Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEHARI setelah pengeboman tiga gereja di Surabaya, Ahad pekan lalu, polisi merilis identitas keenam pelakunya. Mereka satu keluarga yang dikepalai Dita Oepriarto. Polisi membeberkan bahwa Dita adalah pemimpin Jamaah Ansharud Daulah (JAD) wilayah Surabaya. "Di sana Dita adalah Ketua JAD," kata Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, Senin pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdiri pada 2015, JAD diotaki Aman Abdurrahman dari dalam penjara Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Aman dibui karena menyokong pelatihan militer di Pegunungan Jalin Jantho, Aceh, pada 2010 dengan mengirim kelompoknya, Tauhid wal Jihad, ke sana. Tauhid wal Jihad dibentuk Aman pada 2009.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Anshori, Ketua JAD wilayah Surabaya sebelum Dita, menceritakan pembentukan JAD saat bersaksi dalam perkara Aman di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, awal Maret lalu. Aman disidang dalam kasus bom Thamrin pada 2016. Ia dijerat kasus ini pada Agustus tahun lalu dengan tuduhan menganjurkan teror, setelah bebas dari bui dalam kasus pelatihan militer di Aceh.
Menurut Zainal, Aman dijenguk banyak pengikutnya di Nusakambangan. Kepada para pembesuknya, Aman kerap memberikan tausiah. Suatu hari pada 2015, Aman meminta mereka membentuk wadah untuk menampung pendukung khilafah. "Akhirnya dibentuk JAD," kata Zainal. Marwan alias Abu Musa ditunjuk sebagai pemimpin pusat JAD. Sedangkan Aman menjadi penasihat, tapi berada di luar struktur.
Pembentukan JAD didahului baiat Aman kepada pemimpin kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Abu Bakar al-Baghdadi, pada 2014 dari balik penjara. Abu Bakar Ba'asyir, yang juga berada di Nusakambangan, ikut berbaiat. Keduanya sama-sama ditahan di Nusakambangan karena terlibat kasus pelatihan militer di Aceh.
Jauh sebelum bersumpah menjadi pengikut ISIS, Abu Bakar Ba'asyir adalah pendiri Jamaah Islamiyah (JI). Bersama Abdullah Sungkar, Ba'asyir mendirikan organisasi ini pada 1993 di Malaysia, tempat mereka kabur dari kejaran Orde Baru sejak 1985 karena kiprahnya di organisasi Negara Islam Indonesia. JI berafiliasi dengan Al-Qaidah, kelompok teroris internasional yang dipimpin Usamah bin Ladin.
Sebelum JI terbentuk, Ba'asyir dan Sungkar mengirimkan pengikutnya ke Afganistan untuk mengikuti pelatihan militer di kamp Mujahidin selama 1985-1991. Mereka yang pernah berlatih di sana antara lain Mukhlas, Imam Samudra, Hambali, dan Dulmatin. Merekalah yang menjadi tulang punggung JI di kemudian hari.
Muhammad Jibriel Abdurahman, anak Abu Jibril, pengamat teroris yang mengikuti pelatihan militer di Pakistan, mengatakan, selama di Afganistan, mereka mempelajari cara menggunakan berbagai jenis senjata, cara meracik bom, dan strategi perang. Sekembali ke Tanah Air, target mereka adalah segala hal yang berhubungan dengan Amerika Serikat. "Waktu itu musuh kami jelas, Amerika dan sekutunya," ujar Jibriel, Selasa pekan lalu.
Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia, Solahudin, dalam kajiannya menyebutkan mereka berangkat ke Afganistan bukan untuk berperang, melainkan buat berlatih militer. Setelah mahir, mereka kembali dengan tujuan mendirikan khilafah. "Itu sebabnya mereka tidak membawa keluarga karena akan kembali," katanya. Dari catatan Solahudin, sebanyak 300 warga Indonesia pernah berlatih militer di Afganistan.
Sekembali mereka dari Afganistan, terjadi rentetan teror. Dari bom Bali I pada 2002 hingga bom di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Kuningan, Jakarta, pada 2009. Para pelakunya adalah alumnus pelatihan militer Afganistan dan pengikutnya. JI pudar setelah tokoh-tokoh utamanya, seperti Noor Din M. Top dan Dr Azahari, tewas.
Menyadari kelompoknya melemah, Ba'asyir mendirikan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2010. Sejumlah sel teroris, di antaranya bekas anggota JI, bekas anggota Majelis Mujahidin Indonesia, kelompok Kompak besutan Abdullah Sonata, Ring Banten, dan Tauhid wal Jihad, bergabung dengan JAT. Mereka kemudian menyelenggarakan pelatihan militer di Aceh.
Di dalam penjara, Ba'asyir kembali bertemu dengan Aman Abdurrahman. Kini justru Aman yang lebih menonjol. Jenderal Tito Karnavian mengatakan Aman melebarkan jaringannya diam-diam. Detasemen Khusus Antiteror Polri terlambat mengetahui pergerakan Tauhid wal Jihad karena mereka berfokus mengawasi anggota JI dan JAT.
Densus Antiteror terperenyak saat kelompok Aman menyerang Masjid Az-Zikra di Markas Kepolisian Resor Cirebon, Jawa Barat, pada April 2011. Bom bunuh diri itu menyebabkan 25 orang terluka. "Ini peristiwa penting yang mulai melibatkan kelompok Tauhid wal Jihad," ujar Tito. Insiden tersebutlah yang memantik Densus mengejar anggota Tauhid wal Jihad. Ada 400 anggota jaringan ini yang kemudian ditangkap Densus.
Di Nusakambangan, Tauhid wal Jihad bersalin rupa menjadi JAD. Setelah itu, sel-sel JAD berdenyut di sejumlah daerah, seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, dan Riau. Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso, yang berbasis di Poso, Sulawesi Tengah, juga bergabung. Sejak itu, sejumlah pengikut JAD melakukan eksodus ke Suriah untuk mendukung kekuasaan ISIS. "Mereka percaya jihad di sana merupakan awal dari peperangan akhir zaman dan adanya keinginan hidup di bawah naungan khilafah," kata Tito.
Dalam kajian Solahudin, pendukung ISIS di Indonesia terserak menjadi lima kelompok. Ada JAD atau Jamaah Ansharul Khilafah Islamiyah, kelompok aktivis Gashibu di Bekasi dan Faksi Abu Hamzah, serta Jamaah Khatibatul Iman pimpinan Abu Husna. Juga sel jihad yang terafiliasi dengan Muhammad Anggih Tamtomo alias Bahrun Naim dan Mujahidin Indonesia Timur.
Kepolisian mencatat ada 1.100 warga Indonesia yang bermaksud berangkat ke Suriah. Separuh di antaranya dideportasi dari Turki sebelum masuk ke Suriah. Beberapa orang berasal dari Jawa Timur. Salah satunya Khalid Abu Bakar, guru dalam pengajian Dita Oepriarto dan Anton Ferdiantono, pemilik bom yang meledak di Wonocolo, Sidoarjo.
Rusman Paraqbueq, Raymundus Rikang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo