BANK Bumi Daya (BBD) kembali mengalami masa-masa yang berat. Sejak Tim Pengendalian Kredit Luar Negeri (PKLN) membatalkan banyak megaproyek akhir Oktober 1991 -- tak terkecuali proyek olefin Chandra Asri yang bernilai US$ 1,6 milyar -- BBD sebagai pemasok dana untuk Chandra Asri seperti kecipratan bencana. Kredit bagi proyek olefin milik Prajogo Pangestu ini ternyata lumayan besar. Dan proyek olefin itu sedang diproses menjadi proyek penanaman modal asing (PMA), namun negosiasi tentang itu belum juga tuntas. Tidak mudah, memang. Sementara itu, BBD tentu harus berusaha keras agar bisa memenuhi ketentuan CAR (capital adequacy ratio) 5%, yang jatuh tempo Maret ini. Situasi menjadi lebih rumit karena selain CAR 5% belum akan terpenuhi, sekitar dua pekan silam direksi BBD menerima surat peringatan dari Gubernur Bank Indonesia, Adrianus Mooy. Surat itu tertanggal 14 Februari 1992. Pada intinya, surat yang pendek itu berisi tiga hal, seluruhnya menyangkut PT Chandra Asri Petrochemical Center. Pertama, atas nama Ketua Tim PKLN (Radius Prawiro), Mooy meminta agar BBD melepaskan diri sepenuhnya dari proyek itu. Kedua, L/C yang telah dibuka agar dibatalkan atau dioper oleh Chandra Asri (dengan pembiayaan bank-bank lain). Dan ketiga, kredit dari BBD yang sudah telanjur cair untuk Chandra Asri agar diusahakan juga untuk dialihkan kepada pemegang saham asing. Kalimat penutupnya berbunyi, "Dengan demikian apabila proyek ini diteruskan akan berbentuk proyek swasta murni." Surat dari Bank Indonesia yang ditandatangani Adrianus Mooy selaku Gubernur BI ini jelas mengisyaratkan bahwa BBD harus secepatnya hengkang dari proyek yang terkena penjadwalan oleh Tim PKLN itu. Mungkin juga pihak otoritas moneter sekadar memanfaatkan momentum, karena mengetahui bahwa proyek olefin Chandra Asri kini sedang dalam proses perubahan status menjadi PMA. Memang, inilah satu-satunya jalan agar proyek yang kabarnya sudah telanjur menyedot uang sepertiga dari nilai proyek yang semula US$ 2,2 milyar itu tidak tiba-tiba lumpuh gara-gara pembatasan Tim PKLN. Belakangan, nilai investasi setinggi itu diciutkan menjadi US$ 1,8 milyar. Atau bahkan US$ 1,6 milyar. Seperti diketahui, Tim PKLN yang diketuai Menko Ekuin Radius Prawiro ini sengaja dibentuk Pemerintah untuk mengatasi beban ekonomi nasional akibat tekanan atas neraca pembayaran yang diperkirakan akan semakin berat, jika puluhan megaproyek diluncurkan. Apalagi sebagian proyek besar itu merupakan proyek BUMN yang memanfaatkan pinjaman luar negeri. Memang, olefin milik Prajogo bukanlah proyek BUMN, tapi mengandalkan kucuran dana dari BBD yang notabene adalah bank pemerintah. Konsekuensi pendanaan semacam itu adalah, ketika proyek belum memetik untung, devisa kita sudah harus lebih dulu tersedot untuk mencicil bunga dan pinjaman. Bila ternyata pemilik proyek kekurangan devisa, BI lazimnya akan turun tangan. Tengah tahun 1991, misalnya, cadangan devisa sudah terpakai US$ 263 juta untuk ikut menutup devisit transaksi berjalan yang jumlahnya US$ 3,7 milyar. Bila berbagai proyek raksasa disetujui, dan selama lima atau enam tahun pertama belum produktif, neraca pembayaran kita akan memikul beban di luar batas kemampuannya. Defisit transaksi berjalan bisa melonjak jadi US$ 7 milyar pada tahun fiskal yang sedang berjalan. Tak heran kalau banyak pengamat menyambut gembira keputusan Pemerintah yang menunda sebagian besar megaproyek tersebut. Namun, dalam kaitannya dengan masalah Chandra Asri, penundaan itu agak terlambat. BBD sudah sempat mengucurkan dana. Untuk menarik diri begitu saja, tentu tidak mungkin. Banyak hal harus dibereskan lebih dulu. Jika Gubernur BI sampai mengirimkan surat peringatan yang mengatasnamakan Ketua Tim PKLN tersebut, mungkin karena masalahnya dinilai cukup serius dan mendesak. Soalnya, sebelum surat pendek itu muncul, BI pada 24 Desember 1991 juga sudah memberi tahu BBD perihal pinjaman luar negeri untuk Chandra Asri. Di situ dijelaskan, plafon PKLN bagi bank pemerintah dan bank swasta (serta LKBB) untuk 1991/1992 telah terlampaui. Ini berarti, pinjaman baru tak mungkin diberikan lagi. Tim PKLN juga sudah mengalokasikan plafon untuk BUMN/proyek tahun 1991/1992 sampai 1994/1995 dan menunda pembangunan proyek olefin Chandra Asri. Proyek yang terletak di Anyer, Jawa Barat, itu peletakan batu pertamanya dilakukan Maret 1991, dengan target mulai berproduksi akhir 1993. Semula hendak didukung oleh sindikasi bank pemerintah yang dipimpin BBD dengan anggota BDN, BRI, dan BTN. Karena kesulitan dana, setelah kredit likuiditas BI ditarik dan deposito semua BUMN dikonversikan ke SBI, tiga bank anggota sindikasi mengundurkan diri. Tinggal BBD yang masih tercantol ke proyek olefin milik Prajogo itu. "Kami tidak mengundurkan diri, karena Prajogo Pangestu dibesarkan di BBD," ujar salah seorang direktur bank tersebut. Kredit yang disediakan oleh bank BUMN itu jumlahnya US$ 270 juta. Paling tidak, begitulah menurut sumber di BI. Menurut sebuah sumber TEMPO, beban bunga yang dikenakan pada Chandra Asri adalah 3% di atas LIBOR (London interbank offered rate). Lebih mahal memang, karena dana dari BBD tersebut merupakan pinjaman dari pasar uang internasional. Kabarnya lagi, kredit yang diberikan oleh BBD sudah 80% terpakai oleh Chandra Asri. Andaikata hal itu benar, memang BBD berada dalam posisi yang sulit. Apalagi setelah surat peringatan dari Adrianus Mooy dilayangkan kepada Direktur Utama BBD, Surasa. Ketika TEMPO mengungkitungkit soal itu, Surasa berusaha menghindar. Namun, dalam suasana santai Jumat pekan silam, di lapangan golf Ancol, ia masih bersedia menanggapi pertanyaan Iwan Qodar dari TEMPO, kendati dengan setengah hati. "Kami sekarang sedang berunding untuk mencari jalan bagaimana mengatasi pinjaman yang sudah disalurkan BBD ke Chandra Asri," Surasa mengungkapkan tanpa menyebutkan jumlahnya yang persis. Katanya ia tak hafal. Sementara urusan kredit belum jelas, muncul pula masalah yang lebih pelik, menyangkut L/C (letter of credit) dari BBD untuk para pemasok barang modal proyek itu. L/C itu bersifat irrevocable (tak bisa dibatalkan) dan akan langsung menjadi kredit BBD kepada Chandra Asri, begitu barang perlengkapan yang dipesan tiba (at sight) di lokasi proyek. Jika L/C itu dibatalkan, reputasi bank di Indonesia jatuh. Jelas pilihan yang sulit bagi BBD, apalagi bank ini sudah diminta mundur oleh BI. BBD akan bisa lepas dari situasi terpojok itu jika L/C tetap dibuka dan kemudian pihak Chandra Asri mengoperkannya (menjual kredit) kepada bank asing yang mendukung olefin. Jalan keluar yang sama juga sudah ditawarkan oleh BI. Bank asing pilihan utama tampaknya Fuji Bank, Tokyo, salah satu andalan Marubeni -- swasta asing yang menurut Surasa berperan di Chandra Asri. Investor asing lainnya yang sudah menyatakan minat untuk ambil bagian adalah Neste (dari Finlandia) dan Showa Denko K.K. Sumber TEMPO memastikan akhir pekan lalu, proyek olefin akan tetap terus diluncurkan, hanya kini masih dalam tahap berunding dengan investor asing. Kongsi Prajogo Pangestu dan Henry Pribadi, dua investor lokal yang sudah menanamkan modalnya sebanyak US$ 450 juta di sana, tentu akan gigih dalam tawar-menawar yang menyangkut persentase kepemilikan. Di pihak BBD, posisi Prajogo dalam tawar-menawar itu tentu sangat penting. Mohamad Cholid, Max Wangkar, Liston P. Siregar, dan Bambang Aji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini