KETIKA PT Mekatama Raya mulai mengumpulkan iuran televisi setahun lalu, target Rp 180 milyar dianggap wajar saja. Dengan perkiraan ada 12 juta pesawat televisi di seluruh Indonesia, target itu serasa sudah di tangan. Ternyata, PT Mekatama Raya dan lima koordinator wilayah (korwil) yang ditunjuknya sama-sama mengaku rugi. Kedua pihak sudah menghabiskan milyaran rupiah dan buntutnya malah saling menyalahkan. Jika sengketa itu mau dibongkar habis, kedua pihak tampaknya membawa cacat masing-masing. Mekatama memang dengan mudah menilai lima korwil itu tak becus, dan serta-merta kontrak kerja sama diputus. Lalu Mekatama meminta BBD, Lippo, Danamon, BII, serta Kantor Pos dan Giro untuk berfungsi sebagai tempat penyetoran iuran televisi sementara. Terakhir, entah bagaimana, tarif iuran televisi dinaikkan dua kali lipat. Berarti, risiko Mekatama untuk merugi bisa ditekan. Tapi buat kelima korwil, sengketa itu tidak selesai begitu saja. Kamis pekan lalu, sehari setelah dengar pendapat Komisi I DPRRI dengan PT Mekatama Raya, kelima korwil mengadakan konperensi pers di hotel berbintang di Jakarta. Bagi mereka, biarpun kontrak putus, itu tidak menghapus jabatan korwil. Alasannya, mereka bukan diangkat oleh Mekatama tapi oleh Badan Pelaksana Eksekutif Yayasan TVRI. "Hubungan korwil dengan Mekatama akan berkepanjangan jika tidak dituntaskan," kata bekas kepala Korwil II DKI, Naldi Nazar. Di situ ia mengimbau pemerintah ikut menyelesaikan masalah. Yang dikemukakan Naldi adalah bahwa seluruh korwil sudah membayar iuran Rp 57 milyar dan bank garansi Rp 58 milyar kepada Mekatama. Korwil II DKI yang dipimpinnya menetapkan target Rp 3,5 milyar tiap bulan tetapi ia baru melunasi untuk dua bulan. Sedangkan target untuk lima korwil Rp 180 milyar setahun. Kalau target tidak tercapai, kata Naldi, sumbernya adalah PT Mekatama sendiri. Ketika korwil mulai bekerja Februari 1991, banyak pemilik televisi yang sudah membayar iuran tahun 1991 ke Kantor Pos & Giro. Iuran di Kantor Pos yang ditarik PT Mekatama tidak seluruhnya diserahkan ke korwil. Naldi juga menuduh Mekatama lambat menyalurkan Bukti Iuran Televisi (BIT). Bahkan terjadi macet total dalam penyaluran BIT Agustus dan September 1991. Para korwil sempat bingung karena tiba-tiba Mekatama menggunakan BIT baru dan menolak menguangkan BIT lama. Sebaliknya Kris Nata dari Mekatama menegaskan, pihaknya terpaksa mengganti BIT karena pihak korwil tidak pernah lagi menyetorkan uang. Namun, harapan Naldi dkk. meraup laba sudah pupus, padahal korwil-korwil sudah menanamkan Rp 35 milyar untuk peralatan dan seragam 22.000 kolektor. "Jaringan kolektor akan dipakai lagi, tapi korwilnya tidak," kata Kris Nata, juru bicara Mekatama. Selama ini korwil dianggap tidak dapat mengawasi kolektor sehingga terjadi kecurangan. Banyak kolektor yang tidak menggunakan BIT sebagai bukti tanda pembayaran. "Bank garansi mereka ternyata tidak bisa diuangkan," kata Direktur Keuangan PT Mekatama Tjandra B. Ditambahkannya, iuran terkumpul dari Kantor Pos sebesar Rp 19,78 milyar sudah diserahkan kepada korwil. Namun, kelima korwil tetap tidak mampu memenuhi kewajibannya. Sampai hubungan diputuskan, kelima korwil masih berutang Rp 50 milyar. PT Mekatama kini jera. Di tiap daerah, mereka akan terlibat langsung dalam perusahaan yang ditunjuk dengan kerja sama 50% : 50%. Agar lebih efektif, Mekatama mengiming-imingi pembayaran lewat bank dan Kantor Pos dengan hadiah total Rp 1 milyar. Liston P. Siregar dan Gabriel Sugrahetty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini