SEJARAH, kata orang, terlalu bermanfaat untuk hanya menjadi
urusan ahli sejarah. Barangkali kata-kata itu yang ada dalam
kepala para pendiri Yayasan Idayu--yang kemudian bergiat dalam
bermacam hal yang berkait dengan sejarah Indonesia. Pada Hari
Sumpah Pemuda 28 Oktober, yayasan yang namanya diambilkan dari
nama ibunda Bung Karno itu, Ida Ayu, genap 15 tahun berdiri.
Pada awalnya Idayu hanya menyelenggarakan perpustakaan.
Modalnya: buku-buku sejarah tentang Indonesia terbitan mana
saja, yang dikumpulkan Masagung sejak lama. Dia, pemilik PT
Gunung Agung, bersama Adisuria dan Ny. Mualif Nasution memang
pendiri yayasan ini.
Tapi sebenarnya kegiatan yang kemudian memberi ciri khas baru
dimulai pada 1974--berupa ceramah dan penerbitan. Berkat
Gubernur DKI (waktu itu) Ali Sadikin, yang memberikan sebagian
kompleks Gedung Kebangkitan Nasional untuk ditempati Idayu,
keleluasaan bergerak terbuka. Diadakanlah secara rutin ceramah
para tokoh perjuangan. Mereka antara lain Bung Hatta almarhum,
Dr. Roeslan Abdoelgani, Ali Sastroamidjojo almarhum, Dr. T.B.
Simatupang, Mr. Syafruddin Prawiranegara, misalnya.
"Saksi sejarah semakin langka. Dan itulah yang hendak kami
selamatkan," kata Masagung kepada TEMPO. YI kemudian memang
dikenal yayasan yang banyak mendokumentasikan dan menerbitkan
berbagai kesan, pikiran, kenang-kenangan dan data sejarah dari
tangan pertama.
Dan itu semua memang bukan kerja dagang. "Yayasan Idayu itu
nonkomersial," kata Bung Hatta almarhum, pelindungnya sejak 1974
sampai wafat. "Tujuannya menyediakan bahan yang diperlukan
angkatan muda, sebagai yang bertanggungjawab atas nasib bangsa
Indonesia mendatang." Maka Soemarmo, Ketua Badan Pelaksana
yayasan ini bisa menyodorkan data tentang berapa besar
"kerugian" yayasan di bidang keuangan.
Manusia Indonesia
"Soalnya kami tetap berjalan pada garis yang telah ditetapkan:
menerbitkan buku-buku perjuangan yang bisa menjadi cermin
generasi muda," kata Soemarmo. Ia menambahkan, Idayu sama sekali
uk berniat menerbitkan misalnya novel--"meski novel itu penting
dan laris."
Hingga kini ada sekitar 100 judul buku terbitan yayasan ini yang
menyangkut peristiwa dan tokoh sejarah.
Rata-rata dicetak 3 - 5 ribu eksemplar --dan hampir semua saja
seret lakunya. Kecuali buku Manusia Indonesia Mochtar Lubis,
yang hingga kini telah dicetak ulang empat kali 10 ribu
eksemplar.
Untunglah sumbangan berbagai pihak, terutama pihak Masagung
sendiri, memang besar. Lantas adakah yang boleh dibanggakan,
sebagai imbalan kerugian? Menurut Soemarmo, kalau toh belum
nampak sekarang, manfaat bukbuku Idayu akan terlihat nanti
setelah tokoh-tokoh sejarah itu berpulang.
Toh buah yang dihasilkan Idayu tidak bisa dikatakan sempurna.
Seorang sejarawan UI misalnya melihat keterus terangan seorang
tokoh mengenai.peristiwa sejarah masa lampau, kalau hendak
dipublikasikan, tentulah disesuaikan dengan "situasi sekarang".
Itulah agaknya mengapa buku-buku Idayu yang merupakan
transkripsi ceramah para tokoh tidak begitu menarik.
Masalah itu memang tidak hanya di hadapi yayasan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini