Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI luka yang baru sembuh, hubungan Indonesia dengan Timor Leste terkoyak kembali. Kali ini yang menjadi picu masih soal laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi (CAVR—Commissaoa de Acolhimento, Verdade e Reconciliacao) Timor Leste, yang dibawa Xanana ke Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, dua pekan lalu.
Laporan setebal 2.500 halaman itu adalah hasil temuan pelanggaran hak asasi manusia sejak 25 April 1975 sampai 25 Oktober 1999, persisnya sejak kediktatoran Orde Baru mengirimkan tentara ke Timor Leste—dulu Timor Timur. Disebutkan, akibat pendudukan Indonesia selama 24 tahun, sekitar 83 ribu sampai 183 ribu orang tewas.
Komisi itu memang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET), bertujuan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste. Tujuannya, menyingkap kebenaran dan mendorong rekonsiliasi para korban dan pelaku kejahatan. Bahkan, kata Ketua CAVR Aniceto Guterres, mereka menyusun laporan itu dengan hati-hati. ”Kami selalu mempertimbangkan rekonsiliasi dengan Indonesia,” ujar Aniceto kepada Tempo.
Kisah kejahatan kemanusiaan di Timor Leste memang sudah berkali-kali didengar dunia. Yang jadi masalah, laporan itu menitipkan butir rekomendasi kepada pemerintah Timor Leste. Misalnya, para pelaku kejahatan kemanusiaan diminta diadili oleh pengadilan internasional. Meski tak disebut dengan jelas, jelas sasarannya adalah bekas jenderal Indonesia yang pernah bertugas di Timor Timur.
Meski banyak yang gerah, bagi CAVR rekomendasi itu adalah wajar. ”Terserah pemerintah, apakah menjalankannya atau tidak,” ujar Aniceto. Tapi, rekomendasi itu tampaknya hanya tinggal di laci meja kerja Xanana. ”Negara dibuat bukan mengurus masa lalu, tapi untuk menyikapi keadaan sekarang dan masa depan,” ujar Xanana saat berpidato menyikapi temuan CAVR itu di parlemen nasional Timor Leste, November tahun lalu.
Tapi, situasi memanasnya hubungan kedua negara tak sebatas masa lalu saja. Kini gesekan di perbatasan RI-Timor Leste rawan memicu ketegangan baru. Misalnya, sebelum laporan itu sampai ke meja sidang PBB di New York, ada insiden tewasnya tiga warga Indonesia yang ditembak polisi perbatasan Timor Leste. Gara-gara itu pula, Ketua DPR RI Agung Laksono berang. Dia sempat meminta pemerintah RI memutuskan hubungan diplomatik dengan Timor Leste.
Belum lagi kelar masalahnya, muncul pula kesaksian Dominggas Tefa, 24 tahun. Gadis warga Kampung Netamnanu, Abanani, itu mengaku diperkosa oleh anggota TNI di pos Desa Ablal, Miomafo Barat, Timor Tengah Utara, dua pekan lalu. Laporan itu dibantah oleh Komandan Korem 161 Wirasakti Kupang, Kolonel Infanteri APJ Noch Bola. Menurut Bola, Dominggas adalah pelintas batas ilegal. Begitu ditangkap, gadis itu diserahkan ke polisi. Kata Bola, tak ada pemerkosaan oleh anggota TNI.
Mana cerita yang benar, belum lagi pasti. Tapi, itulah masalahnya. Baik perkara matinya tiga warga Indonesia maupun tuduhan pemerkosaan gadis Timor Leste ini, penyelesaiannya masih macet di tengah jalan. Soalnya, kedua pejabat negara saling tuding. Bahkan kerja tim investigasi kematian tiga warga Indonesia yang dibentuk oleh dua negara itu pun dilaporkan buntu, pekan lalu.
Dalam situasi seperti itu, Menteri Luar Negeri Timor Leste Ramos Horta paham aksi laporan Xanana ke PBB itu akan menyulut kontroversi dengan Indonesia. Tapi, menurut dia, Indonesia tak perlu terlalu cemas juga. Tak semua rekomendasi itu bisa dilakukan pemerintah Timor Leste. Soal tuntutan kompensasi kepada korban, misalnya, kata Horta, pemerintah Timor Leste menolak butir itu. ”Kami tak akan mengejar kompensasi itu,” ujar Horta kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Seperti Xanana, dia berharap rekonsiliasi kedua negara bisa berjalan. Horta bahkan sangat mengerti jadwal pertemuan Xanana dengan Susilo Bambang Yudhoyono, yang semestinya dilakukan Jumat pekan lalu, terpaksa tertunda. ”Kami serahkan kepada Indonesia, kapan saja waktunya kami siap,” ujar Horta.
Tapi, kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, pembatalan pertemuan bukan akibat laporan panas dari Timor Leste itu. ”Presiden SBY hanya belum sempat bertemu,” ujar Wirajuda, Jumat pekan lalu. Meski tak bersua muka, kedua pemimpin itu bakal berbicara lewat telepon. Rupanya, soal laporan ke PBB itu, kata Menteri Wirajuda, Indonesia sudah diberi tahu sebelumnya, saat Xanana berkunjung ke Medan akhir Desember lalu.
Yang melegakan, perkara beban sejarah masa lalu itu, Indonesia masih tetap percaya akan bisa rampung lewat Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) bentukan kedua negara. ”Tidak perlu ragu. Kita tetap terus berkonsultasi dengan pemerintah Timor Leste,” ujarnya.
Nezar Patria, Jems de Fortuna (NTT)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo