Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perlukah Indonesia memiliki pesawat kepresidenan khusus? (05–12 Juli 2006) | ||
Ya | ||
7,92% | 285 | |
Tidak | ||
91,60% | 3.270 | |
Tidak tahu | ||
0,42% | 15 | |
Total | 100% | 3.570 |
Waswas lantaran retaknya kaca pesawat khusus kepresidenan yang mengangkut Wakil Presiden Jusuf Kalla, pemerintah akhirnya berencana mengganti pesawat tersebut. Kalla mengatakan pengganti-an bukan untuk memperoleh kemewah-an, melainkan demi keamanan. Ia tak men-jelaskan apakah pesawat pengganti akan diperoleh dengan cara menyewa atau membeli baru.
Menurut Menteri Perhubungan Hatta Radjasa, pemerintah dan Garuda masih melakukan tawar-menawar harga penyewaan pesawat. Ada kemungkinan Garuda akan menyediakan pesawat Boeing 737-500 yang kapasitas penumpangnya di bawah 100 orang. ”Garuda seri 500 tidak begitu ideal untuk angkutan komersial,” kata Hatta.
Saat ini pemerintah memiliki empat pesawat yang biasa digunakan untuk wira-wiri presiden dan wakil presiden. Dari keempat pesawat itu, satu adalah RG-85 milik maskapai Pelita Air, dua unit Fokker 28, dan satu Boeing 737-200 yang dioperasikan TNI Angkatan Udara. Usia pesawat tersebut rata-rata 20–30 tahun.
Beberapa waktu sebelumnya, Hatta meng-usulkan agar model sewa pesawat kepresidenan kepada Garuda dilakukan secara penuh. Dengan model ini, nantinya pesawat tersebut digunakan khusus ha-nya untuk melayani kegiat-an kepresidenan. Namun, ang-gota DPR Komisi- BUMN, Alvin Lie dari Partai Amanat Nasional, menilai usulan itu hanya akal-akalan. Sewa penuh itu, menurut dia, tidak ekonomis. Nilai keekonomisan pesawat adalah jika dipakai terbang 200 jam. Di bawah angka itu, artinya tidak ekonomis.
Hasil jajak pendapat Tempo Interaktif menunjukkan mayoritas responden menilai Indonesia tidak perlu memiliki pesawat khusus kepresidenan. Hermawan Adi Nugroho, seorang responden di Jakarta, termasuk yang menolak ide tersebut. ”Kalau hanya untuk terbang di wilayah Indonesia, mending pakai maskapai yang sudah ada, toh mereka juga menjanjikan pelayanan yang baik,” ujarnya.
Adapun Nina di Bandung berpendapat sebaliknya. Dilihat dari penggunaan dan biayanya secara jangka panjang, ia menilai perlu ada pesawat kepresidenan khusus. Ia mengusulkan pula memakai pesawat buat-an dalam negeri, seperti CN 235. ”Itu bisa berhemat,” ujarnya.
Indikator Pekan Ini: Sepuluh fraksi di DPR secara bulat mengesahkan Undang-Undang Peme-rin-tahan Aceh yang ter-diri atas 40 bab dan 273 pa-sal. ”Ini momentum agar m-asyarakat Aceh bisa memulai pembangunan dan melupakan masa lalu,” kata Ketua DPR Agung Laksono. Undang-Undang Peme-rintahan Aceh merupa-kan pelaksanaan nota ke-se-pahaman Helsinki yang diteken pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka demi menyelesaikan konflik panjang di Aceh. Undang-undang itu juga akan menjadi payung hukum pemilihan kepala daerah Aceh 2006. Kendati setuju, Fraksi PDI Perjuangan menyampaikan catatan. Mereka mempertanyakan apakah pengesahan itu tidak membuka peluang runtuhnya negara ke-satuan RI. Fraksi ini juga mempertanyakan apakah undang-undang itu bisa memberi keadilan bagi masyarakat Aceh. Yakinkah Anda, Undang-Undang Pe-merintahan Aceh yang baru disahkan dapat memberikan keadilan bagi masyarakat Aceh? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo