Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Disertasi dan karya ilmiah Rektor Unnes Fathur Rokhman terbukti menjiplak karya mahasiswanya.
Fathur Rokhman disebut-sebut dekat dengan bekas Menteri Pendidikan Tinggi, M. Nasir.
Kasus plagiarisme juga menyandung Rektor Universitas Halu Oleo dan bekas Wakil Ketua DPR.
BERTARIKH 17 Oktober 2019, selembar surat yang ditandatangani Rektor Universitas Negeri Semarang Fathur Rokhman ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj. Isinya: mendukung Mohamad Nasir terpilih kembali menjadi Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam surat bernomor B/8266/UN.37/HM.01.00/2019 itu, Fathur menyanjung Nasir setinggi langit. Dia menulis Nasir layak menjabat dua periode karena punya banyak prestasi dan aktif melawan gerakan radikalisme di perguruan tinggi. Surat itu dibuat sepekan sebelum Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya pada 23 Oktober 2019. Namun Nasir terdepak dari jabatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fathur mengaku mengirimkan surat tersebut kepada Presiden Jokowi. Meski menggunakan kop berlogo Universitas Negeri Semarang, surat itu dinyatakan Nasir merupakan hasil diskusi informal dengan beberapa rektor kampus negeri. Ia mengklaim tradisi mengusulkan tokoh lazim dalam dunia pendidikan tinggi. “Kami cuma mengusulkan karena kewenangan memilih tetap ada pada Presiden,” kata Fathur kepada Tempo, Jumat, 29 Januari lalu.
Adapun Nasir, kini anggota staf khusus wakil presiden bidang reformasi birokrasi, menyatakan tak tahu soal surat dukungan dari Fathur. Dia mengaku tak berambisi menjadi menteri lagi. “Lima tahun diberi kesempatan oleh Presiden itu sudah luar biasa,” ujarnya.
Rektor Universitas Negeri Semarang Fathur Rokhman. ANTARA FOTO/Aditya Pradana
Surat tersebut dibuat setahun setelah Fathur disangka melakukan plagiarisme. Pada 4 Agustus 2018, Tim Evaluasi Kinerja Akademik Kementerian Pendidikan Tinggi menyimpulkan Fathur menjiplak skripsi dua mahasiswanya untuk dipublikasikan dalam dua jurnal ilmiah pada 2002 dan 2004. Seorang guru besar yang mengetahui kajian itu menyebutkan Fathur juga dianggap melakukan self-plagiarism, mengutip data dan istilah dari karya ilmiah milik sendiri yang pernah dipublikasikan sebelumnya, tapi tak menulis referensinya secara memadai. Tim Evaluasi pun menyimpulkan guru besar sosiolinguistik itu memanipulasi laporan penelitian.
Kesimpulan serupa diambil oleh Tim Kajian Akademik yang dibentuk Kementerian Pendidikan Tinggi pada 31 Juli 2018. Bekerja selama dua bulan, Tim menghasilkan laporan setebal tiga halaman yang isinya antara lain menyatakan artikel Fathur yang terbit di jurnal Lingua Artistika pada Mei 2002 dan skripsi mahasiswanya memiliki kemiripan lebih dari 75 persen. Tertulis dalam dokumen yang sama, Fathur terbukti melakukan copy-paste, self-plagiarism, dan publikasi ganda.
Namun sikap Nasir bertolak belakang dengan kajian dua tim yang dibentuknya. Dia menyatakan sudah membaca kajian dua tim yang dibentuknya. “Berkali-kali mereka sudah melaporkan hasilnya kepada saya,” ucap Nasir. Menurut dia, Fathur membimbing sebuah riset, tapi hasil publikasinya justru direplikasi oleh mahasiswanya. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Paristiyanti Nurwardani mengklaim tim investigasi independen menyatakan Fathur tak terbukti menjiplak.
Rektor Universitas Halu Oleo, Kendari, Muhammad Zamrun Firihu. https://www.anri.go.id
Kedekatan Fathur dengan Nasir juga tampak saat Nasir menikahkan putrinya di Semarang pada Januari 2019. Fathur disebut-sebut meminjamkan mobil operasional kampus kepada Nasir selama acara. Nasir tak membenarkan ataupun membantah bantuan itu. “Kalau saya berkunjung ke daerah selalu disediakan mobil dari kampus setempat dan pembayarannya menjadi urusan protokol.”
Pada awal 2020, kasus penjiplakan yang diduga melibatkan Fathur kembali mencuat. Kali ini disertasinya di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang dipersoalkan. Berkas putusan Dewan Kehormatan UGM yang salinannya diperoleh Tempo menerangkan disertasi Fathur sedikitnya memuat sebelas kemiripan dengan skripsi dua mahasiswinya, Ristin Setiyani dan Nefi Yustiani, yang dibuat pada 2001. Fathur juga dianggap memanipulasi dua data terkait dengan lokasi penelitian.
Ditandatangani tujuh profesor bertanggal 9 Maret 2020, Dewan Kehormatan UGM merekomendasikan agar Rektor UGM Panut Mulyono mencopot gelar doktor Fathur. Alih-alih mengeksekusi putusan itu, Panut justru mengikuti pendapat ahli hukum yang menyebutkan sebelas data yang dijiplak dan dua informasi yang dimanipulasi lebih dulu dimuat dalam draf disertasi yang dibuat Fathur pada tahun 2000 atau setahun sebelum skripsi Ristin dan Nefi selesai.
Anehnya, saat diperiksa di Ombudsman Republik Indonesia terkait dengan dugaan plagiat, Fathur justru menyatakan bahwa draf tahun 2000 itu sudah dibakar. Anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy, mengatakan tim Ombudsman sempat mempertanyakan alasan Fathur memusnahkan draf. “Katanya supaya tidak menjadi fitnah,” ujar Suaedy.
Tempo mendapatkan draf tahun 2000 bikinan Fathur. Ada kejanggalan dalam draf tersebut. Di halaman 152, Fathur mengutip buku Kamus Pepak Basa Jawa karangan Sudaryanto dan Pranowo yang baru terbit pada 2001. Meski dikutip di isi makalah, buku Kamus Pepak justru raib dari daftar pustaka draf di halaman 213-220 disertasi tersebut.
Rektor UGM Panut Mulyono hanya membaca pesan konfirmasi yang dikirim melalui WhatsApp, tanpa mengirim jawabannya. Adapun Nefi Yustiani irit berkomentar saat ditanyai soal plagiarisme yang menjerat bekas dosennya. “Segala keterangan sudah saya sampaikan ke UGM. Silakan tanya ke UGM,” katanya.
Fathur membantah melakukan plagiat. Dia mengklaim memiliki semua dokumen yang menunjukkan perkembangan penulisan disertasinya. Fathur menyebutkan kesamaan data antara disertasinya dan skripsi Ristin Setiyani-Nefi Yustiani dapat dijelaskan secara akademik. Apalagi Ristin dan Nefi telah membuat surat keterangan yang menyatakan bahwa mereka mengambil data dari disertasi Fathur, bukan sebaliknya. “Tuduhan tersebut secara hukum tidak terbukti dan dinyatakan selesai,” ujar Fathur.
Dalam salinan surat pernyataan tertanggal 24 Agustus 2018 bermeterai, Ristin mengakui skripsinya dikutip dari draf disertasi Fathur. Namun dia merujuk draf buatan 1998, bukan versi 2000 yang dijadikan dasar oleh UGM untuk membebaskan Fathur. Ristin juga menulis dalam warkat itu bahwa Fathur tak melakukan plagiarisme. Surat itu disebut dibuat tanpa paksaan.
Selain di Semarang, plagiarisme menyandung Rektor Universitas Halu Oleo, Kendari, Muhammad Zamrun Firihu, pada 2017. Ada tiga publikasi yang ditengarai bermasalah. Artikelnya berjudul “Microwaves Enhanced Sintering Mechanisms in Alumina Ceramic Sintering Experiments” yang terbit pada 2016 diduga menjiplak tulisan karya Joel D. Katz dan Roger D. Blake yang ditulis pada 1991. Adapun artikel bertajuk “2.45 GHz Microwave Drying of Cocoa Bean” ditengarai mensontek tulisan Macmanus Chinenye Ndukwu yang dipublikasikan pada 2010. Dalam satu artikel lain, Zamrun diduga melakukan self-plagiarism.
Namun Menteri Pendidikan Tinggi saat itu, Mohamad Nasir, tetap melantik Zamrun menjadi Rektor Halu Oleo pada Juli 2017. Beberapa jam sebelum acara pelantikan, sejumlah guru besar membawa bukti-bukti penjiplakan ke hadapan Nasir. Mentok di meja menteri, sedikitnya 30 guru besar melaporkan Zamrun ke Ombudsman, beberapa hari seusai pelantikan. Anggota Ombudsman, Ahmad Suaedy, menyebutkan lembaganya menemukan dugaan maladministrasi yang mengarah pada tindakan plagiarisme yang dilakukan Zamrun. “Ini tidak ditindaklanjuti,” tuturnya.
Nasir mengaku sudah membentuk tim independen untuk menyelidiki kasus tersebut. Dia mengklaim tak punya kepentingan apa pun dalam kasus itu. “Siapa pun kawan atau lawan, kalau bersalah dan terbukti plagiasi, akan saya sikat,” katanya. Sebagaimana ditulis Tempo edisi 31 Juli 2017, Zamrun menyatakan tim independen dari Kementerian sudah memeriksa naskahnya dan dinilai tak ada kemiripan dengan artikel lain.
Agus Hermanto saat masih menjabat Wakil Ketua DPR di kompleks gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin, 21 Mei 2018. TEMPO/STR/Fakhri Hermansyah
Plagiarisme juga menyandung bekas Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Agus Hermanto. Ia ditengarai melakukan pelanggaran dalam penulisan artikel di jurnal Emerald Insight yang bermarkas di Inggris pada 11 Juni 2018. Penerbit mencabut artikel ilmiah berjudul “The Importance of Open Government Data for the Private Sector and NGOs in Indonesia” yang ditulis Agus bersama empat orang lain. Penyebabnya, sebagian besar isinya ditulis tanpa menyertakan atribusi dari sumber lain.
Agus diduga mengajukan artikel di jurnal Emerald sebagai salah satu syarat publikasi ilmiah untuk memperoleh gelar guru besar di Universitas Negeri Semarang (Unnes). Makalah itu juga masih terpampang di situs resmi kampus. Di situs yang sama, politikus Partai Demokrat itu tercatat memiliki empat publikasi di jurnal berbahasa Inggris—dua di antaranya bertema geotermal. Padahal Agus dikukuhkan sebagai profesor bidang administrasi publik.
Saat upacara pengukuhan gelar pada 24 Juli 2019, Rektor Unnes Fathur Rokhman menyebut Agus sudah memenuhi syarat sebagai profesor, termasuk dua artikel bereputasi internasional. “Sudah disidangkan di Senat Unnes,” ujar Fathur. Adapun Agus tak merespons soal pencabutan artikelnya di jurnal Emerald hingga Sabtu, 30 Januari lalu. Dia hanya membaca pesan yang dikirim melalui WhatsApp dan tak mengangkat panggilan telepon.
RAYMUNDUS RIKANG, HUSSEIN ABRI DONGORAN (JAKARTA), JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo