Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Wajah Santri yang Terbelah

Sebagian besar orang Islam Indonesia semakin santri. Tapi mengapa kekerasan dan korupsi justru meningkat?

23 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ORANG Islam di Indonesia sebagian besar tergolong santri. Kabar baik itu merupakan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Perguruan tinggi Islam ternama itu mewawancarai sekitar 2.000 responden yang berasal dari 16 provinsi di Indonesia. Mayoritas mengaku melakukan salat wajib lima waktu, berzakat, berpuasa di bulan Ramadan. Hasil ini jelas sebuah tonggak penting yang harus ditandai dalam perjalanan ajaran Islam di Indonesia! Kemajuan besar dalam keberagamaan umat Islam Indonesia hasil penelitian yang baru rampung November lalu itu secara jelas berbeda dengan hasil penelitian Clifford Geertz. Antropolog terkemuka asal Amerika itu pada 1952 sampai 1954 meneliti kehidupan keagamaan Islam di Pare, Kediri, Jawa Timur. Geertz kemudian menggolongkan umat Islam menjadi tiga kelompok: santri, abangan, priayi. Sebuah pengelompokan yang sejak awal mendapat banyak kritik ilmuwan sosial yang lain. Penelitian PPIM yang pertama kali dipublikasikan di majalah ini menyebutkan bahwa tradisi kaum abangan—memberi sesajen dan kemenyan, datang ke makam orang sakti—sudah sangat sedikit dilakukan. Kelompok terbanyak responden diketahui taat menjalankan ibadah wajib. Mayoritas, 61,4 persen, setuju pelaksanaan syariat Islam di In-donesia. Lebih dari separuh setuju dengan pemerintahan Islam, hukum Al-Quran dan hadis, serta dipimpin oleh ahli-ahli Islam (lihat tabel Santri yang Tak Toleran). Tapi, selain gambaran umat yang "makin santri" itu, didapat juga potret yang kontradiktif: tingkat intoleransi sangat tinggi (lihat Syariat Oke, Potong Tangan Nanti Dulu). Sebanyak 87 persen responden menyatakan ketidaksukaannya terhadap kelompok tertentu. Ini jelas bertolak belakang dengan ajaran Islam yang sangat toleran terhadap pemeluk agama lain dan bahkan makhluk lain. Islam juga sangat menghargai perbedaan pendapat. Kelompok yang dinyatakan tidak disukai itu yang terbanyak adalah komunis. Kemudian, dalam satuan yang lebih kecil, yang tidak disukai adalah Yahudi, Kristen/Katolik, Laskar Jihad, dan warga keturunan Cina. Hasil ini menunjukkan bahwa trauma sejarah rupanya tak gampang luntur, bahkan oleh ajaran agama. Ketidaksukaan terhadap komunis jelas ada kaitannya dengan peristiwa 30 September 1965—berupa pembantaian para jenderal di Jakarta—yang kemudian diikuti dengan pembantaian massal terhadap pengikut Partai Komunis Indonesia yang dikenal rakyat di tingkat akar rumput sebagai musuh agama. Sedangkan ketidaksukaan terhadap kelompok Kristen, Katolik, dan etnis Cina lebih merefleksikan persoalan kesenjangan ekonomi yang lama terpendam di masyarakat. Sistem ekonomi yang dibangun Orde Baru sudah lama diketahui banyak menguntungkan kelompok konglomerat etnis Cina dan non-Islam, seraya "merugikan" ekonomi umat Islam. Disebutkan oleh penelitian ini, gereja dan kebaktian di lingkungan penduduk muslim merupakan persoalan yang dianggap mengganggu. Ada apa dengan ketidaksukaan terhadap Laskar Jihad? Meskipun hanya kecil persentasenya, 2 persen, kelompok-kelompok "keras" itu tidak disukai oleh sedikit responden mungkin lantaran aksi sweeping dan aksi keras lain yang mereka lakukan. Insiden di Ngawi, Jawa Timur, akhir November lalu bisa disebut sebagai satu contohnya. Mulanya, Laskar Jihad melakukan aksi bersih-bersih para penjudi recehan di ujung Pasar Besar, dekat Masjid Al-Muhajirin. Tak disangka, tindakan laskar itu mendapat balasan dari sekelompok massa. Rumah Mukhyi Effendi, yang juga markas laskar di Jalan Ahmad Yani, ikut dirusak massa. Barang-barang di rumah itu—mulai dari televisi hingga mesin cetak sederhana—dibakar. Persoalan berlanjut. Anggota Laskar Jihad, Sabtu 1 Desember lalu, menjelang subuh, mendatangi rumah Yuwono Susatyo, Ketua Anak Cabang PDI Perjuangan Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi, lalu menciduknya. Alasannya, Yuwono, yang beragama Islam, dianggap sebagai provokator perusakan kantor laskar. Ngawi, kota dengan 860 ribu jiwa, nyaris diamuk rusuh. Di beberapa kota lain, ada banyak bukti yang mendukung hasil penelitian IAIN Jakarta itu. Tingkat toleransi yang rendah sangat mungkin menjadi pemicu kerusuhan dan konflik yang menyangkut umat Islam belakangan ini. Tentu saja penyebab konflik tak cuma ini. Ada begitu banyak soal lokal dan kultural yang akhirnya meletupkan kerusuhan yang menelan banyak korban. Persoalan ekonomi yang makin mencekik juga punya banyak andil. Konflik di Maluku yang hampir tiga tahun berlangsung itu bermula dari perkelahian antara warga Hative Besar yang Kristen dan Desa Wailete yang mayoritas Islam pada Desember 1998. Sedangkan pemicu konflik Poso adalah perkelahian antara pemuda Kristen dan Islam pada 24 Desember 1998. Konflik bernuansa agama masih terjadi di beberapa daerah yang lain. Lalu, bagaimana menjelaskan konflik-konflik ini dengan tingkat ke-salehan umat yang meningkat? Umat Islam yang makin santri bisa sekaligus makin tidak toleran? Jawabnya, hasil ini menunjukkan wilayah keberagamaan umat Islam ternyata masih terbatas pada lingkup pribadi. Mereka memakai ajaran Islam sebagai pemenuh kebutuhan pribadi, tapi sesungguhnya tak menerima hukum Islam diterapkan secara kolektif. Bagian lain penelitian ini menjelaskannya. Sebagian besar responden mendukung penerapan syariat Islam (lihat Antara Label dan Substansi). Ternyata mereka tidak setuju dengan penerapan hukum Islam seperti potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina (lihat Jangan Pernah Mencuri di Patihoni). Mereka tak setuju ada polisi khusus yang mengawasi salat atau puasa. Karena perbedaan "Islam untuk pribadi" dan "Islam sebagai aturan kolektif" itu pula responden yang bisa digolongkan sebagai santri tidak merasa harus memilih partai Islam atau masuk organisasi Islam untuk memperkuat identitas mereka. Walaupun begitu, dalam hal partai dan organisasi Islam ini, harus pula dicatat bahwa buruknya catatan prestasi partai dan ormas Islam di masa lalu pasti jadi penilaian penting kalangan responden "santri". Jelas, tak ada yang salah dengan menjadi "Islam untuk pribadi" tadi. Ada banyak hikmah berupa pergulatan pemikiran yang muncul dari sana. Para profesional kini mendirikan "klub-klub pengajian" dengan gayanya sendiri, tidak mengikuti gaya "sorogan" di pesantren atau di majelis taklim, misalnya (lihat Pejabat dan Bule pun Ikut Mengaji). Dalam hal busana pun banyak wanita Islam yang merasa bebas saja mengenakan "jilbab ala milenium"—yang mungkin bagi kalangan lain tak sesuai dengan ajaran agama (lihat Jilbab di Milenium Baru). Sepintas, hasil penelitian IAIN Jakarta ini menunjukkan potret penganut Islam yang lebih baik ketimbang kaum abangan versi Geertz—mereka yang suka membakar kemenyan atau memberi sesajen pada makhluk gaib. Tapi, sesungguhnya, penelitian ini belum menjelaskan kaitan antara pemahaman Islam yang makin baik dan apa yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, bagaimana bisa di negeri yang mayoritas rakyat dan pemimpinnya santri ini tingkat korupsi—perbuatan yang dilaknat Islam—nyaris yang tertinggi di dunia. Bagaimana pula dengan pemakaian narkoba—dengan korban mayoritas kalangan Islam—yang mungkin salah satu tertinggi di dunia? Persoalannya mungkin klasik: ada perbedaan yang jelas di kalangan umat Islam antara "pemahaman" dan "pelaksanaan". Bina Bektiati, Dwijo Maksum (Ngawi), Adi Mawardi (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus