Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal perupa Nasirun menyambut perayaan 70 tahun Sindhunata.
Nasirun menampilkan lukisan-lukisan serba Semar.
Peluncuran buku terbaru karya Sindhunata.
TUBUH Semar serba putih seperti asap. Menyisakan rambut depannya yang dikucir kuncung, perutnya yang buncit, juga gigi depannya yang tinggal satu. Di sekitarnya terdapat citraan bola-bola kecil berwarna merah, kuning, oranye, biru, dan hijau. Di ujung bawah Semar, muncul sosok serba hitam, berkucir belakang, berhidung besar, berbibir tebal, dan berperut buncit. Lukisan Semar berpakaian serba putih itu adalah salah satu karya perupa Nasirun yang ditampilkan dalam pameran bertajuk “Anak-anak Semar” yang dipajang di Museum Anak Bajang di kompleks Omah Petroek di Dusun Wonorejo, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu-satunya lukisan yang menempel vertikal dengan panjang 2,955 meter yang diberi judul “Semar Mencari Raga” itu cukup mencuri perhatian sejumlah pengunjung. Ada mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastusi; perupa Djoko Pekik; juga anggota staf khusus presiden bidang politik, Sukardi Rinakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Nasirun, lukisan itu menyimbolkan 70 tahun usia Gabriel Possenti Sindhunata, SJ, yang akrab disapa Romo Sindhu atau Sindhunata, yang berulang tahun pada 12 Mei lalu. “Dalam bahasa Sanskerta atau Kawi, itu namanya Ki Nayantaka. Manusia yang menggunakan baju putih semua,” kata Nasirun kepada Tempo di sela pembukaan pameran yang merupakan bagian dari rangkaian acara “Merayakan Persahabatan 70 Tahun Sindhunata Berkarya untuk Literasi Negeri” pada Ahad malam, 15 Mei lalu.
Bagi Nasirun, usia 70 tahun adalah cermin kesadaran manusia untuk merayakan peringatan bersama bahwa hidup menuju keabadian. “Kami dan Romo sedang dalam proses menuju kepulangan yang sesungguhnya atau kematian,” tutur Nasirun.
Di tembok lain terpajang lukisan Nasirun berjudul Satu Juta Satu Hati untuk Gus Dur memanjang 5,02 meter hampir menggapai kedua sisi tembok. Dengan jas cokelat dan kemeja putih tanpa dasi, berikut peci hitam, Gus Dur berdiri di tengah kanvas. Kedua punggungnya bersayap putih menyentuh tanah. Di sekitarnya berjubel wajah-wajah Gus Dur lain dalam ukuran lebih kecil. Tak ketinggalan anak-anak Semar. Lukisan itu tampak muram berlatar warna cokelat gelap. Sesekali sapuan warna hijau dimunculkan seolah-olah mereka tengah berada di rimba raya. “Saya kesulitan mencari simbol tokoh di negeri ini yang sesuai dengan tafsir Semar, kecuali Gus Dur,” ujar Nasirun.
Gus Dur—panggilan akrab Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman Wahid—digambarkan Nasirun seperti Semar yang mempunyai sifat pengayom atau pelindung. Dia tak hanya mengayomi orang-orang muslim yang seagama dengannya, tapi juga warga nonmuslim. Dia bersahabat dengan Y.B. Mangunwijaya alias Romo Mangun hingga Ni Wayan Gedong alias Ibu Gedong. Ia juga satu-satunya tokoh yang mendapat penghormatan di Klenteng Sam Pho Khong, Semarang.
Lukisan Nasirun lain berjudul Semar Mbangun Kayangan. Dalam lukisan itu, Semar digambarkan berselempang kuning keemasan tengah berada di kayangan bersama Punakawan dan kesatria-kesatria Pandawa serta pendukung lain. Di atasnya, Batara Guru tampak bersedekap melayang dalam lingkaran kuning keemasan.
Di tangan Nasirun, Semar juga bisa menjadi sosok priayi bernama Ndoro Bei yang berpenampilan genit: berkemeja batik panjang putih, bersarung hijau, berselop oranye, dan menyesap cerutu sembari mendengarkan musik melalui headset dengan handphone di tangan.
Tema serba Semar dalam lukisan-lukisan Nasirun itu bukan tanpa sebab. Lukisan-lukisan Semar yang dipamerkan tersebut merupakan ilustrasi sampul dan isi buku berjudul Anak-anak Semar yang ditulis Sindhunata. Buku baru Sindhunata pada 2022 tersebut turut diluncurkan bersama lima buku lain malam itu. Prosesnya pun, menurut Nasirun, terbilang unik. Tak ada pertemuan khusus untuk membahas ilustrasi itu dengan si empunya buku. Juga tak ada catatan yang diberikan Sindhunata tentang ilustrasi yang diinginkan. “Hanya jawilan. Romo bilang, tolong, ya, bikinkan ‘Semar Kelangan Raga’. Dan aku berimajinasi, terus nggambar. Enggak sampai sebulan, selesai,” kata Nasirun.
Satu Juta Satu Hati untuk Gus Dur dalam pameranAnak-anak Semardi komplek Omah Petroek, Sleman, 15 Mei 2022. Tempo/PITO AGUSTIN RUDIANA
Sindhunata menyebutkan penyusunan buku dan ilustrasi Anak-anak Semar itu sama seperti pembuatan ilustrasi buku Anak Bajang. Sindhunata menjelaskan, setelah draf selesai, perupa membuat ilustrasinya. “Saya tak menuntut sesuai dengan teks. Biar interpretatif untuk memperkaya keseluruhannya,” ujarnya.
Novel esai Anak-anak Semar merupakan kelanjutan novel Semar Mencari Raga yang ditulis pada 1996. Semar dipilih karena sosok tersebut kaya untuk dieksplorasi. Semar juga simbol upaya mempertahankan kebudayaan dari serangan modernitas yang tak pernah habis. “Ya, Semar adalah simbol pembelaan terhadap budaya,” ucap Sindhunata.
Nasirun menuturkan, Semar adalah simbol kebudayaan adiluhung. Semar mempunyai gelar Sang Hyang Ismayajati yang merupakan sosok dewa yang menjadi pamong dan leluhur. “Kebetulan sebagai pamomong mijil ratu, yang artinya siapa saja yang diasuh Semar akan menjadi manusia yang berguna,” kata Nasirun.
Anak-anak Semar inilah yang punya tugas memberikan tafsir baru atas carangan yang muncul untuk menjaga warisan budaya masa lampau. Jika tak ada tafsir baru, kebudayaan itu punah sudah. Dan malam itu, anak-anak Semar juga diwujudkan dalam pementasan drama tari anak-anak Sanggar Tjipto Boedaja. Dengan mengenakan atribut serba Semar berompi hitam dan merah, bocah-bocah itu menyanyikan lagu dolanan “Padhang Bulan” di Taman Yakopan. Mereka juga mengiringi Sindhunata yang mengenakan rompi dari anyaman daun kelapa muda masuk ke ruang pameran.
Sementara itu, tiga dari enam bukunya yang turut diluncurkan malam itu juga merupakan buku baru yang menandai 50 tahun hidup Sindhunata sebagai Jesuit, yaitu Jalan Hati Yesuit, Anak-anak Ignatius, dan Sisi Sepasang Sayap. “Saya kan seorang Jesuit. Tapi saya tidak menulis tentang diri saya,” kata Sindhunata. Dia menuliskan kisah tokoh Jesuit lain, seperti filsuf Franz Magnis-Suseno; pengarang Jawa Kuno, Zoetmulder; budayawan Dick Hartoko; juga dosen filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Setyo Wibowo.
Dua buku lain adalah Anak Bajang Mengayun Bulan dan karya Simon H. Rae, The Secret of Sindhunata. Buku Secret of Sindhunata, dia menjelaskan, berisi hasil penelitian Rae atas karya-karyanya. Orang Selandia Baru yang pernah menulis di Archipel di Prancis itu tertarik mempelajari karya Sindhunata yang berjudul Putri Cina dan Menyusu Celeng.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo