Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Antrean truk yang akan menyeberang dari Jawa ke Sumatera pernah menjadi masalah besar. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah berkomentar soal hal tersebut dan meminta pejabat terkait menyelesaikannya. Antrean kendaraan sepanjang belasan kilometer memang tidak hanya mengganggu kawasan di sekitar Pelabuhan Merak, Banten, tapi juga hingga jalan tol yang mengarah ke sana.
Puncaknya terjadi bulan lalu. Antrean panjang itu berbuntut perusakan kantor PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry oleh sejumlah sopir truk. Mereka merasa ada petugas yang memberi perlakuan istimewa kepada para penyelak antrean. Para sopir truk yang menunggu berjam-jam menuduh ada jalur tembak yang disediakan untuk mereka yang mau membayar lebih kepada petugas. Meski polisi sudah menangkap sejumlah orang yang diduga menyulut keributan, permasalahan utama penyebab antrean panjang itu belum ditangani.
Kapal-kapal penyeberangan yang tua, jumlah dermaga yang tak mungkin ditambah lagi, dan cuaca yang tak bersahabat di musim barat adalah sedikit dari persoalan yang belum terselesaikan. Apakah hal itu bisa diatasi PT ASDP? Apakah pembangunan jembatan Selat Sunda, yang tengah direncanakan pemerintah, bisa menjadi solusi utama?
Untuk menjawab hal itu, kami menemui Direktur Utama PT ASDP Indonesia Ferry, Danang S. Baskoro, Rabu pekan lalu. Kepada Andari Karina Anom, Qaris Tajudin, dan juru foto Yosep Arkian, dia menjelaskan banyak hal. Bukan hanya antrean di Merak, tapi juga soal ide-ide menarik menyambung daratan kita yang terserak dalam banyak pulau dari Sabang sampai Merauke.
Antrean di Merak tampaknya semakin parah. Bahkan Mei lalu sampai ada bentrokan. Kenapa hal ini tak kunjung selesai?
Khusus yang terjadi Mei lalu, kemacetan itu terjadi karena kami harus menutup Dermaga 2 untuk pembangunan. Biasanya kalau kapal sandar kan ada ramp door, lidah untuk keluar-masuk mobil. Sekarang kami membuat agar mobil bisa langsung masuk ke upperdeck. Kami harus membuat tiang pancang. Nah, pemancangan tiang membuat kapal tidak bisa bersandar karena berbahaya. Maka tidak ada jalan selain ditutup. Dermaga yang mestinya bisa melayani, sekarang tidak. Itulah yang membuat antrean jadi begitu panjang.
Apakah dampak yang terjadi akibat pembangunan ini tidak diantisipasi?
Kami mengantisipasinya dengan melakukan perbaikan di malam hari atau low season. Masalahnya, pelabuhan kan memang tidak boleh berhenti. Dermaga itu beroperasi 24 jam sehari, 7 hari seminggu, 30 hari sebulan, 12 bulan setahun.
Tapi yang ditutup kan hanya satu dermaga?
Mari kita hitung. Satu dermaga menampung enam kapal. Per hari, satu kapal punya empat trip. Berarti setiap dermaga per hari melayani 24 penyandaran. Kalau satu kapal isinya 70 truk saja, berarti ada 1.680 truk yang melewati satu dermaga per hari. Kalau satu dermaga ditutup, ya, konsekuensinya harus banyak yang antre. Masak, kami mau perbaiki dermaga, enggak boleh? Hanya satu dermaga kok yang kami tutup, itu pun hanya dua minggu. Sekarang sudah selesai, tidak ada kemacetan lagi.
Kami dengar ada soal lain. Sopir truk marah karena ada yang bisa membayar lebih untuk diprioritaskan lewat jalur tembak.
Sebenarnya tidak ada jalur tembak. Yang ada adalah jalur untuk mobil pribadi, bus, dan truk pengangkut bahan makanan. Truk besar tidak boleh masuk jalur itu. Masalahnya, ada oknum bersenjata yang memasukkan truk-truk besar ke jalur khusus itu. Sopir truk lain yang sudah menunggu berjam-jam tentu saja marah.
Tapi kan masalah kemacetan di Merak tidak hanya terjadi sewaktu Dermaga 2 ditutup pada Mei lalu? Sebelumnya juga sudah sering macet.
Kemacetan yang dulu terjadi itu persoalan manajemen saja. Justru saya masuk sebagai direktur utama di sini tugasnya mengatasi macet yang sebelumnya sering terjadi. Dan, selama setahun di sini, saya bisa atasi kemacetan itu.
Bagaimana caranya?
Kami memberdayakan ship traffic controller dan port traffic controller—seperti air traffic control untuk mengawasi pesawat. Kami juga punya radar ARPA (Automatic Radar Plotting Aid), yang bisa memantau kapal ada di mana. Kalau kapal tidak bisa masuk dermaga dalam jadwal yang kami tentukan, dia enggak boleh masuk. Dulu alasan keterlambatan mereka adalah mengisi bahan bakar di tengah laut. Saya tidak melarang itu, tapi kami menyediakan tempat pengisian bahan bakar Pertamina di dekat pelabuhan yang kemurnian dan ukurannya bisa saya jamin.
Apakah itu berhasil?
Sekarang sudah tidak macet. (Danang kemudian mengajak kami menghampiri layar besar di sudut kantornya. Di layar televisi itu ada kotak-kotak kecil yang menyiarkan secara langsung tangkapan kamera CCTV di beberapa titik pada sejumlah pelabuhan: Merak, Bakauheni, Ketapang, dan Gilimanuk). Ini realtime. Lihat, ini 12 jalur untuk truk dan satu jalur khusus di PelabuhÂan Merak. Tak ada antrean sama sekali. Kalau begini, saya rugi karena pemasukan juga kurang, ha-ha-ha….
Kondisi lengang seperti ini kan tidak terjadi setiap hari?
Ya, jumlah truk memang bertambah karena pertumbuhan ekonomi nasional. Angka penyeberangan (truk) meningkatnya luar biasa. Headway (jarak di antara dua kendaraan) truk yang tadinya tiap 14 detik, sekarang tiap 8 detik. Kalau peak Âseason bisa sampai 4 detik. Merak itu pelabuhan tersibuk sedunia. Saya sudah cek ke Yunani, Inggris, dan banyak pelabuhan lain di dunia, tapi tak ada yang sesibuk Merak. Kalau peak season, saya harus menyeberangkan 120 ribu kendaraan dalam waktu 12 jam.
Kalau memang sedemikian padat, mengapa tidak dibuat dermaga baru saja?
Sekarang sudah enggak ada tempat di Merak, karena (tempat tinggal) penduduk sudah enggak keruan. Biayanya terlalu besar untuk membebaskannya.
Masalah lain yang bisa berpotensi mendatangkan kemacetan?
Usia kapal milik operator swasta yang rata-rata sudah tua. Kami ini punya pelabuhannya, tapi kami hanya punya tiga kapal di Merak. Sedangkan 34 kapal lainnya milik operator swasta. Kalau ada kemacetan karena ada kapal yang rusak, langsung yang dituduh ASDP. Itu sebenarnya keliru. Semua kapal kami sehat dan kecepatannya di atas rata-rata.
Bagaimana dengan menambah jumlah kapal di Merak?
Saya baru pulang dari Inggris untuk membeli kapal. Saya targetkan tahun ini dapat empat kapal, yang akan datang bulan Juli. Sekarang masih transaksi, masih tawar-menawar, belum closing. ASDP ini BUMN (badan usaha milik negara) sehingga harus lewat banyak prosedur. Mudah-mudahan nanti bisa dapat enam.
Kasus pengadaan kapal tahun 2003 mengantar sejumlah direktur ASDP dan rekanannya menjadi tersangka korupsi pada 2008. Anda tidak khawatir terpeleset di kasus yang sama?
Buat saya, tak ada hambatan karena (pembelian kapal) enggak ada masalah, tinggal tunggu kapalnya datang. Baik atau buruknya saya kan bisa kelihatan. Kalau pola hidup saya mendadak mewah, bisa dicurigai ada main. Kalau saya masih begini-begini saja, masih galak sama vendor, ya, apa yang mau dicurigai?
Tapi yang Anda beli kan kapal bekas?
Buatan tahun 1980-an akhir. Kapal tidak jadi masalah berusia tua asalkan manajemen perbaikannya bagus. Di Eropa, kapalnya tua-tua, tapi pemeliharaan bagus. Untuk kapal baru, saya harus minta persetujuan tertulis dari Menteri BUMN. Saya sudah mengajukan, sudah dibahas, tinggal tunggu izin tertulisnya.
Idealnya, berapa jumlah kapal yang dimiliki ASDP di Merak?
Kita harus melihat ASDP sebagai bisnis. Harus saya lihat apakah secara ekonomi hal ini bagus. Apakah dengan penambahan 3-4 kapal masih mungkin? Harganya tidak murah, jadi tidak bisa emosional membeli. Kalau manajemennya tidak bagus, biaya bisa membengkak. Bagaimanapun, ini bisnis yang harus penuh perhitungan. Saya tidak mau menggali kubur sendiri. Saya tidak mau tambahkan (kapal) di situ, lalu saya sendiri terperosok di situ.
Jadi, bukan karena "terbentur" pemilik dan operator kapal swasta yang kebanyakan milik pejabat?
Anda lebih tahulah soal ini.
Pembangunan jembatan Selat Sunda kan akan menyelesaikan masalah di Merak?
Saya paling tidak setuju. Adanya wacana pembangunan jembatan Selat Sunda juga membuat operator-operator swasta di Merak sengaja tak mau meremajakan kapal-kapalnya. Selain itu, berapa ratus triliun rupiah yang harus dikeluarkan untuk membangun jembatan? Kenapa uang sebesar itu tidak dipakai untuk membangun jalan bebas hambatan dari Aceh sampai Lampung? Dampak perekonomiannya akan luar biasa kalau jalan Trans-Sumatera bisa bagus. Sumatera akan menjadi pulau terkaya.
Tapi, tanpa jembatan, kan masih ada masalah penyeberangan? Kalaupun Anda bisa mengatasi soal manajemen pelabuhan, tetap ada faktor cuaca. Di musim barat, kapal kerap gagal berlayar karena gelombang tinggi.
Dengan Rp 1 triliun saja saya bisa buat breakwater hingga dermaga-dermaga seperti berada dalam kolam. Mau musim apa pun kapal bisa bersandar di dermaga tanpa terganggu gelombang tinggi.
Tapi Anda tidak bisa mengelak, perekonomian akan meningkat karena adanya jembatan Selat Sunda.
Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) dibangun dengan biaya sangat mahal dengan maksud meningkatkan perekonomian di Madura dan mengalihkan industri dari Surabaya ke Madura. Tapi apakah sekarang ada industri yang pindah ke sana? Tujuan semula tercapai atau enggak?
Anda tidak setuju dengan adanya jembatan Selat Sunda karena jelas-jelas akan mematikan bisnis ASDP di Merak yang sangat menguntungkan?
Itu bukan masalah. Contohnya pembangunan Suramadu. Kapal kami di sana masih beroperasi, bahkan beruntung. PelabuhÂan memang rugi karena pembangunan infrastruktur awalnya mahal. Kami juga bisa mengalihkan sumber daya ke tempat lain. Selain itu, Pak Dahlan (Iskan, Menteri BUMN) enggak menuntut profit, tapi (peningkatan) pelayanan.
Berapa pelabuhan ASDP yang masih untung?
Dari 154 lintasan, mungkin hanya 48 yang untung. Banyak yang dikategorikan sebagai pelabuhan perintis atau penugasan, terutama di pulau-pulau terluar, seperti Sinabang, Siberut, dan Sikakap. Kalau tidak dilayani ASDP, mereka terisolasi. Di pelabuhan semacam ini, ASDP jelas rugi. Swasta juga tak mau masuk karena rugi. Tapi kami tetap harus beroperasi karena bagaimanapun itu adalah bagian dari negara kita.
Itu bukan berarti Anda boleh rugi, kan?
Dulu laba ASDP Rp 55 miliar, sekarang setelah setahun saya pegang naik menjadi Rp 127 miliar. Bahkan penjualannya sudah tembus Rp 1 triliun lebih. Keuntungan didapat dengan memeras keringat lebih banyak. Misalnya, di lintasan Ketapang-Gilimanuk, dulu kapal melintas setiap 30 menit, sekarang jadi 11 menit sekali. Kapal tidak ditambah, tapi rit (perjalanan bolak-balik) lebih sering.
Di masa depan, apakah feri masih dibutuhkan?
Justru saya melihat masa depan ada di laut. Dulu orang mengangkut barang dengan kapal, tapi itu kurang ekonomis dan tidak praktis. Barang harus dimasukkan ke kontainer, masuk gudang, diangkut kapal, masuk gudang lagi, lalu dibawa truk lagi. Dengan feri, barang tinggal diangkut sekali ke atas truk dan dibongkar ketika sampai tujuan. Trennya memang begitu. Orang sekarang mengirim sepeda motor dari Jakarta ke Padang enggak ada lagi yang lewat Tanjung Priok. Kami juga berencana membangun pelabuhan feri dekat Jakarta agar truk-truk besar tak perlu lagi lewat jalanan Pantura (Pantai Utara Jawa). Truk Jakarta-Surabaya bisa lewat laut. Dengan feri berkecepatan 20 knot (38 kilometer per jam), waktu tibanya kurang-lebih sama.
Lalu kenapa ini tidak jalan?
Political will. Mana ada keberpihakan negara pada penyeberangan? Padahal kami ini menghubungkan seluruh Indonesia. Semua orang sekarang pikirannya ke tol dan jalan darat, bukan ke pelabuhan dan dermaga. Kita luar biasa sudah dikasih Tuhan. Move to the water, enggak usah buat jalan, enggak usah memelihara, sudah dikasih Tuhan. Kalau sudah diciptakan Tuhan, manfaatkan. l
Danang Sotyo Baskoro Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 5 Oktober 1961 Pendidikan: S-1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, lulus 1989 l S-2 Management, University of Nashville, Amerika Serikat, lulus 1994 Karier: Direktur Utama PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Indonesia Ferry, Mei 2011-sekarang |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo