1983-1986. Semasa itu ia melakukan reorganisasi TNI-AD. Jumlah Komando Daerah Militer (Kodam) dikurangi, dari 16 menjadi 10. Ketika lengser sebagai KSAD, kariernya diduga tamat. Ternyata, Soeharto mengangkatnya menjadi Menteri Dalam Negeri, 1988-1993.
Pensiun sebagai menteri, Rudini mendirikan Lembaga Pengkajian Strategis Indonesia (LPSI). Pada 1999 ia menjadi Ketua Komisi Pemilihan Umum, dan pemilihan saat itu diakui sebagai pemilu demokratis pertama di Indonesia setelah Orde Baru. Rudini berhasil membuktikan diri sebagai jenderal yang tidak sangar, mudah didekati, dan, itu tadi, teman diskusi yang menyenangkan.
Widiarsi Agustina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo