Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGAPA Los Angeles meledak dua pekan lalu? Sebuah percakapan dalam sebuah keluarga kulit hitam dikisahkan kembali oleh majalah Ebony edisi Maret 1992. Seorang wanita muda lulusan akademi membuka-buka album foto lama dengan suaminya. Di halaman yang memuat foto mereka bersama sahabat-sahabat kulit putih, sang istri tiba-tiba nyeletuk dengan sengit, "Saya sungguh tak suka foto ini. Foto ini menjadikan saja ...." Ia seperti ragu meneruskan kalimatnya, dan tak lama kemudian, katanya dengan mantap: "... yah, menjadikan saya terlalu hitam." Kesadaran bahwa mereka hitam, dan karena itu "nilai" mereka berada di bawah, ternyata masih ada. Kesadaran tentang perbedaan warna kulit ternyata tak mati bersama dihapuskannya secara resmi diskriminasi di Amerika Serikat sekitar satu generasi yang lalu. Dua sosiolog dari Arizona State University dan University of Illinois di Chicago, yakni Verna Keith dan Cedric Herring, belum lama ini melakukan penelitian secara terpisah. Keduanya, seperti dikutip oleh majalah Ebony itu, menarik kesimpulan yang sama: warga kulit hitam Amerika masih menghadapi kendala sosial dan ekonomi. Majalah itu pun menyebarkan pengumpulan pendapat dan dari hasilnya disimpulkan bahwa lebih dari 53% responden mengakui bahwa rasialisme di Amerika Serikat di tahun 1992 kini masih sama dengan 10 sampai 20 tahun yang lalu. Apakah pol itu bisa dipercaya? Sederet fakta dan prasangka tampaknya mendukung kesimpulan pol Ebony itu. Antara lain, separuh pemuda kulit hitam di Chicago tak lulus sekolah menengah. Di Washington D.C. jumlah pemuda hitam yang dipenjara empat kali lebih banyak daripada yang lulus dari sekolah negeri. Penyebab kematian yang terbesar pada warga hitam Amerika adalah pembunuhan. Hampir dua pertiga dari jumlah bayi hitam lahir dari ibu tanpa suami. Penghasilan rata-rata kelas menengah warga hitam Amerika kurang dari 60% penghasilan warga putih yang berpendidikan sama. Harga tanah dan rumah jatuh di bawah pasar bila di sekitar rumah itu tinggal keluarga hitam. Lalu, kata orang, ada teori konspirasi yang dibikin oleh warga hitam Amerika yang menambah kesadaran hitamputih orang hitam, dan menambah kebencian orang putih terhadap orang hitam. Yakni, orang kulit putih sengaja mengedarkan narkotik untuk memusnahkan orang hitam. Belakangan teori itu mengalami sedikit penyuntingan: orang putih sengaja menyebarkan AIDS agar orang hitam habis dari muka bumi. Amerika boleh bangga telah memungkinkan munculnya bintang hitam yang sangat populer di seluruh dunia, misalnya Bill Cosby. Atau memopulerkan sang jago bola basket Magic Johnson. Tapi orang Amerika sendiri, baik yang hitam maupun yang putih, sebagian besar tampaknya masih berpikir hitam dan putih bagaikan film kuno. Sebuah pol yang dua tahun lalu dikutip dalam majalah Inggris The Economist menyajikan kesimpulan yang mendukung cara berpikir yang "hitam-putih" itu. Menurut pol tersebut, sebagian besar responden mengatakan bahwa orang putih cenderung berpikir bahwa orang hitam diperlakukan sama. Sepertiga responden putih mengatakan bahwa orang hitam tak becus bekerja karena mereka tak punya ambisi dan kemauan dibandingkan orang putih. Dan hanya sedikit sekali orang hitam yang merasa memang diperlakukan sama dengan orang putih. Sebagian besar responden hitam yakin bahwa orang putih berusaha memusnahkan mereka dengan segala cara. Jadi, apa yang tercermin dari pol tersebut? Hipokrisi dan salah-anggap-diri rupanya merajalela di antara warga putih dan warga hitam Amerika, tulis The Economist. Sebagian besar orang kulit putih secara prinsip sangat mendukung kebijaksanaan penghapusan diskriminasi, tapi tidak dalam prakteknya. Sejak 1964, sejak diundangkannya penyamaan hak-hak warga negara Amerika Serikat, memang boleh dikata tak ada lagi masalah hitam dan putih di tempat kerja dan sekolah. Tapi di luar sekolah dan tempat kerja, jarang sekali hitam dan putih berrekreasi bersama. Hitam dan putih jarang sekali hidup bertetangga. Orang hitam, karena berbagai alasan, memang lalu membentuk permukiman eksklusif, dan biasanya kurang semarak alias kumuh. Permukiman orang hitam biasanya dinomorduakan dalam pembangunan kota. Sebaliknya, banyak warga kulit hitam menyalahgunakan undang-undang yang mendahulukan minoritas (affirmativeaction laws). Mereka mengira dengan hanya undang-undang ini seorang hitam tanpa berusaha lalu bisa menjadi ahli komputer, misalnya. Di sebuah universitas, konon, beberapa profesor menuntut gaji yang lebih besar semata karena kulit mereka berwarna hitam. Undang-undang itulah, yang tentu saja dibuat dengan maksud baik, rupanya punya dampak di luar dugaan. Umpamanya, di beberapa universitas mahasiswa hitam mendapat beasiswa khusus karena mereka hitam. Tujuannya, agar mereka lebih mudah naik tingkat dan lulus dengan baik. Tapi ini tidak mendidik, kata seorang kulit hitam konservatif yang sukses. Perlakuan seperti itu hanya melestarikan semangat rasialisme. Mereka yang berani berterus-terang mengatakan, pemberian beasiswa itu sebenarnya mencerminkan bahwa orang kulit putih kembali lagi berpikir seperti nenek moyang mereka dulu, yang menyebabkan adanya perbudakan dan perang saudara Amerika pada abad ke-19. Yakni, bahwa orang hitam dilahirkan sebagai bangsa yang kemampuannya rendah, bangsa yang inferior. Karena itu, kata sebagian orang kulit putih Amerika, masalah orang hitam tak bisa dipecahkan. Mereka yang berpikir seperti itu tentulah tak bersedia menengok ke belakang, pada sejarah, bagaimana sampai masyarakat hitam Amerika terpuruk dalam kemiskinan dan kebodohan -- dua hal yang agaknya sulit dipisahkan. Sejarah mencatat bahwa memang karena rasialismelah orang hitam di Amerika Serikat ketinggalan dari kulit putih, bahkan dari kulit berwarna yang berimigrasi ke "negeri belanga tempat segala bangsa melebur" itu. Seandainya ketika kapal-kapal dari Afrika pada abad lalu itu mendarat di Amerika dan menurunkan orang-orang hitam yang diperlakukan sebagai imigran selayaknya, tampaknya tak ada kepincangan sosial ekonomi antara hitam dan putih. Baiklah, memang kemudian Amerika yang dijuluki pendekar demokrasi itu akhirnya menghapuskan diskriminasi warna kulit. Tapi picu pistol tanda perlombaan sudah ditarik ketika warga hitam masih terbelenggu kaki dan tangannya. Pada tahun 1960-an, satu dari sepuluh warga hitam Amerika Serikat berhasil menerobos tempurung kemiskinan mereka. Tahun 1980-an, perbandingan itu sudah boleh dibilang maju pesat: satu dari tiga warga hitam kini masuk kelas menengah. Tapi bila diperbandingkan antara hitam dan putih, kemajuan itu sepertinya tak ada artinya. Menurut pemerintah Amerika sendiri, dalam 20 tahun terakhir ini masih sekitar 35% warga hitam berada di bawah garis kemiskinan, sedangkan angka itu hanya 10% untuk warga putih. Itu perbandingan di lapisan bawah. Di lapisan atas, menurut majalah Business Week akhir November 1991, dari seribu eksekutif berpenghasilan terbesar hanya satu yang berkulit hitam, yakni Errol Davis. Dialah bos sebuah perusahaan yang menjual peralatan sehari-hari di Wisconsin, yang bergaji US$ 269.000 setahun. Lalu menurut majalah bisnis itu juga, dari 12 perusahaan terbesar di Amerika (antara lain Xerox, CoaCola, Chrysler) memang punya seorang wakil presiden direktur yang berkulit hitam. Tapi, seperti ada kesepakatan tak tertulis, dalam jajaran jabatan itu harus diusahakan agar hanya ada satu kulit hitam. Dan seperti ada kesepakatan juga bahwa itulah jabatan tertinggi untuk kulit hitam. Untuk naik menjadi bos paling atas, rasanya mustahil ada kesempatan bagi mereka. Dan di kalangan kulit hitam lapisan bawah, seperti terasa mereka makin miskin. Majalah The Economist menunjukkan ini. Dua puluh tahun lalu buruh di perusahaan baja digaji US$ 20 per jam. Kini sudah sangat sulit untuk memperoleh US$ 7 per jam di banyak industri berat. Rata-rata keluarga hitam mengalami penurunan penghasilan sampai sepertiga dibandingkan dengan penghasilan mereka 20 tahun yang lalu, yakni dari sekitar US$ 24.700 menjadi hanya US$ 17.400 per tahun. Dan bila ada kritik dalam pengiriman tentara Amerika ke Perang Teluk yang lalu bahwa mayoritas berkulit hitam, agar mereka yang tewas lebih banyak hitamnya, kenyataan memang demikian. Bagi sebagian besar pemuda kulit hitam Amerika, satu-satunya pekerjaan yang menjamin masa depan dan penghasilan cukup hanyalah di angkatan bersenjata. Dan itu ada sebabnya. Lingkaran setan kemiskinan menyebabkan ibuibu kulit hitam lebih suka punya anak tanpa suami (single mother). Menjadi single mother belakangan ini memang mode di Amerika. Tapi latar belakang antara ibu hitam tanpa suami dan ibu putih tanpa suami sangat berbeda. Ibu putih memang sengaja berbuat itu karena merasa tak cocok untuk hidup bersama pria bapak anaknya, dan si ibu memang merasa bisa menghidupi anaknya. Sedangkan si ibu hitam karena terpaksa. Dengan hidup sendiri si ibu lalu bisa menerima jaminan sosial dari pemerintah. Yang tak diperhitungkan oleh ibu hitam itu adalah dampak psikologis bagi anak-anaknya. Seorang kolomnis kulit hitam yang menulis untuk koran Washington Post, William Raspberry, pernah menulis tentang ini. "Selamatkan anak-anak lelaki dari mereka," tulisnya tentang anak-anak dari para ibu hitam yang hidup sendiri tanpa suami. Ia membunyikan tanda bahaya, karena anak laki-laki yang dibesarkan hanya oleh seorang ibu hitam yang miskin pada dasarnya sudah rapuh sejak mereka dilahirkan. Anak-anak itu lalu tak punya idola dalam keluarga, karena tak pernah tahu siapa ayahnya, sedangkan ibunya begitu rapuh pula. "Dilahirkan tanpa ayah oleh ibu yang rapuh," kata seorang pendeta di Harlem, sebuah permukiman orang hitam, tentang keluarga tanpa pimpinan kepala keluarga yang bisa dicontoh, "seperti dilahirkan tanpa kulit". Maksud pendeta yang dikutip oleh The Economist itu, anak itu akan mudah terpengaruh lingkungan. Dan bila permukiman hitam itu adalah Harlem atau Bronx di New York, yang kumuh dan di setiap sudutnya mengancam hantu kriminalitas, bisa ditebak akan jadi apa anak itu. Memang, sejumlah sekolah pemerintah mencoba menolong anak-anak hitam tanpa bapak itu. Pihak sekolah mencarikan ayah angkat. Tapi mereka yang bersedia menjadi ayah angkat ternyata sangat sedikit. Maka, keluar dari sekolah sebagian besar sekali anak-anak hitam itu tak siap dengan dunia yang kompleks dan penuh tantangan ini. Kenapa itu semua tak terjadi pada anak-anak putih yang juga dibesarkan oleh ibu tanpa bapak? Anak-anak putih itu bisa melihat, mendengar, dan mempelajari bahwa orang-orang putih seperti dia banyak yang sukses. Ia melihat sebuah dunia putih. Itu tak bisa dilakukan oleh anak-anak hitam. Terlalu sedikit, dan terbatas pada bidang tertentu, orang-orang hitam yang sukses. Atas dasar inilah tampaknya bila sebuah survei tentang pengaruh film seri televisi Keluarga Cosby menyimpulkan bahwa film ini tak begitu disukai oleh warga hitam Amerika. Padahal, maksud Bill Cosby, si pemain utama dan pencetus gagasan film ini, agar filmnya bisa menjadi perangsang bagi warga hitam untuk berjuang dan menaikkan taraf hidup mereka. Salah satu kritik terhadap film ini dari kalangan keluarga hitam adalah, sudah sejak awalnya keluarga Cosby kaya, sukses, dan harmonis. Film ini tak menggambarkan bagaimana seorang anak laki-laki kulit hitam harus berjuang keluar dari sebuah lingkungan kumuh dan berbau asap narkotik dengan modal tekat dan kemauan. Maka, tampaknya lingkaran setan masalah orang hitam Amerika bisa ditembus, antara lain bila ada lebih banyak idola di banyak bidang bagi warga hitam. Lebih banyak Cosby, lebih banyak Jesse Jackson yang dalam pemilihan presiden periode yang lalu sempat maju sebagai salah satu calon -- meski kemudian kalah. Dengan kata lain, lebih daripada hanya menghidupkan kembali kebanggaan dan anjuran kosong bahwa bangsa hitam dulu pernah jaya, bahwa filsuf Yunani Socrates mencuri gagasan dari pemikir orang hitam dari Mesir, bahwa diskriminasi bisa dihapuskan, contoh dan perbuatan kongkret bisa lebih punya dampak. Tampaknya, tanpa lahirnya idola warga hitam lebih banyak lagi, kata para pengamat masalah hitam di Amerika, warga kulit hitam Amerika bisa bernasib seperti orang Indian Amerika yang hampir musnah itu. Presiden Lyndon Johnson pernah berbicara di depan Kongres, pada tahun 1965, bila bangsa Amerika tetap terbelah menjadi dua, yakni "orang-orang makmur di luar kota dan si miskin di kota-kota, yang saling menyimpan curiga," Amerika telah menjadikan generasi masa depan adalah generasi yang cacat. Orang Amerika mestinya belum melupakan pidato itu. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo