Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hadi Puspita namanya. Dokter yang gandrung musik rock progresif. Raungan gitar Allan Hollsworth, lengkingan vokal Steve Hackett, sanggup membuat dia kesetrum. ”Musik mereka hebat. Bisa bikin nggeblak, he-he-he…,” kata lelaki 48 tahun ini.
Progresif, bagi Hadi, bukan hanya urusan musik. Dia menyerap semangat rocker yang bekerja habis-habisan demi menghasilkan karya terbaik. ”Saya terinspirasi para rocker itu,” katanya. Puskesmas Kecamatan Kepanjen, Malang, Jawa Timur, adalah panggungnya.
Mari kita lihat aksi sang dokter.
Suatu pagi pekan lalu, reporter Tempo ikut berdesakan dalam ambulans milik puskesmas Kepanjen. Mobil ini ditumpangi Hadi bersama drg Naniek Erniwati, dua paramedis, dan tiga staf pus-kesmas. ”Hari ini kami akan melakukan skrining kesehatan sekolah,” kata Hadi.
Sekolah Dasar Negeri Sukoraharjo III Kepanjen menjadi tujuan. Begitu rombongan datang, sebuah ruang kelas segera disulap menjadi puskesmas mini. Srat-sret...., meja digeser, bangku dijajar. Semuanya siap. Murid kelas 1, ada 37 anak, menanti giliran diperiksa. Hadi memeriksa kesehatan secara umum, lalu Naniek Erniwati memeriksa gigi, disambung dengan dua paramedis yang mengetes penglihatan mata dan telinga anak-anak.
Di ruangan lain, staf puskesmas memberikan kursus kilat kepada murid-murid yang menjadi ”pasukan dokter kecil”. Bocah-bocah imut ini takzim mendengar ulasan tentang oralit, pentingnya cuci tangan, juga cara memberikan pertolongan pertama pada kawan yang sakit.
Lalu, seusai memberikan kursus kepada dokter kecil, staf puskesmas berkeliling sampai radius 500 meter dari sekolah. Mereka memeriksa kebersihan toilet, mengecek ketersediaan air bersih, juga mendatangi warung jajanan anak sekolah. ”Pemilik warung diberi pengertian agar tidak menjual jajanan yang tak berkalori, tidak menggunakan bahan pengawet dan bahan pewarna,” tutur Suhartatik, staf puskesmas Kepanjen.
Skrining kesehatan adalah satu dari rangkaian Program Surveilans Epidemiologi Terpadu, sebuah program berbasis masyarakat dan sekolah yang dirancang dr Hadi Puspita sejak 2004.
Total, ada 57 sekolah dasar yang menjadi fokus skrining kesehatan di Kepanjen. Tim Hadi memusatkan perhatian pada murid kelas 1 SD yang semuanya ada 1.700 anak. ”Nggak kuat kalau kita diminta melayani semua murid,” kata dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar ini.
Melalui program ini, Hadi bertekad terus mengikuti riwayat kesehatan murid kelas 1 secara rutin sampai mereka tamat SD. Dengan demikian, kelak akan didapatkan sebuah potret tumbuh kembang anak sekolah yang cukup komprehensif di Malang.
Secara keseluruhan, Surveilans Epidemiologi Terpadu mengharuskan puskesmas bertindak aktif. ”Tidak cuma menunggu orang berobat,” kata Hadi. Masyarakat—baik umum maupun sekolah—pun dilibatkan untuk memasang sistem kewaspadaan dini. Sumber penyakit menular, misalnya, bisa diketahui dan dipangkas segera dengan pendekatan ini. Reaksi yang telat ketika wabah telah meluas, seperti yang selama ini selalu terjadi, hanya akan menciptakan kepanikan dan penanganan yang amburadul atau tambal-sulam.
Tahun lalu, dalam sebuah skrining, tim mendapatkan fakta menarik. Tak sedikit siswa, 52 persen, yang telinganya dipenuhi kotoran atau cerumen obturan. Segera Hadi Puspita menggelar program bersih-bersih kuping. Dua bulan lamanya, satu demi satu kuping murid dibersihkan. Bila perlu dengan cairan khusus dan ekstraktor.
Eh, tak berapa lama setelah program ini, pihak sekolah melaporkan bahwa prestasi belajar murid meningkat pesat. ”Rupanya, selama ini murid kurang bisa menyimak penjelasan guru karena kuping mereka kotor,” ujar Suhartatik.
Skrining kesehatan bukanlah titik akhir. Hadi melengkapi program ini dengan pembuatan peta geomedik, sebuah langkah inovatif di negeri yang selalu mengabaikan data. Ia mengerahkan semua staf puskesmas, bidan yang tersebar di desa-desa, dan kader kesehatan untuk mengumpulkan data sampai tingkat RT dan RW.
Terkumpullah data komplet tentang 18 desa yang ada dalam lingkup puskesmas Kepanjen. Percabangan sungai, jalan, gang, tempat posyandu, sumur, sampai tempat pembuangan sampah, tersedia di peta. ”Lorong kecil pun tergambar di sini,” kata Sri Lesmono, kepala tata usaha puskesmas Kepanjen, yang bertanggung jawab pada pemutakhiran peta.
Untuk pemantauan demam berdarah, tim puskesmas Kepanjen melengkapi peta geomedik dengan sebaran kolam, empang ikan, juga rawa-rawa di permukiman. Lalu, untuk pemantauan penyakit menular seksual, tim membuat peta dengan rincian lokasi panti pijat dan tempat prostitusi liar. Bahkan, peta geomedik ala Kepanjen juga memiliki data rumah warga yang diperkirakan seba-gai pengguna narkoba. Kepolisian setempat, menurut Sri Lesmono, kerap memanfaatkan data ini untuk mengawasi lalu-lintas narkoba di Malang.
Peta yang layak diacungi jempol ini tidak dibuat dengan komputer serba canggih dan mahal. Cukup dengan menggunakan komputer butut, dengan prosesor Pentium II, yang bekerja lelet. Namun, di tengah keadaan ala kadarnya ini, Hadi Puspita sanggup menciptakan suasana ”sadar peta”. Hasilnya, semua staf puskesmas bekerja riang gembira melakukan pembaruan data saban hari seusai jam kerja. ”Tak ada honor tambahan,” kata Sri Lesmono.
Peta ini telah terbukti mendatangkan hasil. Suatu kali, Desember 2005, terja-di ledakan kasus demam tifoid di beberapa desa. Ini demam yang dipicu infeksi bakteri Salmonella typhi yang mencemari makanan dan minuman. Melalui peta geomedik, tampaklah desa mana saja yang terjangkit wabah. Setelah diamati, desa-desa itu ternyata dilalui aliran sungai yang sama. Desa yang tak bersentuhan dengan sungai tidak terkena wabah. Aha, ”Wabah ini kemungkinan besar terkait dengan resapan air di sumur-sumur penduduk,” kata Hadi, yang mengawali karier se-bagai dokter di puskesmas Pakuniran, Probolinggo, Jawa Timur.
Berikutnya, Hadi memutuskan untuk memberikan kaporit di sumur penduduk. ”Bulan berikutnya, angka penderita tifoid langsung turun drastis,” kata bapak tiga putri ini. Sebuah pemecahan sederhana dan tak memakan tempo lama. Belakangan, tes laboratorium pun menguatkan asumsi Hadi bahwa air di desa-desa yang terkena wabah telah tercemar Salmonella.
Jerih payah Hadi Puspita kini telah berbuah. Tahun ini Bank Dunia mengucurkan dana untuk kelancaran program di puskes-mas Kepanjen. Setelah melalui proses verifikasi integritas yang cukup panjang, Agustus lalu, Departemen Kesehatan memilih sang dokter sebagai Dokter Teladan Nasional 2006. Hadiahnya cuma berupa plakat, piala, dan sepeda motor dinas. ”Tapi sampai sekarang saya belum dapat,” kata si dokter, yang kegiatan praktek di rumahnya sering tutup gara-gara sibuk dengan urusan puskesmas.
Menjadi dokter teladan tidak membuat Hadi kegirangan. Dokter yang dikenal suka guyon ini justru merasa tidak pantas menyandang gelar itu. ”Saya malu,” katanya. Alasannya, apa yang dia kerjakan selama ini masih ada di luar sistem. Dia masih berjalan sendirian.
Menikahi Ni Wayan Ekawati, putri ibu kos semasa kuliah, Hadi Puspita punya sepotong mimpi. Mimpi tentang hari ketika jajaran tenaga kesehatan di seantero negeri melakukan program surveilans aktif dengan sungguh-sungguh. Tentang hari ketika data begitu kuat dan layak sebagai pijakan kebijakan untuk meningkatkan kualitas kesehatan. Entah kapan mimpi itu terwujud.
Sore datang. Dokter Hadi bersiap kembali ke rumah, di wilayah Turen, 23 kilometer dari puskesmas Kepanjen. Sepeda motor yang jauh dari mengkilap menemani perjalanan pulang sang dokter.
MCH, Bibin Bintariadi (Malang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo