Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan mencuat di tengah Rancangan Peraturan Presiden yang tak kunjung terbit.
Pasal harga ada dalam draf terkini RUU EBT, tapi tidak untuk usulan badan pengelola.
Investor menunggu kepastian skema pembelian listrik oleh PLN.
RENCANA Halim Kalla membangun pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, baru memasuki tahap studi kelayakan. Dirancang berkapasitas 30-40 megawatt (MW), pembangkit ini akan dibangun bekerja sama dengan perusahaan Jerman. Di kawasan perbukitan yang sama, adik bungsu Jusuf Kalla itu juga berencana membangun pembangkit listrik tenaga air mini dengan perkiraan daya 5 MW.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Halim, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Energi Terbarukan dan Lingkungan Hidup, mengatakan masih ada beberapa proyek energi hijau lain yang siap direalisasi. Masalahnya, seperti pengembang energi baru dan terbarukan lain, Halim masih menunggu kepastian regulasi, terutama tentang harga setrum. Harga bakal mempengaruhi nilai keekonomian proyek—salah satu yang akan dinilai oleh perbankan ketika akan menyiapkan kredit. “Tergantung harga beli dari PLN. Tanpa tahu harga, bagaimana kami memproyeksikan pendapatan proyek?” kata Halim, Jumat, 29 Januari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketidakpastian regulasi, terutama mengenai harga pembelian listrik oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), memang menjadi momok bisnis energi baru dan terbarukan (EBT). Terakhir, pada September 2020, pemerintah mengklaim telah menyiapkan rancangan peraturan presiden untuk memperkuat ketentuan yang selama ini hanya setingkat peraturan menteri.
Belum juga peraturan presiden itu diterbitkan, rencana regulasi baru kini mencuat dalam bentuk Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan. Gagasannya, regulasi setingkat undang-undang khusus bakal lebih kuat memayungi upaya pengembangan energi ramah lingkungan ketimbang selama ini yang hanya mengacu pada Undang-Undang Energi.
Dewan Perwakilan Rakyat sebenarnya telah menginisiasi RUU tersebut tahun lalu. Sejumlah rapat konsultasi publik juga telah digeber untuk menyiapkan naskahnya. Namun baru pada Januari ini rencana pembahasan makin terang. Pada Selasa, 26 Januari lalu, Badan Keahlian DPR menyodorkan draf teranyar RUU tersebut, plus naskah akademiknya, kepada Komisi VII, yang antara lain membidangi energi.
Indonesia memang perlu bergerak cepat untuk mendongkrak penggunaan energi baru dan terbarukan, terutama guna memenuhi Kesepakatan Paris yang memaksa semua negara berkontribusi menekan pemanasan iklim global. Untuk mencapai komitmen penurunan emisi 29 persen pada 2030, pemerintah menargetkan pengembangan EBT berkontribusi sebesar 23 persen dari bauran energi nasional. Kalkulasinya, Indonesia memerlukan tambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 9.000-10 ribu MW dalam empat tahun ke depan. Namun, merujuk pada tren empat tahun terakhir, pembangkit baru EBT diperkirakan hanya dapat menambah kapasitas sekitar 2.500 MW pada 2025.
Masalah harga—salah satu yang dianggap membuat pengembangan EBT selama ini jalan di tempat—diatur dalam pasal 50 draf RUU tersebut. Di sana disebutkan harga energi baru dan terbarukan ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan mempertimbangkan tingkat pengembalian yang wajar bagi badan usaha. Dalam pasal berikutnya, RUU itu menjanjikan insentif, dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kepada badan usaha yang mengusahakan energi baru dan terbarukan. Insentif yang dimaksudkan bisa berupa fiskal ataupun nonfiskal selama jangka waktu tertentu.
Halim Kalla mengungkapkan, mencari pembiayaan untuk membangun pembangkit listrik tidak mudah. Meski beberapa negara di Eropa banyak menawarkannya, terutama untuk proyek energi terbarukan, masalah keekonomian tetap menjadi pertimbangan utama. Halim sendiri mungkin akan mendapat pinjaman dari lembaga keuangan di Jerman untuk proyek PLTB, dibantu mitra pengembangnya yang juga berasal dari Jerman. Sedangkan pembangunan pembangkit minihidro akan menggunakan pembiayaan dari dalam negeri karena kebutuhannya tak sebanyak PLTB.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengidentifikasi masalah akses pendanaan sebagai salah satu penghambat pengembangan energi baru dan terbarukan. Penyebabnya, menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Energi Prahoro Yulijanto Nurtjahyo, adalah adanya asumsi bahwa subsektor ini berisiko tinggi. “Masih tingginya ongkos pembiayaan, terbatasnya ruang lembaga jasa keuangan dalam memberikan tenor yang panjang, dan penghindaran risiko. Hambatan itu tersebar di semua fase proyek energi terbarukan,” ucapnya, akhir tahun lalu.
Belakangan, harapan baru muncul. Kemajuan teknologi dan penggunaan skala luas diperkirakan akan membuat biaya investasi energi terbarukan menurun, terutama pembangkit tenaga surya dan pembangkit tenaga angin. Lembaga riset serta advokasi bidang energi dan lingkungan, Institute for Essential Services Reform (IESR), mencatat, hanya dalam satu dekade, 2010-2019, harga panel surya turun 89 persen, sementara harga turbin angin terkoreksi 59 persen.
Pada 2030, IESR memproyeksikan, membangun pembangkit energi terbarukan bakal lebih murah ketimbang mengoperasikan pembangkit tenaga batu bara dan gas yang sudah ada. Karena itu, IESR memperkirakan, pembangunan pembangkit berbahan bakar fosil baru akan makin tidak menguntungkan dan berisiko.
Halim membenarkan adanya penurunan biaya investasi tersebut. “Teknologi makin tinggi, makin umum, pengguna makin banyak, harga jual makin murah.”
Masalahnya, ia menambahkan, investasi sektor energi terbarukan tidak hanya terkait dengan harga peralatan. Ada juga aspek infrastruktur yang harus menjadi pertimbangan. Untuk mendirikan pembangkit di Sulawesi Tenggara, misalnya, ia harus membangun jalan dulu. “Peralatan saya dari Jerman dikirim ke pelabuhan, lanjut pengangkutan ke site. Itu butuh biaya besar,” tutur Halim.
•••
TIGA lembaga, yakni Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI), serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia, sadar bahwa usul mereka tak masuk draf teranyar Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan. Sebelumnya, mereka mengusulkan regulasi anyar kelak juga mengatur pembentukan badan pelaksana energi baru-terbarukan. Gagasannya adalah memastikan transisi dari energi fosil ke EBT berjalan.
Usul disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi Energi DPR pada September 2020. Sekretaris Jenderal MKI Andri Doni menyatakan gagasan tersebut sebelumnya juga didukung sejumlah anggota Komisi Energi. Ratna Juwita, anggota Komisi Energi dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Kardaya Warnika dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, misalnya, sepakat dengan ide tersebut.
Kardaya Warnika di Gedung Nusantara I, kompleks MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Oktober 2015. Dok.TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Menurut Ratna, partainya menilai diperlukan pengelolaan yang sinergis antara hulu dan hilir sektor EBT. “Sehingga perlu badan khusus yang mengelola sektor EBT, seperti (badan) di sektor energi fosil yang eksis sampai hari ini,” ujarnya, Sabtu, 30 Januari lalu. Walau begitu, draf terbaru RUU EBT yang disusun Badan Keahlian DPR sesuai dengan hasil rapat dengar pendapat tersebut tak mencantumkan usul itu dalam rancangan pasal.
Direktur Eksekutif METI Paul Butarbutar memastikan lembaganya tak akan patah semangat. Dia berencana membawa lagi gagasan pembentukan badan khusus tersebut dalam berbagai kesempatan konsultasi publik bersama Dewan. Menurut dia, Fraksi PKB telah menjadwalkan diskusi pada Selasa, 2 Februari mendatang, untuk membahas masukan ini. “Pembentukan badan pengelola ini sangat krusial,” kata Paul. Hal senada diungkapkan Andri. “Ini baru draf, belum final. Kami akan all out.”
Menurut Paul, konsep badan khusus yang diusulkan sama dengan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Menurut dia, keberadaan lembaga yang telah bersalin nama menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas tersebut menjadi salah satu faktor moncernya investasi migas di Indonesia. “Hal yang sama diperlukan sektor EBT,” ucapnya.
Ketentuan baru lain berupa peraturan tentang nuklir. Dalam draf tersebut, nuklir dikategorikan sebagai energi baru. Rancangan pasal 7 menyebutkan pembangunan, pengoperasian, dan decommissioning pembangkit listrik tenaga nuklir dilaksanakan oleh badan usaha milik negara khusus. Tapi keputusan membangun pembangkit tersebut ditetapkan pemerintah pusat setelah mendapat persetujuan DPR.
Klausul tentang nuklir itu sempat menjadi perdebatan dalam rapat di DPR. Wacana perubahan judul RUU pun sempat mencuat. Kardaya, misalnya, beranggapan bahwa ihwal nuklir tak perlu dimasukkan ke RUU itu karena telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. “Nuklir dikategorikan energi baru karena kita belum punya,” tuturnya. Karena itu, ia menyarankan draf wet ini berjudul RUU Energi Terbarukan. “Ini seperti yang lazim di banyak negara.”
METI pun setuju RUU ini berfokus mengatur energi terbarukan. Pertimbangannya, menurut Ketua METI Surya Dharma, dunia internasional tidak mengenal energi baru. “Yang ada energi terbarukan,” katanya. Alasan lain: hanya sektor energi terbarukan yang belum memiliki payung hukum khusus, kecuali panas bumi, yang telah diatur dalam undang-undang tersendiri.
•••
REGULASI yang ditunggu-tunggu para pengembang energi terbarukan dalam jangka pendek sebenarnya adalah peraturan presiden tentang pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan oleh PLN. Rancangan peraturan anyar tersebut telah rampung disusun dan siap diteken sejak September 2020. Tapi hingga kini tak ada kabar kelanjutan rencana penerbitan regulasi tersebut.
Dalam draf terakhir rancangan peraturan presiden, pemerintah mengklasifikasikan harga dalam tiga kelompok, yakni feed-in tariff, harga patokan tertinggi (HPT), dan harga kesepakatan. Dalam feed-in tariff, tidak ada negosiasi, juga tanpa eskalasi jangka waktu perjanjian jual-beli. Peraturan presiden ini sekaligus akan berlaku sebagai persetujuan harga dari menteri.
Skema feed-in tariff diterapkan untuk pembelian setrum dari pembangkit listrik berkapasitas hingga 5 megawatt. Jenisnya meliputi pembangkit listrik tenaga air, surya, angin/bayu, biomassa, biogas, dan panas bumi.
Adapun skema HPT menggunakan negosiasi dengan batas atas mengacu pada harga patokan tertinggi yang ditetapkan dalam peraturan presiden. Harga ini juga dilengkapi skema tanpa eskalasi selama jangka waktu perjanjian jual-beli listrik. Khusus untuk pembangkit panas bumi, eskalasi selama masa kontrak jual-beli listrik atau uap diberlakukan.
Skema terakhir berupa pembelian setrum berdasarkan harga kesepakatan alias melalui negosiasi. Hasil kesepakatan tersebut wajib mendapat persetujuan dari Menteri Energi.
Yang menarik dari rancangan peraturan itu, Halim Kalla menjelaskan, pemerintah berencana memberikan harga listrik yang tinggi dalam sepuluh tahun pertama operasi. Dengan begitu, investor punya kemampuan mengembalikan kredit. Selanjutnya, harga setrum diturunkan bertahap mulai tahun kesebelas hingga ke-30. “Enggak ada masalah. Yang penting investor sudah balik modal,” ujarnya.
Halim menilai skema tersebut sebagai bentuk insentif dari pemerintah supaya investor mau menanamkan modal. Ia mengungkapkan, saat ini banyak proyek pembangkit energi terbarukan yang sangat menunggu rancangan peraturan presiden itu diberlakukan. Seharusnya, kata dia, peraturan tersebut menjadi jalan keluar untuk memicu lebih banyak pemanfaatan energi terbarukan.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo