Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Trik Bakrie Lolos dari Impitan

Sejumlah strategi ditempuh Grup Bakrie untuk membebaskan Energi Mega Persada dari jeratan lumpur Lapindo. Jika gagal, Bakrie bisa habis.

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelompok Usaha Bakrie tengah menghadapi ujian kedua. Sembilan tahun lalu, ketika krisis moneter menghantam Indonesia, keluarga Bakrie kehilangan banyak perusahaan, dan sahamnya di Bakrie & Brothers tinggal 2,5 persen. Kini, setelah sukses membeli kembali sebagian sahamnya, Bakrie malah tercebur ke lumpur panas di areal konsesi gasnya di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Krisis ini berawal ketika lumpur panas menyembur tak jauh dari sumur Banjar Panji 1 di lahan konsesi gas milik Lapindo Brantas Inc.—anak perusahaan Energi Mega Persada dari kelompok usaha Bakrie—pada akhir Mei lalu. Sampai kini semburan lumpur itu belum bisa dihentikan. Dan agaknya Energi Mega harus menghadapi masalah yang sepertinya tak berujung.

Padahal Energi Mega kini menjadi salah satu tiang utama Grup Bakrie, selain Bumi Resources dan Bakrie & Brothers. Tahun ini Energi Mega ditargetkan bisa meraih penjualan Rp 2,2 triliun dan mengeduk laba bersih Rp 323 miliar. Tahun depan perusahaan ini bahkan memproyeksikan penjualannya naik lebih dari dua kali lipat menjadi Rp 4,75 triliun.

Akibat kasus lumpur ini, diperkirakan kinerja Energi Mega bakal tak sesuai dengan target. Saham Energi Mega juga ambrol dari Rp 930 per lembar pada 24 Maret lalu menjadi tinggal Rp 510 pada 23 November. Bahkan krisis ini telah menyeret turun saham Grup Bakrie yang lain 5 hingga 45 persen.

Karena itu Bakrie kemudian memutuskan untuk mengangkat borok yang melekat di tubuh Energi Mega: Lapindo harus dijual. Energi Mega memegang saham Lapindo melalui Kalila Energi Ltd. (84,24 persen) dan Pan Asia Energi Ltd. (15,76 persen).

Semula, perusahaan terafiliasi, Lyte Limited, yang berbasis di Kepulauan Jersey, Inggris, jadi pilihan. Sedianya, Lapindo hendak dilego US$ 2 pada September lalu. Tapi, eksekusi belum dilaksanakan, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) keburu menyemprit. Menurut Bapepam, transaksi itu terbentur pada konflik kepentingan. Bapepam juga belum mendapat kepastian siapa yang akan bertanggung jawab atas lumpur Lapindo.

Tak kurang akal, Bakrie melirik kawan seiring, James Belcher, pemilik Freehold Group Limited yang berkedudukan di British Virgin Islands. Kali ini Bakrie lebih berhati-hati. Legal opinion dari kantor hukum independen juga disiapkan. Hasilnya, pada 14 November lalu, Energi Mega menjual Lapindo ke Freehold US$ 1 juta atau Rp 9,1 miliar.

Kendati tidak melapor ke Bapepam, Energi Mega berkeyakinan bahwa transaksi ini memenuhi aturan pasar modal. Sebab, Freehold dimiliki oleh Alsace Pte. Ltd., perusahaan yang didirikan dan tunduk pada hukum Singapura. Perusahaan ini tidak ada konflik kepentingan dengan Grup Bakrie. ”Transaksi ini juga su-dah mendapat opini dari HHP (Hadipu-tranto, Hadinoto and Partners),” ujar Direktur Energi Mega, Thomas L. Souslby, dalam laporan keterbukaannya.

Namun langkah baru Grup Bakrie ini tetap saja menimbulkan kecurigaan banyak pihak. Apalagi setelah diketahui bahwa orang penting di balik Freehold adalah James Belcher, rekan bisnis Aburizal Bakrie dan pernah menjadi pemegang saham di Bakrie Sumatra Plantation. ”Saya sudah mengenal keluarga Bakrie sejak 25 tahun lalu,” ujar Belcher, seperti dikutip Financial Times edisi 21 November.

Kedekatan pengusaha Amerika Serikat yang pernah menjadi Anggota Dewan Komite Dagang Indonesia-Amerika lagi-lagi menimbulkan pertanyaan. Pengalihan kepada Freehold dinilai sebagai upaya keluarga Bakrie untuk menghindar dari tanggung jawab atas lumpur Lapindo. Apalagi Belcher tidak memiliki latar belakang perminyakan.

Bapepam sepertinya juga tak mau kecolongan. Lembaga ini perlu memastikan siapa Freehold sebenarnya, berapa duit yang dimilikinya, dan siapa yang bertanggung jawab setelah Lapindo dijual. ”Kami juga ingin tahu mengapa Minarak Labuan Co. Ltd. tiba-tiba membantu duit. Memangnya Minarak yang bikin salah?” ujar Ketua Bapepam Fuad Rahmany balik bertanya.

Tentu saja pengendali Grup Bakrie, Nirwan Dermawan Bakrie, menyangkalnya. ”Kami tetap akan bertanggung jawab,” katanya. Bakrie menjual Lapindo ke Freehold minus kewajibannya—termasuk menanggung seluruh biaya penanganan semburan lumpur. Tugas Freehold hanya mengembangkan ladang minyak dan gas milik Bakrie di sana. Kewajibannya sendiri sementara ini diambil alih anak perusahaan Bakrie, Minarak Labuan.

Transaksi ini terang terbilang aneh. Pada umumnya, penjualan perusahaan meliputi aset sekaligus kewajibannya. Apalagi kewajiban Lapindo di Sidoarjo tak bisa dibilang kecil. Tim nasional penanggulangan luapan lumpur panas Lapindo memperkirakan, ongkos untuk menyetop semburan itu bisa mencapai US$ 170 juta (hampir Rp 1,6 triliun). Tapi, bisa jadi karena itu pula Freehold bersedia membeli Lapindo.

Belum lagi urusan itu beres, Bakrie juga menghadapi ”serangan” dari mitranya sendiri, Medco Energi. Perusahaan milik Arifin Panigoro ini berniat mengajukan Lapindo ke arbitrase internasional. Sumber Tempo mengungkapkan, Medco menilai telah terjadi kelalaian dalam pengoperasian ladang gas di Sidoarjo yang membuat lumpur yang menyembur, bukan gas. Itu terjadi karena Lapindo lalai memasang pengaman (casing).

Tapi bukan Bakrie jika tak pandai bersiasat. Pekan lalu, menurut sumber Tempo, salah satu anggota keluarga Bakrie menemui manajemen Medco untuk mengajak damai. Hasilnya, Medco menarik gugatannya. Kabarnya, penyertaan Medco 32 persen di Blok Brantas akan dibeli oleh keluarga Bakrie. ”Kami memang akan mencari solusi terbaik di luar pengadilan,” ujar Presiden Direktur Medco Energi, Hilmi Panigoro, pekan lalu.

Tak hanya di dalam negeri Bakrie berbenah mengatasi bencana lumpur ini. Di Singapura, keluarga Bakrie juga menjual sahamnya di Federal International, perusahaan minyak yang terdaftar di bursa Singapura. Bersama Nancy Latief (istri Rennier Latief, komisaris Energi Mega Persada), Syailendra Bakrie (anak tertua Indra Bakrie) adalah pemegang saham terbesar di Federal. Keduanya menguasai 26 persen saham pada Februari lalu.

Federal adalah induk dari Alton International Singapura, yang pada Oktober 2004 bersama PT Medici Citra Nusa membentuk Alton International Indonesia. Alton inilah yang terpilih menjadi kontraktor pengeboran di lima sumur Blok Brantas, termasuk sumur Banjar Panji 1 yang dituding menjadi biang semburan lumpur panas. Setelah kejadian itu, keduanya menjual sahamnya pada Juni dan Juli 2006. Saat ini Syailendra tak lagi punya saham, sedangkan saham Nancy tersisa 4,45 persen.

Penjualan ini diduga untuk menghindar agar tidak ikut terseret kasus Lapindo. Namun Nirwan D. Bakrie membantah semua dugaan dan kekhawatiran itu. Menurut dia, kepemilikan saham anggota keluarga Bakrie di Federal adalah suatu kewajaran. Meski tak ada hubungan khusus, Federal bisa saja bekerja sama dengan PT Medici Citra Nusa. ”Tapi saya tidak tahu persis bagaimana hubungannya,” kata Nirwan.

Dengan berbagai langkah itu, keluarga Bakrie tampaknya hendak membereskan krisis kedua ini secepat-cepatnya. Nirwan mengakui, krisis kedua ini tak seberat yang pertama. Pada 1997, Bakrie kehilangan banyak perusahaan. Bahkan di salah satu maskot Bakrie, Bakrie & Brothers, saham keluarga tinggal 2,5 persen setelah restrukturisasi pada 2001. Namun kini keluarga Bakrie sudah membeli balik sahamnya di perusahaan itu, dan kini jumlahnya sudah di atas 30 persen.

Kendati demikian, tak berarti Bakrie bisa lolos dari krisis ini begitu saja. Menurut seorang pengusaha minyak, jika Lapindo tidak diamputasi, Energi Mega akan terus terbebani dan menyeret citra Grup Bakrie secara keseluruhan. Apalagi jika semua biaya bencana dibebankan kepada Energi Mega, cepat atau lambat Grup Bakrie akan ikut lenyap. Karena itulah, Nirwan bertekad meneruskan penjualan Lapindo, karena waktu mengejar terus.

Heri Susanto, Yandhrie Arvian, Budi Riza, Ferry Firmansyah, Marlina

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus