Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengacungkan Bunga Sedap Malam dari Mendut ke Borobudur

Jalan kaki Waisak dari Candi Mendut ke Borobudur oleh Perwakilan Umat Budha Indonesia berlangsung khidmat. Masyarakat menyambut percikan air suci para biku. Waisak juga ada di Candi Sewu.

21 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Upacara Waisak pertama di Borobudur setelah dua tahun pandemi Covid-19.

  • Arak-arakan jalan kaki Waisak dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.

  • Pemeluk Buddha lainnya menggelar upacara Waisak di Candi Sewu.

MANTRA puja terhadap Buddha terdengar didaras bergantian oleh para biku perwakilan 15 majelis Buddha yang berbeda-beda di panggung pelataran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada perayaan Tri Suci Waisak 2566 BE, Senin pagi menjelang siang, 16 Mei lalu. Upacara Waisak tahun ini berlangsung pada pukul 11.13.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Detik-detik Waisak ini berbeda dari perayaan pada 2019 yang jatuh pada dinihari. Para biku itu duduk bersila di panggung. Rupang Buddha besar bermeditasi di tengah kelopak teratai putih raksasa yang menjadi hiasan utama altar seakan melindungi mereka. Pemandangan Borobudur di belakang panggung seolah-olah memberi kekuatan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Secara sambung-menyambung mantra dilantunkan biku-biku. Lantunan dimulai dari biku-biku Majelis Umat Buddha Theravada Indonesia (Majububuthi), Majelis Agama Buddha Mahayana Tanah Suci (Majabumi TS), Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia (Majubumi), Majelis Zhenfo Zong Kasogatan, Majelis Agama Buddha Tantrayana Satya Buddha Indonesia (Madha Tantri), Majelis Agama Buddha Guang Ji Indonesia (Magbi), Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia (Mapanbumi), Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu, Majelis Buddha I-Kuan Tao Indonesia, sampai Majelis Palpung Thubten Choerkoeling.

Proses pengambilan air suci pada rangkaian perayaan Tri Suci Waisak 2566 BE di Umbul Jumprit, Tegalrejo, Ngadirejo, Magelang, Jawa Tengah, 15 Mei 2022. ANTARA/Anis Efizudin

Segera keragaman aliran Buddha di Indonesia tampak di panggung itu. Mantra yang didaras satu sama lain tidak sama. Cara melantunkan mantra berbeda. Bahasa Pali, Sanskerta, dan Cina terdengar bergantian. Intonasi, tekanan kata, kor, serta suara satu dan suara dua begitu beragam. Berbagai warna jubah yang dikenakan para banthe, dari jubah oranye, jubah merah, jubah cokelat, sampai putih, makin menampilkan kebinekaan. Biku Lian Hong dari Buddha Tantrayana Majelis Zhen Fo Zong Kasogatan mengatakan komunitasnya melantunkan mantra persembahan asta puja hingga memuja nama agung Buddha Sakyamuni. Sementara itu, Lama Kenpo dari Sangha Tantrayana Palpung mendaraskan mantra-mantra dengan diiringi denting Vajra. Ini adalah khas Buddhisme Vajrayana Tibet.

Terik matahari menyengat, menembus kulit ratusan biku dan bikuni yang mendaraskan doa. Sebagian biku menyelampirkan setengah kain ke bagian kepala untuk menghadang panas. Ada pula biku yang berpayung. Menghadap candi, ribuan penganut Buddhis dari 15 majelis bertahan mengikuti lantunan para biku

•••

RITUAL sakral itu merupakan bagian dari perayaan puncak Waisak bertema “Jalan Kebijaksanaan Menuju Kebahagiaan Sejati” di Candi Borobudur yang dihelat oleh Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) dan Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi). Inilah perayaan Waisak pertama di Borobudur setelah dua tahun masa pandemi Covid-19 tak dihelat. Bukan hanya di Borobudur sebetulnya perayaan Waisak dilakukan. Sebagian majelis Buddha yang tidak bernaung di bawah Walubi dan Permabudhi, misalnya, memilih merayakan Waisak bersama umatnya di wihara masing-masing atau—bila di kawasan Yogyakarta—melakukannya di Candi Sewu.

Yang memimpin semua rangkaian Waisak di Borobudur adalah seorang bhante asal Thailand bernama Biku Wongsin Labhiko Mahathera. Tatkala detik-detik Waisak tiba, Biku Wongsin memukul gong sebanyak tiga kali. Sebelum memukul gong, ia memimpin meditasi dengan sikap anjali atau merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada. Selanjutnya dia meminta jemaah untuk menarik napas, merenungkan dharma diri sendiri, dan meminta perlindungan kepada Sang Buddha.

Perwakilan umat Buddha mengambil Api Dharma Waisak dari sumber Api Abadi Mrapen, Desa Manggarmas, Godong, Grobogan, Jawa Tengah, 14 Mei 2022. ANTARA/Yusuf Nugroho

Biku Wongsin mengajak semua umat untuk hidup penuh kewaspadaan karena segala sesuatu di dunia tidak kekal. “Jadikan kebijaksanaan sebagai pedoman,” tuturnya. Wongsin juga memberikan wejangan kepada umat agar tidak menyalahkan orang tua ketika terlahir miskin, tidak menyalahkan langit dan bumi ketika mengalami masalah, serta tidak menyalahkan takdir dan nasib saat mengalami kehidupan yang sulit. Semua persoalan, menurut dia, berhubungan dengan tindak tanduk diri sendiri. 

Biku Wongsin dilahirkan pada 1955 di Provinsi Khon Kaen, sebelah timur laut Thailand. Beliau pertama kali ke Indonesia pada 1991. Pada 1999 ia ditunjuk Somdet Phra (pemimpin tertinggi para biku di Thailand) menjadi Ketua Dhamaduta, himpunan biku-biku Thailand yang membantu perkembangan agama Buddha di Indonesia. Banthe yang ramah dan murah senyum ini telah tinggal di Indonesia selama 21 tahun. Bhante berusia 66 tahun itu kini bertugas melayani umat di Wihara Vipassana Graha, wihara Buddha Teravada di Lembang, Bandung, Jawa Barat.

Biku asal Thailand, Wongsin Labhiko Mahathera, di Candi Mendut, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 15 Mei 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Sudah dua tahun sejak pagebluk menyerang, Bhante Wongsin tak pulang ke Thailand. Dia menyatakan merasakan kedamaian dan kenyamanan selama menunaikan tugasnya di Indonesia. Dia mengamati perayaan Waisak di Indonesia jauh lebih meriah ketimbang di Thailand. Di Indonesia, ia melihat umat Buddha menyiapkan Waisak dari awal hingga ke inti perayaan bisa kurang-lebih satu bulan. “Umat di Indonesia lebih semangat dan suasana di sini lebih meriah,” ucap Wongsin. Di Indonesia, umat dari berbagai penjuru daerah datang dari tempat yang jauh, berduyun-duyun ke Borobudur dan tumplek blek merayakan Waisak. Setelah berkumpul di Borobudur, dia melihat tatkala kembali ke wihara masing-masing umat masih merayakan Waisak lagi. 

•••

UPACARA Waisak dimulai pada Sabtu pagi, 14 Mei lalu, pukul 10 pagi. Para biku dipimpin biku Y.M. Samantha Kusala Mahasthavira mengambil api abadi dari Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah, sebagai api dharma dan kemudian disakralkan di Candi Mendut. Keesokan hari, Ahad pagi, 15 Mei lalu, para biku dipimpin Biku Kamsai Sumano Mahathera dan Biku Samantha Kusala Mahasthavira mengambil air suci dari Umbul Jumprit di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ada delapan majelis Buddha yang mengikuti ritual air berkah, yakni Majelis Theravada Indonesia, Sangha Theravada Dharmayut Indonesia, Majelis Umat Buddha Mahayana Indonesia, Majelis Palpung Thubten Choerkoeling Mahanikaya Indonesia, Kasogatan dan Madha Tantri, Agama Buddha Guangji Indonesia, serta Majelis Pandita Buddha Maitreya.

Mereka mengawali prosesi itu dengan puja bakti bersama umat Buddha serta menyalakan dupa dan lilin pancawarna di altar. Biku dan bikuni kemudian menuju mata air yang dijatuhi air dari stalaktit gua yang dinaungi pohon besar. Mereka mengambil air secara bergantian. Biku Kamsai Sumano Mahathera dan Biksu Samantha Kusala Mahasthavira menaruh air menggunakan gayung berbahan batok kelapa ke dalam kendi berhias bunga melati. Bunga lotus ditancapkan pada dasar umbul dan aroma dupa menguar. 

Umat Budha bermeditasi saat detik-detik perayaan Tri Suci Waisak 2566 BE di pelataran Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada 16 Mei 2022. ANTARA/Anis Efizudin

Umbul Jumprit adalah mata air yang disakralkan oleh penduduk yang tinggal di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah, itu. Menurut warga Temanggung, sendang Umbul Jumprit ada sejak zaman Kerajaan Majapahit. Umbul itu menjadi tempat bertapa rohaniwan Buddha dan Hindu. Mata air ini lekat dengan legenda Ki Jumprit, ahli nujum dari Kerajaan Majapahit. Syahdan ia meninggalkan kerajaan untuk bertapa dan menghabiskan sisa hidupnya di umbul tersebut, ditemani seekor monyet. Mata air ini menurut warga tak pernah kering dan banyak peziarah yang mandi di sana. “Mereka meyakini mandi di sana membawa berkah, membuang sial, dan menyembuhkan penyakit,” kata warga Temanggung, Praiwidi. 

Selesai upacara, sendang itu dipenuhi penganut Buddhis yang datang dari Jakarta, Surabaya, dan Malang, Jawa Timur. Sebagian terlihat berdoa di wihara kecil di dekat umbul. Selain membasuh muka, mereka membawa air dari umbul dalam jeriken dan botol air mineral. Orang-orang itu percaya air berkah yang telah diberi doa biku membawa keberuntungan, kesehatan, dan ketenteraman. Praiwidi membantu orang-orang yang datang dan menginginkan air dengan menjual jeriken dan botol air. Selain membantu orang-orang yang datang, dia mengambil air untuk dikirim ke sejumlah daerah. “Saya dapat hidup dengan jeriken-jeriken ini,” katanya.

Arak-arakan saat puncak perayaan Waisak dari Candi Mendut ke Candi Borobudur, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 16 Mei 2022. TEMPO/Shinta Maharani

Ahad sore, air dalam kendi dari Umbul Jumprit disemayamkan di altar yang dibangun di halaman Candi Mendut, Magelang, Jawa Tengah. Biku Kamsai Sumano Mahathera asal Thailand tampak memimpin doa air berkah di Mendut. Rapal doa itu bermakna kemurnian hati dan pikiran. Air bagi umat Buddhis sangat penting sebagai simbol ketenangan, pemadam api, dan peredam emosi. Menurut Biku Kamsai, air yang diberi doa di hari suci Waisak berhubungan dengan Sang Buddha. “Air suci sebagai jalan kedamaian dan ketenteraman,” ucap Kamsai. Setelah air berkah didoakan, para biku membawa air dalam kendi serta mengelilingi Candi Mendut sebanyak tiga kali sesuai dengan arah jarum jam atau pradaksina.

Pradaksina mengelilingi relief-relief candi dipercaya umat Buddha memiliki kebajikan yang tinggi. Khususnya di bulan suci Waisak, pradaksina yang dilakukan umat diyakini mendapatkan kebijaksanaan berlipat. Dalam kepercayaan umat Buddha, mengelilingi candi sebanyak tiga kali putaran searah jarum jam adalah simbol penghormatan terhadap Buddha-Dharma-Sangha. Di pengujung ritual doa air suci itu, para biku memberkati umat dengan memercikkan air ke kepala mereka.

•••

KEMERIAHAN Waisak makin terasa saat umat dan biku berkumpul di Candi Mendut pada Senin pukul 06.00. Umat Buddha membeludak di Candi Mendut. Bukan hanya umat Buddha, warga sekitar yang rata-rata muslim juga memenuhi jalan. Pukul 07.00 kirab dimulai. Para penganut Buddhis mulai bergerak berjalan kaki perlahan sepanjang 5 kilometer dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur. Mereka yang ikut dalam barisan rata-rata membawa bunga sedap malam. Bunga sedap malam merupakan simbol pengkhidmatan terhadap Budha Gautama. Ribuan orang berjalan ke Borobudur sembari mengacungkan bunga sedap malam.

Iring-iringan prosesi itu melibatkan mobil-mobil hias dan barisan warga desa yang mengenakan jarit dan blangkon. Mereka mengarak hasil bumi berupa sayur-sayuran dan buah, lengkap dengan janur kuning. Juga bocah-bocah mengenakan pakaian tradisional Indonesia. Suasana prosesi sangat Indonesia sekali. Sebagian biku duduk di mobil yang didesain seperti sebuah perahu dan dihiasi lampion, beraneka bunga, dan tanaman hijau. Mobil itu bertulisan: “Relik Sang Buddha”. Menurut info, relik Buddha tersebut didapatkan panitia dari Kuil Vax Bowon Thailand dan Museum Relik di Rangon, Myanmar.

Suasana menggetarkan terlihat saat para biku yang berada di mobil relik sepanjang jalan Mendut-Borobudur memercikkan air dan melemparkan bunga-bunga kepada ribuan warga yang berdiri di kanan kiri jalan. Pemandangan ini tidak mungkin terjadi saat perayaan Waisak di Sri Lanka, Thailand, Myanmar, Laos, Kamboja, atau Vietnam. Sebab, banyak yang menyambut percikan dan lemparan bunga sepanjang Mendut-Borobudur itu adalah ibu-ibu sepuh dan gadis-gadis berjilbab juga pemuda dan bapak-bapak yang bersarung serta berkopiah. Mereka tampak antusias bila terkena percikan air para bhante.

Biku membawa air yang telah disucikan saat ritual pradaksina memutari Candi Mendut, di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, 15 Mei 2022 TEMPO/Shinta Maharani

Walhasil, prosesi Waisak pagi itu seolah-olah dirayakan warga dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan. Perayaan Waisak menjadi ajang sukacita bersama. Lihatlah bagaimana ekspresi beberapa ibu-ibu berjilbab saat menyongsong semburan air suci. Begitu sumringah. Seolah-olah mereka juga merasa mendapatkan berkah dari para biku.

Tempo juga sempat bertemu dengan beberapa penganut Katolik berkalung salib yang datang dari Yogyakarta. Mereka tiba di Candi Mendut sejak pagi karena ingin menyaksikan langsung kesakralan puncak Waisak. Mereka juga seolah-olah percaya air suci itu membawa kebaikan, di antaranya keselamatan, kesehatan, dan kemakmuran. Waisak seolah-olah menjadi kebahagiaan bersama. Hujan rintik-rintik yang mengguyur tak menghentikan kebahagiaan upacara kirab Waisak.

Pradaksina mengelilingi Candi Borobudur Senin malam, 16 Mei lalu, menjadi penutup rangkaian Waisak di Borobudur. Semula panitia merencanakan pradaksina di Borobudur yang menjadi ritual kunci berlangsung pada siang hari setelah detik-detik Waisak. Tapi mereka membatalkannya dan memindahkannya pada malam hari setelah acara lampion. Seperti perayaan sebelum masa pandemi, umat dan masyarakat umum bisa menerbangkan lampion yang mereka beli. Lampion ini menyimbolkan harapan dan perdamaian untuk dunia.

SENO JOKO SUYONO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus