Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tenabang, Berubah dan Berebut

Ada masa keemasan di tengah krisis. Dari primadona ekspor ke target pemasaran.

18 Juli 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN pemandangan aneh jika di lorong-lorong sempit Pasar Tanah Abang mudah ditemukan pembeli borongan dari berbagai negeri Afrika. Sebagian besar di antaranya fasih berbahasa Indonesia. Ketika ekonomi dilanda krisis, 1998, jumlah mereka justru membludak.

"Anjloknya rupiah terhadap dolar Amerika ketika itu justru mendongkrak daya beli buyer asing," kata Hasan Basri, pedagang di Pasar Tanah Abang. Itulah masa keemasan pedagang Tanah Abang. Ketika itu, omzet seorang pedagang bisa mencapai Rp 10 juta-Rp 20 juta sehari.

Jika lagi mujur bertemu pemborong asing, bahkan barang satu toko bisa ludes sekali pesan. Nilainya bisa mencapai Rp 100-an juta. Wajar bila banyak orang ketika itu memperkirakan uang yang diputar sekitar 7.000 pedagang di pasar ini mencapai lebih dari Rp 100 miliar sehari. Angka yang fantastis untuk sebuah pasar tradisional.

Karena itu, Tanah Abang memberi kontribusi pendapatan terbesar bagi pengelolanya, PD Pasar Jaya. "Betul, tapi saya tidak bisa menyebut angkanya," kata Asisten Manajer Humas PD Pasar Jaya, Nurman Adhi.

Pasar yang berdiri di areal 2,2 hektare ini juga paling banyak pedagangnya. Pasar Glodok, yang juga dikenal sebagai pasar besar di Jakarta, cuma dihuni 1.200-an pedagang. Namun, sejak produk tekstil Cina berkibar pada 2003, banyak langganan asing Pasar Tanah Abang berubah haluan.

Sejak itu, hanya pedagang yang punya jaringan ke Cina yang menangguk untung besar. Pedagang yang selama ini mengandalkan pemasok tekstil konvensional, seperti dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, harus berusaha ekstrakeras mencari pelanggan.

Setelah Pasar Tanah Abang Blok A terbakar, Februari 2003, keadaan makin runyam. Rencana pemugaran Blok B, C, D, dan E kemudian seperti menggenapi kesusahan. "Sejak itu, kami merasakan konsumen semakin berkurang," kata Hasan, yang ditemui pekan lalu.

Tapi, anehnya, kata Hasan, jumlah pedagang justru bertambah. Apalagi setelah muncul gedung perbelanjaan baru, Metro Tanah Abang, dan rampungnya pembangunan gedung Tanah Abang Blok A. "Saya perkirakan sekarang ada sekitar sepuluh ribu pedagang di sini," kata Hasan.

Penambahan ini tentu karena kehadiran pedagang baru, seperti diperkirakan Tirta Setiawan, Ketua Asosiasi Real Estat Broker Indonesia. Mereka tertarik mengadu nasib di pasar itu, yang masih memiliki daya pikat sebagai pusat grosir tekstil terbesar di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.

"Konsumen, terutama segmen pasar grosir, masih banyak yang ke Tanah Abang karena harganya lebih murah," kata Tirta. Karena itu, ia memperkirakan kios-kios baru di pasar ini masih diminati pedagang.

Manajer Pemasaran dan Promosi PT Priamanaya, Robby Budiansyah, mengatakan perusahaannya telah menjual sekitar 75-80 persen dari 8.000 kios di Blok A. Bahkan saat ini sekitar 300 pedagang sudah mulai berjualan. "Setiap hari kami masih membukukan penjualan kios," katanya.

Sayangnya, Robby menolak bicara soal harga kios. Namun, menurut Hasan Basri, di blok baru itu ada kios berukuran 2 x 2 meter yang bisa laku Rp 400 juta-Rp 600 juta. Karena itu, ia yakin pembeli kios itu adalah pendatang baru yang bukan hanya orang Jakarta, melainkan juga pendatang dari Medan dan Surabaya.

Ada juga yang memperkirakan pendatang itu dari Singapura dan Hong Kong. "Mereka biasanya memiliki jaringan pemasok tekstil dari Cina," kata Hasan. Keadaan ini, katanya, sekaligus mengubah peta perdagangan para pelaku usaha di Tanah Abang.

Sementara sebelumnya tekstil yang diperdagangkan di pasar ini menjadi primadona ekspor, kini justru dikepung tekstil impor. "Artinya, saat ini kita malah jadi target pasar," kata Hasan. Menurut penelusurannya, sekitar 70 persen blue jeans wanita dan anak-anak di pasar ini dikuasai produk Cina.

Pasar Tanah Abang, yang dibangun Justinus Vinck, pengusaha kaya asal Belanda, memang berubah wajah. Sejak berdiri pada 1733, pasar ini sudah disinggahi para saudagar antarbangsa dan mengalami pertumbuhan pesat, terutama setelah kemerdekaan. Orang menyebutnya Tenabang, bagian dari landmark Ibu Kota yang tak cuma dibanggakan, tapi juga diperebutkan. Dan dalam perebutan, yang kuatlah yang selalu menang.

Taufik Kamil

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus