SI Raja Mobil Henry Ford bukan cuma punya nama besar. Tapi dalam dirinya ia pun mempunyai persoalan pelik. Pendiri perusahaan yang di tahun 1910-an merajai Amerika ini -- waktu itu satu dari tiga mobil di AS adalah buatan Ford -- ternyata tak pernah berhasil membuat anaknya melanjutkan kerajaannya. Dan itu bukan karena Edsel Ford, anak itu, seorang yang tolol. Edsel Bryant Ford diangkat menjadi Presiden Ford Motor Company ketika masih 25, persis di akhir tahun 1918. Dan itu bukan karena ia mentang-mentang seorang putra mahkota. Tragisnya, hubungan antara Presiden dan Chairman FMC, yang juga hubungan antara anak dan bapak, tak mengesankan dua orang yang bekerja sama menggerakkan roda produksi. Edsel seorang pekerja yang gigih dan tepat waktu. Ia datang di kantor sebelum pukul 9.30, dan terus bekerja sepanjang hari, tak pernah membiarkan map-map menumpuk di mejanya. Konon, Presiden Ford ini tak pernah terlihat santai di kantor, misalnya menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, lalu menaikkan kakinya ke meja, kemudian membaca surat kabar. Ia tak pernah menyia-nyiakan waktu dengan cara seperti itu. Dan bagi orang luar, Ford pendiri tak mungkin bisa mendapatkan calon penggantinya sebaik dia: cerdas, rajin, penyabar, dan penurut. Repotnya, si ayah, genius Ford memang seorang yang sangat besar. Seorang yang tampaknya sulit mempercayakan karya besarnya yang lahir pada 1903 di Detroit, AS -- ya, company itu -- ke tangan orang lain, termasuk anaknya sendiri. Seorang yang selalu "salah" menilai, atau memang sengaja selalu menyalahkan anaknya, sampai si anak menutup riwayat hidupnya. Dan tujuan Ford bukan buruk sebenarnya. Ia -- yang menganggap Edsel anak yang lemah -- merasa perlu memberikan pelajaran keras. Tapi itu memang sebuah contoh bagaimana kebesaran seorang ayah bisa mematikan langkah si anak. Bukan cuma Edsel kemudian tak mencatat prestasi gemilang, FMC pun diancam runtuh, seandainya Ford tua, yang tiranik itu, tetap mengukuhi companynya. Untunglah, cucunya, Ford II, anak Edsel, mampu meyakinkan kakeknya bahwa perusahaan harus diserahkan kepada yang muda. Ford kemudian bangkit lagi. Tapi tetap saja, di lingkungan kerajaan ini muncul kisah-kisah unik sekitar hubungan antara manusia, nasib, dan pekerjaannya. Kali ini, bukan cuma kisah Ford II di pabrik, tapi juga cerita-cerita rumah tangganya yang kacau -- sebagaimana dikisahkan oleh Robert Lacey dalam buku baru tentang dinasti Ford. Buku itu sebagian isinya dikutip surat kabar The Sunday Times, Singapura, Juli lalu. Kutipan ini dimulai dengan cerita bagaimana akrabnya hubungan Ford tua dengan Edsel -- keakraban yang menyembunyikan kehampaan di belakangnya, yang mengakibatkan sejumlah kasus aneh di perusahaan Ford. * * * Henry dan Edsel, sejak kecil, sebenarnya sangat akrab. Sulit menemukan hubungan bapak/anak yang lebih kental dari mereka. Mereka sama-sama suka dan selalu asyik berdiskusi mengenai mesin. Ketika Edsel menjadi presiden FMC (Ford Motor Company), Henry selalu bangga berpose bersama anaknya di depan juru foto. Ada satu foto yang sangat disenangi Henry: Mereka berdua duduk berdampingan di sebuah kursi kayu tua bersandaran tinggi, wajah mereka hangat dan terang oleh nyala api kayu di perapian. Foto ini dijadikan kartu natal keluarga. Tak ada hari tanpa mereka lewatkan berdua, untuk ngobrol atau bekerja bersama selama beberapa jam. Jika salah satu dari mereka bepergian, komunikasi tetap terjalin lewat surat. Tetapi, memang, terasa ada sesuatu yang kurang pada hubungan itu. Dalam semua surat dan pesan-memo antarmereka, yang penuh kata-kata dan penuh detail, tak banyak emosi yang tampil. Boleh dibilang, surat itu tanpa perasaan atau ungkapan yang menggambarkan hubungan emosi yang mendalam antara bapak dan anak. Masalah-masalah serius pun jarang muncul: Anak-anak sehat-sehat saja, matahari cerah, mobilku rusak, pikniknya menyenangkan. Itulah tema khas surat mereka. Dan hanya itu. Mereka memang sering terlihat berdua, asyik berdebat, sambil berpegangan tangan atau berpelukan. Lalu keduanya tertawa jika ada yang melucu, atau mendiskusikan persoalan yang sama-sama mereka minati. Namun, di balik semua keakraban itu, ternyata sebuah kehampaan yang sering ada pada hubungan ayah dan anak, menentukan segalanya di kemudian hari. Hubungan yang kosong itu menyebabkan mereka tidak mampu membicarakan hal-hal yang benar-benar penting. Akibatnya, kebanggaan dan rasa persaingan, harapan dan kekecewaan silih berganti. Bahkan, boleh dikata, kemudian hubungan antara Henry dan Edsel makin penuh kontradiksi. Pada 1923, ketika umurnya 60 tahun, Henry sering bilang bahwa ia akan mengundurkan diri pelan-pelan. Tetapi tak seorang pun percaya. Lihat saja, sikapnya terhadap Edsel makin keras. Ia makin tak mempercayai anaknya. Begitu retaknya hubungan mereka hingga tiap inisiatif Edsel selalu mendapat reaksi Henry. Bahkan, meski Edsel cuma mengatakan bahwa besok hari pasti cerah -- demikian bunyi sebuah lelucon tahun 20-an -- dengan segera orang akan bertanya, "Apakah Henry Ford sudah tak meramal cuaca lagi?" Henry Ford memang tokoh yang susah untuk diikuti. Berada di bawah bayang-bayang seorang jenius semacam itu, yang bisa dilakukan Edsel hanyalah tak melakukan apa-apa. Repotnya, Edsel serba salah. Melawan bapaknya, rasanya itu tak mungkin. Tapi dengan merendah dan menuruti segala kemauan ayahnya, bukannya membuat sang ayah menyimpulkan bahwa Edsel penurut dan menyayangi bapaknya. Sikap itu justru membuat Henry berkesimpulan bahwa anaknya mempunyai kekurangan fatal. "Anak itu lembek," keluhnya. Dan karena itulah, sebagai ayah, ia merasa wajib menjadikan anaknya lebih keras. Demi anaknya sendiri, demi perusahaan. Dan di sinilah tragedi itu terletak. Henry, dengan niat luhurnya -- niat awalnya setidaknya -- membuat hidup Edsel penuh dengan siksaan batin. Dia memberi dengan satu tangan, tetapi ketika Edsel baru mau menikmatinya, pemberian itu diambil kembali dengan tangan yang lain. Suatu saat Edsel mendirikan serangkaian tungku batu bara baru di pabrik. Henry, di muka anaknya, memperlihatkan sikap setuju. Tetapi pada saat yang sama ia berkata kepada Harry Bennet, tangan kanannya, "Begitu Edsel selesai membangun tungku-tungku itu, aku akan melantakkannya." Itulah yang memang ia lakukan. Henry sebenarnya bisa mendiskusikan hal itu dengan anaknya sebelumnya. Atau, jika mau, dia bisa menyuruh menghentikan rencana si anak. Tetapi, dengan mendiamkan dan lalu menghancurkan pekerjaan yang hampir rampung, menurut dia, akan memperkuat rasa sakit si anak dan dengan demikian pengobatannya pun jadi lebih mantap. Inilah cara mendidik si anak anak agar mempunyai semangat kerja keras, gaya Ford. John R. Davis, seorang tenaga muda di bagian penjualan, pernah merasakan terapi semacam itu. Itu terjadi ketika dia berhasil membujuk Edsel untuk membangun gedung perkantoran baru buat ruang kerja bagian penjualan dan keuangan yang makin berkembang di awal 1920-an. Gedung baru yang dibutuhkan itu pun segera dirancang, dan Edsel langsung mengeluarkan perintah pembangunannya. Saat itu Henry Ford sedang pergi. Ketika dia pulang, pembuatan fondasi sudah dimulai. "Ada apa itu?" tanya dia kepada Edsel sambil menunjuk ke luar jendela, ke sejumlah pekerja yang hilir-mudik di luar. Edsel pun menerangkan bahwa perusahaan berkembang, bahwa dibutuhkan ruangan-ruangan baru, dan karenanya dibutuhkan gedung baru. "Ruang? Ruang buat siapa?" selidik ayahnya. Di situlah Edsel membuat kesalahan taktis. Menurut Davis, semuanya akan beres-beres saja jika Edsel hanya menekankan perkembangan bagian penjualan. Itu memang alasan utama pembangunan gedung, dan urusan penjualan adalah pokok yang dimengerti Henry. Pagi harinya kantor dan menjumpai para karyawan bagian penjualan berputarputar kebingungan di tempat parkir. Ternyata, mereka kehilangan kantor. Ruanganmereka yang penuh sesak di lantai empat gedung lama, sore hari sebelumnya telah dikosongkan. Semua meja, kursi, filing cabinet dan karpet, dipindahkan. Bahkan, telepon pun sama sekali tak ada. Siangnya, mereka mendapat kabar bahwa bagian mereka dibubarkan saat itu juga. Semua karyawan bagian itu, yang sudah bekerja bertahun-tahun buat Ford, diberhentikan. Tak lama kemudian Henry memanggil anaknya. Dan dengan tersenyum ia berkata, "Edsel, jika kamu butuh ruangan lagi, ada banyak di lantai empat." Setelah itu, berminggu-minggu Edsel harus mencarikan pekerjaan buat semua karyawan yang dipecat. Itu dia lakukan dengan memasukkan mereka secara tersamar pada bagian-bagian lain. Demikianlah selama 1920-1940, ayah dan anak melakukan permainan seperti itu. Dan yang menyedihkan, lebih dalam Edsel takluk, lebih keras Henry menyiksanya. Dan makin terluka Edsel, makin tak berdaya pula dia. Puncaknya terjadi ketika Model T mulai tak laku sejak pertengahan 1920-an. Konflik mereka sudah menjadi masalah sehari-hari. Buat Henry Ford, Model T tak hanya barang dagangan dan barang ciptaan, tetapi juga soal harga diri dan identitas. Sementara itu, bagi Edsel, masa depan perusahaan tak bisa hanya digantungkan pada satu mobil itu saja. Serangan terhadap Model T, bagi Henry adalah serangan terhadap pribadinya. Tapi buat Edsel, buat generasi baru yang harus melihat ke depan, masalahnya begitu jelas -- sejelas yang dilihat para pengusaha Detroit lain. Yakni, Model T harus menyingkir. Henry Ford melihatnya dengan kaca mata lebih sederhana: jika Model T tak laku itu karena bagian pemasaran tak becus. Menghadapi keadan seperti itu, sebagai anak dan ayah mestinya mereka lalu berdiskusi sambil minum, main golf, atau menidurkan cucu, misalnya. Tetapi, baik Edsel maupun Henry merasa tak mungkin membicarakan masalah yang pasti penuh emosi itu hanya berdua-dua. Edsel bahkan merasa perlu dukungan luar sebelum membicarakannya dengan sang ayah. Dukungan semacam ini ia dapat terutama dari Ernest Kanzler, seorang manajer senior Ford dan kakak ipar Edsel. Orang ini sudah lama bosan dengan tirani bapak mertua adiknya. "Mengapa sih, Mr. Ford tak mengambil saja mainannya," serapah dia suatu saat. "Lalu main-main di luar dan membiarkan kami mengatur pabrik?" Kanzler menganggap Edsel adalah inti struktur manajemen Ford baru yang harus segera dibentuk untuk menggantikan manajemen Henry yang acak-acakan. Pada 1923, Edsel membujuk ayahnya supaya mengangkat Kanzler sebagai vice president yang punya kursi di dewan direktur. Dan dengan demikian, Kanzler bekerja langsung di bawah Edsel. Dengan cara itu mereka ingin mempunyai posisi yang leluasa dari kekangan Henry. Mereka berharap, kemudian, Ford bisa memulai meniru gaya manajemen General Motor yang lebih halus dan rapi. Namun, celaka, Henry memandang Kanzler dengan jijik. Buat dia, orang itu sekadar duduk "di pangkuan Edsel". Sebuah memorandum dari Kanzler kepada Henry, pada Agustus 1926, tentang perlunya model baru, mengakhiri masalah. Ketika Edsel berada di Eropa, Kanzler pun tak menutup-nutupi niatnya untuk hengkang. Kepada orang yang bertanya ia selalu bilang mengundurkan diri. Tetapi semua orang yakin, ia ditendang Henry. Ketika Edsel pulang, dengan mati-matian ia berjuang supaya Kanzler bisa masuk lagi. Tetapi semuanya terpaksa sia-sia. Kanzler tak pernah mendapatkan kembali pekerjaannya. Yang didapatkan Edsel cuma ini: Henry akhirnya setuju untuk membuat model mobil baru sebagai pengganti Model T. Tapi ia tak tahu mengapa ayahnya berubah pendapat. Sementara Ford jalan terus, pertarungan ayah dan anak ini meluas ke medan baru. Yakni, ke Guardian Group, sebuah konglomerat perbankan, yang didirikan Kanzler setelah dia keluar dari Ford. Orang yang ditendang itu mendirikannya pada 1927, dan semua orang tahu dia memperoleh dukungan dana dari Ford. Dalam dua tahun ia telah menjadikan konglomerat perbankan itu terbesar di Michigan. Keterlibatan Edsel di Guardian adalah usahanya untuk bertindak selaku pengusaha yang betul-betul pengusaha. Ia ingin merdeka dari ayahnya. Bahkan ia menunjukkan sebuah sikap menentang terhadap Henry. Ia ingin membuktikan bahwa dia bisa mengatur usaha sendiri, bahwa dia mampu bekerja tanpa dibayang-bayangi sang ayah. Di Guardian, Edsel menjadi salah seorang direktur dan penopang dana utama. Dan ini betul-betul tantangan serius buat Henry. Sejak dulu ia selalu membenci para bankir, rentenir, dan spekulator. Sedihnya, dalam hal ini ternyata Henry pula yang akhirnya menang. Itu terjadi ketika depresi besar mulai melanda Amerika pada 1929. Harga-harga saham dan surat berharga lain di Wall Street hancur, dan Guardian segera merasakan akibatnya. Saat itu memang zaman susah. Zaman ketika banyak pengusaha lebih suka terjun dari puncak pencakar langit, dan mati, ketimbang melihat perusahaannya hancur. Henry sebenarnya bisa menjadikan kasus Guardian sebagai kesempatan besar untuk menista anaknya lebih lanjut. Untuk memberinya pelajaran paling keras. Tetapi, herannya, itu tak dilakukannya. Tak ada yang tahu yang terjadi antara ayah dan anak ini pada Februari 1933. Keduanya merahasiakannya, dan ini adalah satu-satunya rahasia yang tak pernah mereka katakan kepada orang luar. Tanpa membuang waktu sedetik pun, kala itu Henry segera menolong Edsel dari kesulitan. Ia memerintahkan mentrasfer beberapa juta dolar uang perusahaan ke rekening pribadi Edsel, dan Edsel pun selamat dari kehancuran karena Guardian. Herannya lagi, Henry cuma berhenti di sini. Ia sama sekali tak berminat membantu Guardian, atau bank-bank lain di Detroit. Tak satu sen pun uangnya yang dia pakai untuk itu. Jika kehancuran memang akan tiba, kata dia, "biarkan saja ia tiba." Dan bagi Edsel, akibatnya benar-benar menyedihkan. Pada Juli 1933, Henry Ford merayakan ulang tahun ke-70. Upacara ini seharusnya jadi acara pengalihan kekuasaan dari dia ke Edsel. Itu ternyata tak terjadi. Henry, kepada khalayak, hanya mengatakan bahwa ia memang berniat melakukan hal itu, bahwa ia memang sangat ingin menyerahkan kekuasaan kepada Edsel. Tetapi, katanya, karena kesulitan yang dihadapi Guardian, keinginan itu kini lenyap. * * * Pada akhir 1930, Edsel memberi tahu dokter-dokter Rumah Sakit Ford di Detroit bahwa ia merasa perutnya tak beres. Para dokter itu pun melakukan serangkaian tes -- yang paling lengkap yang bisa dilakukan di RS itu. Tetapi Edsel, seorang yang rewel, tak tahan dengan menu yang dipilihkan buat dia. Kanker mungkin bisa disetop pertumbuhannya jika ditemukan sejak dini. Tetapi, ketika Edsel akhirnya masuk kamar operasi untuk membuang separuh ususnya, tumor ganas itu telah menyebar ke mana-mana. Tak lama kemudian bahkan-muncul pula di hati. Henry Ford, si ayah, tak tampak menaruh simpati atas penderitaan anaknya. Henry hanya mengulang berpetuah, yang sebelumnya sudah berkali-kali ia katakan kepada Edsel. Tak ada satu pun kesulitan yang tak bisa disembuhkan, jika Edsel mau mengubah gaya hidupnya, katanya. Menurut dia, anaknya terlalu menggemari kehidupan dekaden dan minum cocktail. "Jika ada yang salah dengan kesehatan Edsel," tuturnya, "dia bisa memperbaikinya sendiri. " Henry sejak dulu memang suka memberi petuah kepada Edsel untuk hidup benar, makan benar-benar, maksudnya, sesuai dengan asas-asas Henry Ford sendiri. Ia percaya bahwa penyakit dan kejahatan disebabkan oleh "campuran yang salah dalam perut" dan dia adalah penentang fanatik makanan-makanan yang diawetkan, dan pendukung menu segar seperti sayur-sayuran terutama kedelai. Yang memperburuk kesehatan Edsel adalah ketakmauan dia untuk meninggalkan pekerjaan, meski istrinya, Eleanor, telah membujuknya. Di saat-saat akhir hidupnya Edsel boleh dibilang selalu dalam keadaan koma, terpengaruh oleh obat-obat yang harus dia makan. Kondisi fisiknya yang hancur. Tak ada gunanya lagi rumah sakit. Dokter-dokternya tahu, tak ada lagi yang bisa mereka lakukan buat dia. Ketika Henry Ford diberi tahu, pada 18 Mei 1943, bahwa anaknya sekarat, dia tak mau percaya. Dia menuntut dokter-dokternya harus mampu membuat Edsel sehat kembali. Dini hari, 26 Mei 1943, dokter jaga keluar dari kamar Edsel dan memberi tahu Eleanor bahwa suaminya baru saja meninggal. Saat itu adalah 5 bulan sebelum ulang tahun Edsel ke-50. Penyebab kematiannya sulit ditentukan: apakah kanker usus, kanker hati, demam periodik, ulcer, atau macam-macam penyakit lagi yang susah dispesifikasikan. Barangkali yang paling benar adalah diagnosa teman-temannya, yang tahu bagaimana cinta dan siksa mengaduk-aduk kehidupan Edsel. Edsel Bryant Ford meninggal, kata mereka, karena patah hati -- patah hati dengan ayahnya. Si bapak sendiri barangkali juga menyadari hal itu. Konon, beberapa saat setelah kematian anaknya ia bertanya kepada Harry Bernett, pembantu dekatnya, "Coba katakan terus terang, apakah aku kejam terhadap Edsel?" Bennett, orang yang paling dibenci Edsel karena dianggap perintangnya yang utama, menjawab, "Kejam mungkin tidak, tetapi Anda sungguh tidak adil terhadap dia. Kalau saya jadi dia, tentu saya sudah gila." * * * Edsel meninggal tanpa sempat mendobrak kekuasaan ayahnya. Hanya saja, dia meninggalkan seorang anak yang mampu meneruskan tugas yang tak diselesaikan oleh bapaknya: Henry Ford II yang baru 21 tahun ketika ayahnya meninggal. Hanya dua tahun setelah ayahnya meninggal, dengan bantuan ibunya, neneknya, dan Ernest Kanzler, Henry Ford II berhasil menggeser Henry tua dan menjadi penguasa tertinggi Ford Motor Company. Ia pun segera melakukan perombakan total. Saat itu, FMC benar-benar habis-habisan. Bukan saja kedudukannya sempat tergeser oleh Chrysler, keuangannya pun sudah megap-megap. Ford II berhasil. FMC mulai sehat kembali, dan akhirnya, pada 1956, perusahaan mobil itu go public. Ernest Breech pembantu utama Henry II selama masa konsolidasi diangkat sebagai chairman, sementara Henry II sendiri menjabat presiden perusahaan. Bersamaan dengan mantapnya FMC, muncul pula persoalan baru. Kali ini bukan antarkeluarga, tetapi antara yang punya uang (Henry) dan orang-orang gajiannya. Dan ini persoalan yang tak habis-habis mewarnai sejarah FMC, sampai saat ini. Puncaknya ketika Lido Iacocca, atau populer disebut Lee Iacocca, Presiden FMC sejak 1970, diberhentikan pada 1978. Bisa jadi, persoalan itu muncul justru karena FMC berkembang. Setelah company ini menjadi lebih tampak sebagai perusahaan modern pada 1956, kehidupan di perusahaan itu jadi lebih berjenjang. Eksekutif di lantai XI, di kantor yang baru yang disebut World Headquarters, boleh menaruh pohon palma dan reproduksi Monet di kamarnya. Yang di lantai XII bisa memiliki sofa dan ruang tamu pribadi. Hidup menjadi lebih formal. Sekretaris dan asisten pribadi mulai berkuasa, dan tak ada lagi orang keluar masuk ruangan seenak jidat. Harus ada janji temu dulu. Dan itu berpengaruh pada jenjang pimpinan puncak. Ketika mulai berkuasa, Henry dan Ernie (panggilan Ernest Breech) sangat akrab. Boleh dibilang, dua orang ini sudah menyatu. Pikiran mereka sama kata-kata mereka tak pernah bertentangan. Jika, toh, ada pendapat mereka yang berbeda, mereka akan mengkompromikannya dulu sebelum dimasyarakatkan. Henry Ford II sampai saat ini suka mengatakan, Ernest adalah eksekutifnya yang paling dekat dengannya, yang benar-benar bisa dianggap sebagai kawan. Kini, di kantor baru, dengan taman di atapnya, dengan pandangan yang menakjubkan ke pencakar-pencakar langit Detroit, mereka tak lagi bisa merasakan kebersamaan seperti dulu. Saat itu memang belum sampai terjadi perang dalam perusahaan -- belum. Yang terjadi barulah perpisahan yang lebih halus, lebih pelan, seperti perkawinan yang mulai kehabisan madunya. Gejala itu paling terasa di studio desain. Di situ para karyawan boleh bingung, siapa sebenarnya yang berkuasa. "Buang bagian itu," kata chairman. "Pasang lagi," perintah presiden ketika dia lewat satu dua hari kemudian. Dari hasil akhir silang perintah itu memang bisa dilihat ke arah mana angin di puncak pimpinan berembus. Tapi tetap tak jelas diketahui, siapa sebenarnya penguasa tertinggi di company ini. Makin lama pertentangan halus itu makin sering terjadi antara dua sahabat itu: Henry dan Ernie. Eugene Bordinat, seorang desainer muda yang ambisius, yang cukup punya instink politis, melihat dan mencatat betapa tersiksanya Mr. Ford oleh semua itu. Tetapi juga betapa seringnya Mr. Ford akhirnya menang. Konon, Henry sering mengakhiri perselisihan terselubung itu dengan sebuah kalimat sopan, "Ernie, aku kini telah lulus, 'kan?" Rupanya, Henry muda sudah merasa tak memerlukan pendamping lagi. Sudah tiba saatnya untuk melepaskan sang pilot. Ketika Ford mulai go public, kedua orang itu memang sudah membuat satu gentleman agreement bahwa suatu saat Henry II akan mendapat peran yang lebih menentukan. Itu satu versi tentang hubungan mereka yang diomongkan dari mulut ke mulut, di zaman itu. Ada pula versi lain. Begini. Suatu hari diadakan meeting para manajer senior di Hotel Greenbrier, Virginia Barat. Semua eksekutif senior, termasuk Ernie Breech, diminta memberikan presentasi kepada Henry, dua hari sebelum pertemuan dimulai. Lalu, pada pertemuan itu, setelah semua persentasi disampaikan, Henry sendiri kemudian berdiri untuk membacakan pandangannya tentang masa depan perusahaan -- yang, katanya, sudah dia renungkan matang-matang. Dan, pandangan itu dalam banyak hal penting berbeda dari pandangan yang disampaikan Ernie. Juli 1960, Ernest Breech menyampaikan pengunduran dirinya sebagai chairman Ford Motor Company. Henry Ford lalu merangkap jabatan presiden dan chairman sekaligus, selama beberapa bulan. Waktu itulah tak lagi ada seorang pun yang bingung, siapa yang sebenarnya berkuasa. Dan memang mulai saat itulah kebingungan tak lagi ada di Ford. Sebab, empat bulan kemudian, ia mengangkat orang keduanya yang baru, dan sekaligus mengakhiri ketidakjelasan jabatan mana yang lebih penting. Chairman Ford, katanya, akan dibantu oleh Presiden McNamara, yang sebelumnya menjabat vice president yang membawahkan semua divisi Mobil dan Truk. Nah, siapa berjalan paling depan, terang sudah. Tak seorang pun di Ford meragukan kemampuan Robert Strange McNamara. Dia telah membawa FMC mengatasi persaingan dengan Chevrolet. Dia pun telah melempangkan jalan ke pasar mobil setengah mewah. Dia telah pula berhasil memukul banyak mobil merk impor dengan mobil kecilnya, Ford Falcon. Tak seorang pun ragu bahwa ia akan mampu menyumbang lebih banyak lagi buat kemajuan Ford setelah menjadi presiden. Sayang, itu tak bisa dilakukannya. Tanggal pengangkatan McNamara adalah pula tanggal kemenangan tipis John Fitzgerald Kennedy atas Richard Nixon. Dan sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru, Kennedy mengangkat McNamara sebagai menteri pertahanan setelah yang terakhir ini menolak jabatan menteri keuangan. * * * Henry Ford II dibesarkan dalam lingkungan otokrasi. Kakeknya, Ford pendiri FMC, telah dengan baik memberikan contoh bagaimana buruknya sistem kekuasaan hanya berada di satu tangan itu. Maka ia pun lalu mencari pasangan baru. Tapi siapa? Menurut Henry Ford II, pertama kali ia melihat Lee Iacocca adalah pada bulan November 1960, ketika dia memanggil salesman muda itu ke kantornya untuk diserahi tugas memegang divisi Ford. Divisi Ford adalah divisi paling elite dalam FMC. Diciptakan pada 1949, divisi itu mengkoordinasikan pengembangan, produksi, dan penjualan semua mobil dengan label Ford (di FMC ada mobil dengan label lain: Lincoln dan Mercury). Dengan mengepalai divisi ini, Lee menerima pula jabatan vice president. Adalah McNamara sendiri yang merekomendasikan pemuda berumur 35 tahun itu untuk jabatan setinggi itu. Untunglah, salesman dari Allentown, Pennsylvania, itu membalas kepercayaan yang diberikan kepadanya tak tanggung-tanggung: Sebuah mobil baru, yang dengan segera melipatgandakan angka penjualan Ford, diciptakannya. Itu terjadi pada 1964. Iacocca tampaknya tahu selera zaman. Tahun 60-an adalah dasawarsa dengan gaya sendiri, dengan jenis musik sendiri, dengan revolusi seks. Lee Iacocca mengemas semua itu jadi satu, menaruhkannya di empat roda -- dan menjadikan dirinya pencipta mobil baru di Ford. Diperkenalkan pada 17 April 1964 di New York, di tengah pesta World Fair: Ford Mustang. Dengan garis-garisnya yang pendek dan gemuk tetapi lembut, mobil itu segera membawa sensasi sendiri, dan menjadi klasik. Berharga dasar cuma US$ 2.368, mobil itu tampak dan terasa berharga dua kalinya. Orang-orang pun segera berebut membelinya. Ini membuat angka penjualan Ford berlipatganda. Lebih dari itu, jenis Mustang menciptakan sektor pasar mobil yang sebelumnya belum ada di AS, yaitu yang disebut mobil sport kecil. Ketika Lee akhirnya menjadi laporan utama majalah Time dan Newsweek, tak seorang pun heran atau keberatan. Dan Henry II juga terkesan oleh keberjayaan Mustang. Mobil itu menutup luka yang diakibatkan gagalnya proyek ayahnya, Ford Edsel. Sebagai hadiah, ia mengangkat Iacocca sebagai vice president untuk divisi mobil dan truk, membawahkan sekaligus Ford, Lincoln, dan Mercury -- posisi yang sebelumnya dijabat oleh McNamara. Tak sampai 6 tahun setelah itu, Henry II masuk kamar Lee Iacocca dengan sebuah kabar gembira: dia meminta kesediaan Lee untuk menjadi Presiden Ford Motor Company. "Ini adalah hadiah Natal terbesar yang pernah aku terima," kata Lee kemudian. Dan selangkah lagi ambisinya menjadi orang pertama di FMC, kayaknya akan kesampaian. Menurut perhitungannya, misalnya Henry II menghabiskan jatahnya sebagai chairman sampai ulang tahunnya yang ke-65, Lee masih akan memperoleh kurang lebih 7 sampai 8 tahun. Tak ada orang yang lain yang tampak bakal mengancam atau menyaingi dia. Masalahnya adalah, Henry II ternyata tak melihat persoalan itu seperti yang dilihat Iacocca. Gejalanya sudah mulai terlihat ketika Lee mencalonkan seseorang untuk memegang Ford Eropa, dan Henry II menampiknya. Itu terjadi pada 1972. Gejala berikutnya muncul ketika Henry II diwawancarai sebuah televisi lokal. "Apa Lee Iacocca bakal menjadi orang yang mewarisi jabatan Anda?" tanya Lou Gordon sang pewawancara. "Wah," jawab Henry II, "itu tergantung keputusan dewan direktur. Aku tak bisa memutuskannya sendiri." Gordon terus mencecarnya untuk mendapat kepastian. Dan pada pertanyaan keempat, ia bertanya, "Apa Anda akan senang kalau melihat dia yang melanjutkan kedudukan Anda" Henry tak bisa mengelak lagi. "Ya," jawabnya. Tetapi dengan lemah dan tak bergairah. Dia juga tak tampak senang mengatakannya. Lee memang terlalu berlagak. Semua orang yang kenal dia mengakuinya. Dia tak sabar menunggu. Semua orang pasti akan menyangka dia sudah jadi chairman, melihat gayanya tiap kali tampil pada pameran mobil -- sederet orang berebut menyalami dia, limusin-limusin penuh pembantu, orang-orang dengan mantel panjang berbisik-bisik misterius dengan walky-talky. Para pramugari di pesawat perusahaan pun bisa merasakannya. Tuan Ford sudah senang dibawakan sandwich dan sekeranjang buah. Tetapi buat Lee, harus ada meja berkain linen terbaik, keramik-keramik mahal, dan peralatan makan dari perak. Lee Iacocca memang sudah menjadi terlalu senang dengan kehidupan mewah, dengan anggur enak, cerutu besar. "Aku suka jadi presiden," tulisnya dalam memoirnya. "Aku suka punya banyak fasilitas, punya tempat parkir tersendiri, punya kamar mandi pribadi, dan punya banyak pelayan yang selalu berpakaian putih-putih." Dalam memoir itu, Lee juga bercerita tentang sebuah Boeing 727 yang dibeli oleh Henry dari sebuah perusahaan penerbangan Jepang. Boeing itu lalu diubah menjadi pesawat pribadi yang mewah guna bepergian ke Eropa. Dan Henry menjadi demikian jengkel karena Lee menggunakannya untuk keperluan bisnis, sehingga akhirnya pesawat itu dijual lagi kepada Syah Iran, meski dengan merugi. Dalam kenyataan, Iacocca sebenarnya lebih sering menggunakan dan menata pesawat itu ketimbang Henry II. Entah karena apa, Henry selalu menolak untuk menyeberangi Atlantik menggunakan pesawat dengan mesin di bawah empat -- 727 itu cuma bermesin tiga. Gene Bordinat, yang ditugasi menata kembali pesawat itu, ingat betul bagaimana ia bekerja langsung di bawah pengawasan Lee Iacocca, sehingga akhirnya hanya selera Leelah yang muncul dalam pesawat itu -- termasuk di antaranya pipa-pipa emas. Seorang yang pernah melihat kamar tidur Iacocca di pesawat itu mengenang, "persis bordello Prancis." Itu sebenarnya tak terlalu luar biasa. Eksekutif-eksekutif lain biasa menghadiahi diri sendiri dengan kemewahan yang sama. Pada bulan Agustus 1975, FMC mengadakan penelitian berapa besar ongkos yang harus dikeluarkan perusahaan itu untuk fasilitas para eksekutifnya. Tetapi, seperti ditulis Lee Iacocca dalam memoirnya, "penyelidikan itu tak satu pun menunjukkan adanya hal yang merusak pada diriku maupun pada orang-orangku." Sayang, masalahnya bukan adakah hal yang merusak atau tidak. Masalahnya adalah, itu semua terjadi di bawah Henry Ford II. Dia memang royal buat anak buahnya -- gaji tinggi, bonus besar, dan pengeluaran yang longgar untuk segala macam biaya. Tak seorang pun di Detroit digaji seperti Iacocca. Dia dibayar lebih besar ketimbang Presiden General Motor. Pada 1973, imbalan yang dia terima bahkan sudah sama dengan yang diterima oleh Henry II: US$ 275.000 plus bonus US$ 590.000. Tapi Iacocca memang agak kelewatan: membawa keluarganya dengan pesawat perusahaan, terbang dengan pesawat itu ke Allentown untuk menjenguk orangtuanya -- bertingkah semacam seorang Ford saja. Tapi bagaimana bisa, bila sementara itu Ford asli masih ada? Pada 14 April 1977, Henry Ford II mengadakan jumpa pers untuk menerangkan reorganisasi yang dia lakukan di perusahaannya. Dia memutuskan untuk membentuk sebuah tim puncak baru yang terdiri dari tiga orang. Henry akan tetap menjadi chairman dan Iacocca tetap presiden. Yang baru adalah Phillip Caldwell, eksekutif FMC yang baru pulang setelah sukses memimpin Ford of Europe. Caldwell diserahi jabatan vice chairman. Naik mendadaknya Caldwell itulah yang menandai perang pertama Lee dengan Henry. Franklin D. Murphy, seorang dokter yang juga chairman grup penerbitan Times Mirror di Los Angeles, yang menjadi salah satu direktur FMC sejak 1965, sering mendapat memo dari Iacocca yang isinya seperti ini: "Cepat datang aku ingin ketemu kamu. Apa yang terjadi di sini? Mereka mencoba menggantung aku! "Murphy, begitu datang, selalu melihat Iacocca dalam keadaan tegang, berjalan hilir mudik di ruangannya -- "Hampir selalu setengah histeris," tuturnya. Prestasi Iacocca sendiri sebenarnya memang sudah lama mengendur. Lee suka membual tentang keuntungan luar biasa yang dinikmati FMC pada 1977 dan 1978. Tetapi General Motor ternyata juga menikmati penjualan yang luar biasa -- kenaikannya bahkan 5% lebih tinggi dari yang dialami FMC. Dan ketika dianalisa, kelihatanlah sebagian besar keuntungan itu -- 40% -- tidak datang dari divisi-divisi yang langsung di bawah kontrol Lee. Keuntungan itu datang dari Ford Eropa yang dibawahkan Phillip Caldwell. Mobil-mobil baru ciptaan Lee pun tak lagi luar biasa seperti Ford Mustang. Lee dan Henry akhirnya sadar, pertempuran mereka tak mungkin tidak harus diakhiri di ruang sidang dewan direktur. Tak seorang pun dari mereka mau mengalah. Orang barangkali akan beranggapan Lee Iacocca sudah gila. Itu pula anggapan para direktur ketika mereka berkumpul pada 12 Juli 1978. "Tindakan Lee adalah tindakan tak waras," tutur Franklin Murphy. "Dia 'kan tak punya kartu truf sama sekali." Pada pukul 3 sore hari itu juga, Lee menerima panggilan telepon dari Henry. Dan dengan itu berakhir pulalah kariernya di Ford Motor Company setelah 30 tahun mencatat prestasi gemilang. Lee menerimanya dengan marah. Henry sebaliknya tak banyak berkata. "Telah tiba saatnya buatku untuk melakukan tindakan dengan caraku sendiri ...," katanya. Bagaimanapun perselisihan antarorang dalam, bahkan antara anak dan bapak, dalam perusahan raksasa yang pernah merajai dunia dengan produksi roda empatnya ini -- menurut majalah Fortune Ford masih tergolong raksasa: masih nomor empat di dunia. BOKS: "Seorang Raja Tak Bisa Salah" DUA kali Henry Ford II memecat tangan kanannya di perusahaan, dua kali pula ia memecat istrinya di rumah. Henry memang bukan orang yang gampang. Menurut salah seorang istrinya, Henry setiap bangun pagi senang sekali berkaca sambil tersenyum bangga. "Akulah sang raja. Dan seorang raja tak bisa salah." Memang benar. Sejak kecil dia telah berlaku, dan diperlakukan, seperti seorang raja. Dan karena itulah dia gagal menyelesaikan kuliahnya di Yale. Sebuah kisah di masa kuliah itu menunjukkan bagaimana perhatian Henry pada pelajaran. Pada akhir sebuah semester, ia mendapat tugas membuat paper tentang novel-novel Thomas Hardy. Kepepet deadline, dia membayar seseorang untuk mengerjakannya dan, kemudian, menyerahkan paper itu dengan bukti pembayaran di dalamnya. Di kalangan teman-temannya, Henry meninggalkan kesan berbeda-beda. Ada yang menganggapnya sebagai teman yang hangat, loyal, dan terus terang. Tetapi ada pula yang menganggap dia tiran yang tolol. Badannya yang gembrot membuat ia dijuluki "Lard-ass" atau si gendut-bloon oleh adiknya, William Clay Ford. Henry bisa memanfaatkan dengan baik semua kemewahan yang diberikan kepadanya. Puncaknya adalah ketika dia berpakansi sepanjang musim panas pada usia 21 tahun. Menggunakan sebuah Lincoln Zephyr, Henry keliling Eropa bersama dua teman. "Kamu pastilah Henry Ford," kata manajer hotel yang mereka tempati di Wina. Saat itu, tahun 1938, hanya beberapa minggu setelah tentara Hitler menduduki kota itu. "Aku tahu apa yang kamu maui," manajer tadi melanjutkan. "Tetapi cobalah untuk tak mengambil gadis dari kota. Sejak kedatangan tentara Nazi, mereka semua kena sifilis." Henry dan dua temannya menurut. Begitu sampai di Paris, mereka segera menyerbu House of Nations, sebuah tempat terkenal dengan gadis-gadis yang berasal dari segenap penjuru dunia. * * * Orangtua Henry berharap, perkawinan akan membuat dia lebih tenang dan mapan. Itulah sebabnya mereka tak begitu keberatan ketika Henry berhubungan akrab dengan seorang gadis pirang, cantik, luwes, dan suka berdandan dari Long Island. Gadis itu, yang dikenal Henry ketika baru masuk Yale, bernama Anne McDonnell. Dari segi kekayaan, keluarga McDonnell memang memenuhi syarat buat seorang Ford. Mereka punya istana 50 kamar dengan taman tertata rapi dan melandai berhektar-hektar sampai ke tepian Atlantik. Di istana ini 16 pelayan -- satu untuk tiap anggota keluarga -- siap melayani mereka, tiap kali mereka berlibur. Di New York, keluarga McDonnell lebih sering tinggal. Di kota metropolitan ini rumah mereka, di hulu Fifth Avenue, tak kalah mewahnya. Rumah dengan 29 kamar yang tersebar di 3 lantai. Keluarga McDonnell juga royal menyumbang untuk dana sosial. Tak ada skandal bisa disangkutkan kepada Tuan James Franic McDonnell, seorang pemimpin perusahaan pialang kertas berharga di Wall Street. Yang jadi persoalan adalah agama keluarga McDonnell: Katolik. Soalnya, Henry Ford Senior berasal dari keluarga petani Irlandia, yang tentu saja memeluk Protestan. Buat mereka, petani Katolik adalah musuh bebuyutan. Dalam keadaan normal mereka pastilah akan menentang hubungan Henry II dengan Anne itu. Tapi, ketakutan akan masa depan Henry membuat keluarga Ford akhirnya menyetujui hubungan itu. Apalagi Henry II sendiri pun ternyata disambut dengan baik oleh Gereja Katolik dalam sebuah upacara pribadi, 12 Juli 1940 -- tepat sehari sebelum hari perkawinannya. Paus Pius XII memberi restu pribadi pada pasangan baru ini. Si "gendut-bloon" yang suka hura-hura itu, persis seperti yang diharapkan orangtuanya, betul-betul berubah. Ia menjadi Henry Ford II yang serius. Dia memang tak setaat istrinya, yang selalu menghadiri misa pukul enam pagi. Tetapi Henry selalu ikut pada upacara doa 40 hari Saum (bulan puasa Katolik). Mereka pun cukup tahu "peradaban". Orang bilang bahwa Annelah sebenarnya yang lebih punya selera, sedangkan Henry hanya menjadi penanda tangan cek. Tetapi ini tak sepenuhnya betul. Henry dengan segera juga mulai belajar. Dia tahu apa yang dia inginkan, dan dia pun segera mengumpulkannya -- yang akhirnya menjadi sebuah koleksi lukisan yang terseleksi secara matang, yang sebagian besar karya pelukis impresionis Prancis. Tetapi, di samping sikapnya yang makin "berbudaya" itu, Henry ternyata tak bisa sepenuhnya menghapus sisi gelapnya. Itu terutama muncul jika dia sudah mulai minum. Sedikit minum memang baik buat Henry. Dia akan menjadi hidup, menjadi teman ngobrol yang menyenangkan dengan lelucon-lelucon dan tingkahnya. Pada suatu pesta, misalnya, dia memimpin semua tamu berdansa menuju ke kolam renang, semuanya berpakaian lengkap, di bawah irama mars When The Saints Go Marching in. Tetapi bertambah malam pestanya, bertambah banyak dia minum, bertambah liar pula tingkahnya, sebelum pada akhirnya menjadi tak terkontrol. Pada sebuah resepsi untuk merayakan kunjungan pertama yang sukses Metropolitan Opera ke Detroit tahun 1959, seseorang memberi selamat kepada Henry atas keberhasilan -- istrinya mengatur kunjungan itu. Orang itu lalu mengemukakan harapannya agar Anne kembali mengetuai Detroit Grand Opera Association tahun depan. Apa sambutan Henry? "Wah, aku harap tidak," ia bersungut keras-keras. "Opera sialan ini telah menghancurkan kehidupan seksku." Kalau sudah sampai ke titik seperti ini, Anne biasanya tak tahan lagi, mulutnya mengatup rapat, mukanya memerah, lalu berkata, "Henry, sudah saatnya pulang!" Lalu dia seret suaminya ke pintu. Orang-orang di sekitar Henry memperhatikan, setelah memasuki usia empat puluhan, sisi buruk Henry makin lama makin dominan. Mungkin dia mulai bosan dengan perkawinannya. Mungkin juga karena dia menganggap itulah masa dia untuk "hidup kembali". Dan pelarian yang dia pilih adalah minum. Pada pesta untuk merayakan telah akil balignya anaknya termuda, Anne, pada bulan Juni 1961, Henry yang betul-betul sudah mabuk membikin ulah lagi. "Aku tak tahu orang-orang sialan dari mana setengah dari kalian ini," katanya sambil meloncat ke panggung untuk menenangkan hadirin yang tak sabar menunggu pemunculan Ella Fitzgerald. "Tetapi tutup mulutlah!" Orang-orang segera merasa ada sesuatu yang tak beres. Memang ada sesuatu dalam keluarga Ford. Sore hari sebelumnya, Nyonya Ford, capek setelah mengecek persiapan terakhir pesta dan berniat tidur, agak cepat datang ke kamar suaminya untuk mengucapkan selamat malam. Sebelum masuk, ia mendengar Henry berbicara. Anne heran malam-malam begini, kepada siapa suaminya menelepon. Ia pun mencuri dengar dari balik pintu. "Ya," begitu suaminya berbicara. "Ya, aku akan mengawini kamu." Anne segera menyerbu masuk. Dan dengan minta maaf, Henry pun menerangkan segalanya. Dan, tanpa diketahui mereka, Anne, anak gadis mereka, ternyata terbangun oleh pembicaraan mereka dan mendengar semuanya. "Ibumu baru memergoki aku berbicara dengan gadisku," Henry mengaku. "Aku mencintai dia dan akan mengawini dia apa pun yang terjadi." Dan inilah penyebab keluarga Ford demikian tegang di tengah kemeriahan pesta. "Ayahku memang punya sense of timing yang bagus," komentar Charlotte. Henry ketemu Cristina Vettore Austin, seorang janda cerai berumur 34 tahun yang suka hura-hura, di sebuah pesta di restoran Maxim's Paris. Waktu itu, Anne, yang juga hadir, melihat suaminya selalu menguntit wanita pirang dan bersuara sensual dari Italia itu. Digelandangnya Henry yang lagi asyik berdansa bersama Cristina, dan diseretnya ke hotel. Dan, sejak saat itu, Anne sama sekali tak pernah memikirkan Cristina lagi sampai akhirnya dia mencuri dengar pembicaraan telepon tadi. "Pertemuannya dengan Gianni Agnelli (pemilik Fiat)lah yang menghancurkannya," kata seorang anggota keluarga Ford. "Henry bertemu laki-laki yang seusia dia -- dan tampan dan penuh kelaki-lakian, dengan kulit terbakar matahari, dan dinamis -- yang meski menjalankan perusahaan raksasa dengan sukses juga sempat hilir mudik dari St. Moritz ke St. Tropez disertai banyak wanita. Dan tiba-tiba Henry sadar, "Tuhan ! Seperti inilah seharusnya seorang pemimpin perusahaan mobil hidup!" Henry memang berusaha memperoleh kesenangan seperti itu dengan istrinya. Tetapi jelas Anne bukan tandingan Cristina. Wanita ini eksotis liar, dan sama sekali tak terjinakkan. Dia punya daya tarik luar biasa, dan bukan cuma Henry Ford II yang terpikat olehnya -- Charles Revson, raja dari kerajaan kosmetik Revlon menghadiahi dia dengan 300 mawar tiap hari. Maka, tak heran jika di Grosse Point, Michigan, tempat keluarga Ford tinggal, Anne McDonnell Ford makin sering memergoki percakapan telepon jarak jauh. Dan perceraian pun tak terhindarkan lagi. * * * Perkawinan "Laut Tengah" Henry Ford II pada awalnya sukses. Dengan eksotisme Italianya, dengan rambut pirangnya yang berkibar-kibar, Cristina segera membakar Detroit. Kota mobil itu jadi penuh glamour. Dengan wajah dan tubuhnya yang tak kalah oleh model mobil paling top sekalipun -- Cristina berpose di banyak mobil keluaran Ford terbaru. Dengan model bajunya yang selalu baru, dia bikin para penulis mode sibuk sepanjang tahun. Cristina juga lebih pintar ketimbang Anne. Ia tahu, percuma saja melarang suaminya minum. Yang dia ingin akhiri adalah kebiasaan Henry merokok. Tetapi ini pun terbukti tak ada gunanya. Pemimpin Ford ini tetap saja merokok selama bekerja. Bahkan juga pada tiap pemunculannya di muka umum, seperti pada peluncuran mobil-mobil baru dan dalam resepsi-resepsi -- tentu dengan meminta para fotografer tak mengabadikannya dalam keadaan seperti itu. "Nerakalah bagianku, jika istriku tahu," katanya kepada para juru foto. Di rumah, ia pun punya tempat persembunyian khusus untuk merokok. Di tempat inilah -- yaitu sebuah tempat penggantung jas -- suatu saat Cristina memergokinya. Cristina juga menemukan yang membuat suaminya begitu gemar minum. Salah satunya, yang jarang diketahui orang luar, adalah rasa kurang percaya diri Henry II. "Dia tak tahu dirinya sendiri," tutur Cristina, lama kemudian. Cristina sering memberi Henry semangat untuk mengatasi kompleks itu. "Kamu seorang Ford. Kamu harus bertingkah sebagaimana layaknya seorang Ford," begitu biasanya dia berkata. Tahu bahwa Henry sangat malu atas kegagalannya menyelesaikan pelajaran di Yale, Cristina berusaha supaya suaminya mendapat sebuah gelar kehormatan. Untuk itu, ia menyuruh Merle Oberon, seorang aktris, menemani Kingman Brewster, rektor Yale, dalam sebuah makan malam di New York. Sebagai penguat, ia juga minta bantuan McGeorge Bundy, bekas penasihat keamanan nasional presiden AS dan presiden Yayasan Ford. Lalu si orang kuat McNamara, yang waktu itu telah menjadi presiden Bank Dunia. Dengan segala macam usaha ini, akhirnya, Henry Ford II mendapat juga sebuah gelar kehormatan (dalam bidang hukum) dari Yale pada 1972. * * * Pada suatu malam di bulan Februari 1975, seorang anggota patroli polisi jalan raya di California melihat sebuah sedan Ford terbaru memasuki jalan searah dari arah yang salah. Sang pengemudi tampak mabuk, dan ketika disuruh melafalkan alfabet, dia tak bisa menyelesaikannya sampai Z. Sebuah tes darah di RS Santa Barbara menguatkan tuduhan di atas. Dan Henry Ford II pun, setelah empat jam mendekam di penjara, selama dua tahun berikutnya menjalani hukuman percobaan. Komentar Henry tentang peristiwa itu adalah sebuah kutipan Disraeli, negarawan dan sastrawan Inggris abad XIX, Never complain, never explain -- jangan menuntut, jangan menjelaskan. Itu dikatakannya kepada sekelompok wartawan beberapa hari kemudian pada sebuah pertemuan Economic Club of Detroit. Ratusan pengusaha yang hadir di situ segera bangkit, dan bersama-sama memberikan tepuk tangan meriah buat Henry. Celakanya, sambutan di rumah sungguh lain. Soalnya, pada saat Henry ditangkap polisi, di sisinya duduk seorang gadis model berambut pirang, 23 tahun lebih muda dari Cristina, yakni Kathy DuRoss. Berhadapan dengan istrinya yang marah besar, yang sewaktu insiden itu terjadi sedang dalam perjalanan di Timur Jauh, Henry cuma bisa menjatuhkan diri dan berlutut. Lalu, ia mengatakan bahwa gadis itu adalah seorang lady escort temannya, David Metcale. Dia bersumpah bahwa dia tak punya hubungan apa-apa dengan Kathy DuRoss. Tentu saja dia bohong. Kathleen Roberta DuRoss, yang punya nama gadis King, 35 tahun pada 1975, adalah seorang janda dari kalangan biasa. Hamil pada umur 15 tahun, Kathy terpaksa meninggalkan sekolahnya untuk kawin dengan David DuRoss -- kekasihnya yang bekerja di perusahaan mobil Chrysler di siang hari, dan menjadi pemain trombone di malam hari. Pada umur 17 tahun, Kathy telah menjadi ibu dua anak dan tinggal bersama keluarganya di sebuah flat sempit. Dua tahun kemudian, suaminya meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Kathy pun menjadi janda pada umur 19. Sejak itu hidupnya berubah. Dia sering tampak berada di pelukan bujangan atau duda terhormat dari Detroit. Dengan salah satu dari mereka itulah dia beberapa kali menghadiri pesta di rumah Henry Ford pada akhir 1960-an. Pada kehadirannya yang kedua, ia datang bersama seorang diplomat yang bekerja di sebuah konsulat di Detroit. Ny. Henry Ford kenal diplomat ini dan menyepelekannya. Menurut dia, diplomat itu punya napas bau, dan karena itu dia memanggilnya "Halitoxi" -- atau si Napas Bau. Rasa permusuhan Christina pada si Halitoxi ini mungkin juga timbul karena orang inilah yang mempertemukan Henry dengan Kathy, dan Henry kelihatan sangat menaruh perhatian. Beberapa bulan kemudian, ketika teman Henry Max dan Marjorie Fisher mengadakan pesta makan malam, dia minta supaya Kathy diundang dan didudukkan di samping dia. Christina saat itu memang tak mungkin datang bersama Henry. Dia lagi ke luar kota -- sesuatu yang jadi sangat sering dia lakukan setelah beberapa tahun menyandang nama Ny. Ford. Inilah hal yang sering dijadikan pembelaan oleh Henry ketika hubungan mereka telah memburuk. Sedangkan, menurut Christina, ia sering ke luar karena suaminyalah yang mendorong dia sehingga dia bisa terus mengejar Kathy. Sejak saat itu perkawinan mereka memang tampak sulit dipertahankan. Dan seperti banyak perkawinan lain, ambruklah perkawinan mereka akhirnya. Awal Desember 1975, 10 bulan setelah tertangkap mabuk bersama Kathy DuRoss, Henry Ford II menelepon dokter pribadinya, Dr. Richmond Smith dari RS Henry Ford. Ia menanyakan yang akan dilakukan dokter itu Natal yang akan datang. Agak heran atas perhatian pasien yang juga bosnya itu, Dr. Smith akhirnya mengatakan bahwa ia tak punya rencana apa-apa dan akan tetap di Detroit. "Bagus kalau begitu," jawab Henry. Beberapa minggu kemudian, beberapa hari sebelum Natal, Tuan dan Nyonya Ford tampak berkemas-kemas. Mereka memang punya rencana untuk bepergian. Mereka bahkan sudah membuat rencana lengkap, termasuk mengunjungi Lord Mountbatten di Broadland. Christina menginginkan liburan itu sebagai kesempatan untuk berbaikan. Dan melihat bagaimana sibuknya Henry ikut mengatur kopornya, Christina berpikir segalanya akan berjalan lancar. Henry memang tampak sedemikian penuh perhatian sampai ikut memilihkan baju buat Christina. Ketika persiapan selesai, Henry usul supaya istrinya tidur sebentar untuk menghilangkan rasa capek, karena perjalanan nanti akan sangat melelahkan. Christina menurut. Sebelum merebahkan diri, dia ingat koran yang belum selesai dia baca yang tertinggal di bawah. Dia pun turun lagi, dan alangkah herannya dia ketika melihat suaminya berpakaian lengkap seperti mau keluar, dengan sebuah tas kecil di tangan. Pikir dia, pasti Henry sedang merencanakan sebuah lelucon. Tetapi tidak. Setelah mencoba dengan setengah hati untuk minta maaf, Henry Ford akhirnya membuang semua sopan santun dan dengan terus terang mengatakan bahwa dia akan pergi meninggalkan istrinya, dan tak akan kembali. Christina Ford, seorang yang sangat penggugup, segera menjadi histeris dan jatuh semaput. Henry lalu menelepon Dr. Smith, yang datang tak lama kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini