Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran seni grafis di Galeri Lawangwangi, Bandung.
Menampilkan karya seni grafis konvensional dan yang telah mengalami perluasan.
Pertarungan seni grafis antara karya perupa Yogyakarta dan Bali.
SEHELAI kain berukuran 2,5 x 1,5 meter yang disangga tiga batang kayu itu seperti tenda berbentuk rumah. Motif kain bergambar telapak tangan terbuka dan tertutup serta tubuh orang berkepala rumah dengan sebuah mata. Di bawah tenda itu terhampar semacam sajadah yang dibingkai hiasan serabut tali kuning dan kitab bertopang rak kayu lipat berukuran kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada halaman kitab yang terbuka, kertasnya bergambar dua telapak tangan yang mengatup seperti memohon dengan latar sepotong narasi tentang pandemi. Sementara itu, pada selembar sajadahnya muncul isu lain. Pada kain putihnya digambar seorang perempuan di bawah sebatang pohon tanpa daun. Di sekitarnya hanya tersisa batang-batang pohon yang ditebang dengan latar siluet perkotaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seni instalasi grafis berjudul Ada Do’a Dimana-mana itu karya Fitriani Dwi Kurniasih. Dia membuatnya dengan teknik linocut serta woodcut atau cukil kayu untuk mencetak gambar. Ide karyanya menanggapi situasi pandemi Covid-19 selama sekitar dua tahun ini yang di antaranya membuat banyak orang terkurung di rumah dan muncul berita duka di mana-mana. “Saya menggambarkan tentang itu, bagaimana dalam kondisi itu doa yang paling banyak dipanjatkan,” kata Fitriani, Jumat, 13 Mei lalu. Pada saat bersamaan, dia juga melihat konflik agraria bermunculan.
Karya eksperimental seniman Yogyakarta itu dinobatkan sebagai juara kedua dalam pameran bertajuk “Tarung Grafis” yang berlangsung pada 13 Mei-5 Juni 2022. Dalam acara yang digelar Galeri Lawangwangi, Bandung, itu, seniman lain dari Yogyakarta, Windi Delta, menjadi juara ketiga. Dia membawa tiga judul karya, yaitu Hello World!, ←Pemograman Berorientasi pada Objek, dan →Singularitas. Seniman 31 tahun kelahiran Padang itu menggarap karyanya dengan teknik cetak sablon hingga digital. Selain dicetak terbatas, karyanya bisa diakses di jaringan blockchain dalam bentuk non-fungible token lewat kode respons cepat (QR code) di bawah gambar.
Adapun pemenang pertamanya adalah karya Putra Wali Aco, seniman grafis 25 tahun yang bermukim di Bali. Dia menampilkan dua karya berjudul Ramayana I dan Ramayana II dengan teknik intaglio atau teknik cetak dalam. Menurut kurator tim Bali, Devy Ferdianto, karya Aco dicetak pada kertas katun (cotton paper). “Matriks atau acuan cetaknya dari bahan aluminium yang dilapisi emulsi kering peka cahaya,” ujarnya, Senin, 16 Mei lalu. Menggunakan banyak potongan pelat, dalam sebidang gambarnya masing-masing tersusun sembilan lapis yang ditata zig-zag. Tiga pemenang dari sepuluh kandidat itu dipilih dewan juri yang terdiri atas Andonowati dari Galeri Lawangwangi; duet kurator pameran, Asmudjo Jono Irianto dan Tisna Sanjaya; serta kolektor seni Konfir Kabo dan Simon Tan pada Kamis, 12 Mei lalu. Hasil penjurian diumumkan sehari kemudian pada malam pembukaan pameran. Para pemenang memboyong hadiah berupa mesin etsa yang masing-masing berukuran 40 x 80 sentimeter, 35 x 60 sentimeter, dan 25 x 45 sentimeter.
Gagasan pameran seni grafis yang bernuansa persaingan itu muncul dari perdebatan sengit di grup WhatsApp “Sontoloyo”. Forum perbincangan yang antara lain berisi seniman, kurator, dan kolektor itu dibentuk oleh Asmudjo dan seorang rekannya. Dalam obrolan mereka, awalnya muncul diskusi mengenai seni grafis konvensional dan seni grafis expanded atau mengalami perluasan yang cenderung eksperimental. “Perdebatannya dimulai sekitar Oktober tahun lalu dan langsung ditantang buat pameran tarung,” ucap dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung itu. Pertarungan tersebut kemudian melibatkan para seniman muda dari Bali yang rata-rata menampilkan karya grafis konvensional dan perupa muda Yogyakarta yang menyajikan karya grafis expanded.
Karya seniman Bali, Putra Wali Aco, berjudul Ramayana, meraih juara I di pameran Tarung Grafis di Lawang Wangi, Bandung, Jawa Barat, 20 Mei 2022. TEMPO/Prima mulia
Gerbong seniman Bali dibawa oleh Devy Ferdianto. Devy adalah lulusan seni grafis ITB. Setelah pensiun mengajar di sebuah kampus swasta di Bandung, pada 2019 ia hijrah bersama keluarganya ke Ubud, Bali. Pendiri dan konduktor grup big band Salamander di Bandung itu membangun Devfto Printmaking Institute di Pulau Dewata. Tujuannya adalah berkontribusi pada perkembangan seni cetak di Bali hingga bisa ikut mempopulerkan seni cetak grafis di Indonesia. Bertempat di Galeri Sika, Ubud, Devfto menawarkan program residensi seniman grafis, penelitian kertas dan seni grafis, lokakarya, serta pameran. Program utama lokakarya adalah mengeksplorasi teknik seperti cyanotype, intaglio, etching, screen printing, monoprinting, dan litografi.
Untuk “pertarungan” ini, Devy menggaet 13 seniman Bali yang umumnya pernah berkarya dan terlibat dalam perhelatan seni cetak grafis yang digelar Devfto. Semua karya peserta dicetak beredisi pada kertas dengan teknik cetak relief, intaglio, litografi, dan screen printing atau cetak sablon. Senimannya adalah Agung “Agugn” Prabowo, Chusin Setiadikara, Dewa Made Johana, Handy Saputra, Ida Bagus Putu Purwa, Irene Febry, Kadek Dwi Darmawan, Made Wiradana, Made Palguna, Putra Wali Aco, Satria Nugraha, dan Wayan Upadana.
Akan halnya rombongan seniman Yogyakarta diusung pegrafis Syahrizal Pahlevi alias Levi. Levi, 56 tahun, mendirikan Teras Print Studio pada 2009. Studio yang awalnya dibuat untuk kebutuhan berkarya sendiri itu kemudian dibuka bagi seniman dan masyarakat umum yang berminat pada karya seni grafis. Seniman lulusan Jurusan Seni Lukis Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada 1994 itu mengadakan pelatihan dan kelas seni grafis. Levi kini juga mengelola Miracle Prints, sebuah ruang alternatif di Yogyakarta berupa galeri kecil, studio grafis, dan gerai seni mini yang ia dirikan bersama istrinya pada 2015. Karya seni grafis Levi sering menggunakan teknik woodcut dan mokuhanga sekaligus performance di depan publik untuk lebih mendekatkan seni cetak.
Levi juga memilih 13 seniman Yogyakarta yang punya pengalaman panjang di bidang seni grafis dan giat berkarya dengan eksplorasi tema, teknik, dan media. Teknik yang hasilnya disuguhkan dalam pameran antara lain cetak sablon, woodcut, linocut, mokuhanga, etching, drypoint, dan stensil dengan karya yang dicetak pada kertas, kain, kanvas, juga pelat aluminium. Senimannya adalah Agung Pekik, Angga Sukma Permana, Ariswan Adhitama, Fakri Syahrani, Fitriani Dwi Kurniasih, Jajang Kawentar, Putra Eko Prasetyo, Reno Megy Setiawan, Syahrizal Pahlevi, Windi Delta, Yassir Malik, Yanwar Nugroho, dan Yanal Desmond Zendrato.
“Devy mengusung seni grafis konvensional karena berangkat dari kekhawatiran, sementara Levi menampilkan para pegrafis ‘eksperimental’ yang berangkat dari semacam harapan,” kata Asmudjo. Devy, Asmudjo menambahkan, khawatir jika terlalu cepat menyeberang atau expanded, seni grafis konvensional akan terlupakan. Sebaliknya, Levi melihat bagaimanapun seniman grafis punya dorongan terobosan kreativitas yang tidak bisa ditahan. “Sebagian besar seniman dari Yogyakarta aslinya adalah pegrafis, maka karya-karyanya cenderung sudah expanded atau meluas. Sedangkan kubu seniman Bali mayoritas pelukis, logikanya akan belajar seni grafis konvensional,” ujar Asmudjo. Asmudjo sendiri dalam tulisan kuratorialnya menyatakan seni grafis konvensional, expanded, atau expansive seperti yang diciptakan perupa Tisna Sanjaya dengan seni cetak tubuhnya seharusnya bisa mencerahkan masa depan seni grafis kontemporer Indonesia.
Tapi ternyata juara pertamanya dari Bali. “Karya Aco secara teknis dan konten bagus, identitas tradisi karyanya disusun seperti naskah daun lontar,” kata Asmudjo.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo