Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terbit Rencana Perangin Angin Bebas, Hak Korban TPPO Terabaikan

Ketua PBHI, Julius Ibrani mengatakan, dengan diputusnya bebas Terbit Rencana Perangin Angin. Hal itu menunjukkan sistem peradilan di Indonesia hanya berfokus pada eksekutor dan abai dengan otak pelaku, khussnya bagi mereka yang memiliki kuasa. Sebab empat orang lainnya divonis bersalah.

14 Juli 2024 | 09.27 WIB

Majelis hakim PN Stabat yang diketuai Andriansyah menjatuhkan vonis bebas kepada bekas Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin karena tidak terbukti melakukan TPPO. Foto: Istimewa
Perbesar
Majelis hakim PN Stabat yang diketuai Andriansyah menjatuhkan vonis bebas kepada bekas Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin karena tidak terbukti melakukan TPPO. Foto: Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Vonis bebas terhadap mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin, menuai banyak kritik. Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menilai, putusan itu menunjukkan lemahnya sistem peradilan dalam menangkap pelaku intelektual. "Berbanding terbalik dengan Terbit yang dibebaskan, 4 eksekutor kasus Langkat dijatuhi hukuman 1 tahun 7 bulan penjara pada 30 November 2022," ujar julius

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam putusan  mejelis hakim pengadilan Negeri Stabat, 8 Juli 2024, Terbit dinyatakan tidak terbukti bersalah terkait kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) atas kepemilikan kerangkeng manusia di rumahnya dengan dalih tempat rehabilitasi pecandu narkoba. Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum menuntutnya dengan hukuman 14 tahun penjara dan restitusi sebesar Rp 2,3 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Julius mengklaim, putusan bebas Terbit telah melanggar hak korban. Sebab korban tidak bisa mendapat hak atas restitusi selaku korban TPPO. Karena empat eksekutor yang sudah dijatuhi hukuman tidak dituntut hak restitusi dan tidak ada harta kekayaan pelaku yang bisa disita. 

Menurutnya, pola penanganan kasus TPPO di Indonesia selalu sama, hanya berfokus pada eksekutor. Sebagai informasi, kasus kerangkeng di kediaman Terbit terungkap setelah operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 9 Januari 2022.  

Ia mengatakan, berdasarkan laporan Komnas HAM sebelumnya, ada 57 korban di kasus kerangkeng itu. Dan  investigasi yang dilakukan oleh Tim Advokasi Penegakan Hak Asasi Manusia (TAP-HAM), yang terdiri atas PBHI, KontraS, dan KontraS Sumatera Utara, mengungkap, para korban berasal dari keluarga miskin yang hak-haknya tidak terpenuhi. "Selama dalam kerangkeng, korban mengalami penyiksaan, penganiayaan, kerja paksa tanpa upah, dan kekerasan seksual jika tidak menuruti perintah," ujar Julius. 

Kasus terbit juga diduga melibatkan anggota TNI-Polri, Aparatur Sipil Negara dan organisasi masyarakat. Dengan temuan itu, ia pun mendorong agar ke depan kasus TPPO  yang dilakukan secara terorganisir  yang melibatkan aktor sipil serta aktor negara  disamakan dengan terorisme. "Dipersamakan dengan korban terorisme dan pelanggaran HAM berat yang mendapatkan jaminan pemulihan korban melalui mekanisme kompensasi," ujar dia.

Jihan Ristiyanti

Jihan Ristiyanti

Lulusan Universitas Islam Negeri Surabaya pada 2020 , mulai bergabung dengan Tempo pada 2022. Kini meliput isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus