RAMPOK, dan bunuh. Inilah pedoman Burhan, setiap kali ia terjun mencari sasaran. Dan dengan motto ini, lelaki 28 tahun ini sungguh menjadi sosok yang mengerikan. Tujuh nyawa (baca: tujuh nyawa) telah dia habisi, hanya lewat dua kali perampokan. Seandainya Burhan dan kawanannya tak ditangkap, entah, berapa banyak lagi korban yang bakal terbantai. "Mereka itu iblis. Iblis berdarah dingin," ujar Kolonel Petrus W. Daeng, Kapolda Riau, kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO, pekan lalu. Burhan memang tipe perampok, yang kesadisannya sungguh tak terbayangkan. Siapa saja yang dijumpai berada dalam rumah yang dijadikannya sasaran dia bunuh habis. Tak peduli mereka itu masih anak-anak, wanita, atau orang dewasa. Lihat saja ketika ia, bersama dua orang lainnya, September lalu, terjun ke Desa Sepotong Parit IV Sei Pakning di Kabupaten Bengkalis, Riau. Dengan membobol lubang angin, mereka masuk ke rumah A Taw, pemilik kilang padi Saritek Jaya. Subuh itu, mereka tak langsung menjarah barang yang ada. Yang pertama kali dijadikan sasaran, justru Handing, yang sedang terlelap dalam ayunan kain. Si kecil berusia dua tahun itu, yang hari depannya masih begitu panjang, diayuni golok tepat di lehernya. Lalu Muchtar, 5 tahun, yang tidur di lantai, diperlakukan sama. Juga Yanti masih 4 tahun, tak luput dari kebrutalan. Semua anak A Taw yang masih balita ini tewas. Ketika itulah, A Lien alias Murni, istri A Taw, terbangun dari tidurnya. Ia sempat berlari ke sudut kamar. Tapi, apa artinya seorang wanita menghadapi tiga lelaki yang kesetanan? A Lien dibekap, diseret kembali ke tempat tidur, dan, "serr", kilatan senjata tajam pun membuat wanita berhenti bernapas di usia 38 tahun. Kalau saja ketika itu A Taw ada di rumah, pasti, dia pun tak akan selamat. Usai menebar maut, baru mereka menjalankan misi semula, yakni merampok. Dan sebelum fajar menyingsing, mereka mengambili Rp 1,5 juta uang kontan, sejumlah perhiasan, dan lima buah arloji. Sambil duduk bersila, mereka langsung membagi jarahan ini di halaman rumah A Taw. Tampaknya, mereka tak tersentuh rasa takut atau rasa berdosa, meski baru saja mencabut empat nyawa. Sedingin itu pula, kira-kira, saat Burhan dan tiga rekannya membunuh Tukiyo dan dua anak gadis pada Juli 1984 lalu. Tukiyo, 70, yang tinggal di Desa Sungai Kuning, Kabupaten Kampar -- sekitar 110 km dari Pakanbaru -- malam itu sempat menjotos Burhan. Jotosan lelaki yang sudah hampir uzur ini cukup telak juga, hingga pisau di genggaman Burhan mental. Tapi, itulah awal kemalangan Tukiyo. Ia segera dirangket, dan dengan segala kemarahannya Burhan menusukkan pisau yang tadi terpelanting ke leher korban. Sainem, 18, anak gadis Tukiyo, dan Ernawati, 17, seorang famili, ikut dijadikan sasaran kemarahan. Semua ditinggalkan bergeletakan tanpa nyawa, setelah uang tunai Rp 6 ribu diambil. Esoknya, penduduk gempar. Polisi, yang datang untuk mengusut, tak segera bisa menemukan si pembunuh. Soalnya, ketika itu -- seperti terungkapkan kemudian Burhan lari menyeberang ke Malaysia. Setelah beberapa bulan disana, dan menganggap suasana sudah aman kembali, Burhan balik ke tanah air. Untuk beberapa waktu lamanya, dia memang bisa bebas bergerak. Burhan bukannya insaf, tapi malah terpikir untuk mengulang "sukses"-nya yang dulu. Itu sebabnya pada September lampau, ia bersama Jamil, 26, dan Ramli, 28, meluruk ke rumah A Taw. Di sini, Burhan "meninggalkan jejak", sebab pria yang hanya sekolah sampai kelas II SD ini memang pernah bekerja di penggilingan padi milik A Taw. Ia diberhentikan Mei lalu, atau lima bulan sebelum kejadian, karena dinilai suka membangkang. Masuk akal bila polisi, berdasarkan keterangan dari majikan tertuduh, lalu mencurigai Burhan. Pembantaian di rumah A Taw, mau tak mau, membuat geram Kolonel Petrus. Maklum, peristiwa itu terjadi tepat satu hari setelah pengangkatannya sebagai Kapolda Riau. Selain itu, kejahatan di Riau, sebenarnya, cukup rendah. Di Kabupaten Kampar, misalnya, selama setahun lalu hanya tercatat 23 pencurian, dan semuanya telah terungkapkan. Memang itu pun disertai kekerasan terhadap korban, tapi boleh dikata jarang sekali pembunuhan. Segera dia memerintahkan kepada Letkol Mulyono (Kapolres Bengkalis) dan Letkol Fachruddin Bakar (Kapolres Kampar) untuk mengungkapkan kasus itu. Siapa lagi yang kemudian diincar polisi, bila bukan Burhan. Empat hari setelah kejadian, tepatnya 23 September, Burhan memang bisa diringkus di Desa Tabing 13 Koto, Kabupaten Kampar, sekitar 340 km dari tempat kejadian perkara (TKP). Semula, pembunuh yang, kabarnya, memiliki ilmu kebal ini tak mau mengaku. Rupanya, kekerasan tak mempan pada dirinya. Polisi tak kekurangan akal. Kepadanya segera ditunjukkan batang keladi dan bambu. Seketika itu juga, menurut keterangan sumber TEMPO, lelaki berahang kukuh dengan tinggi badan sekitar 165 cm itu menyembah-nyembah minta ampun. Dia menangis dan memohon agar batang keladi dan bambu itu tak dipukulkan ke tubuhnya. Benda-benda ini, konon, memang bisa merontokkan kedigdayaan seseorang yang "berilmu", seperti juga halnya daun kelor. (Itu sebabnya, penjahat Henky Tupanwael diharuskan menginjak daun kelor sesaat sebelum ia menjalani eksekusi tembak mati pada Januari 1980). Burhan, anak kedua dari tiga bersaudara yang orangtuanya petani ini, tanpa dipaksa, kemudian membeberkan semua yang pernah dilakukannya. Antara lain bahwa konconya melabrak kediaman A Taw adalah Jamil dan Ramli. Kedua orang ini, sungguh, membuat warga Desa Sepotong Parit IV Se Pakning terkejut. Sebab, keduanya tak lain pekerja di penggilingan padi milik A Taw sendiri. Kedua orang inilah yang mula-mula berteriak minta tolong, dan malah ikut sibuk membantu pemakaman istri dan anak-anak majikannya. Lewat Burhan ini pula perampokan dan pembunuhan di Kabupaten Kampar, dua tahun lalu, terungkapkan. Tiga orang pria yang ikut merampok dan membunuh korban juga bukan orang jauh. Ibrahim, Wardi, dan Kadir adalah tetangga Tukiyo sendiri. Sejauh kini belum jelas betul asal-usul Burhan. Juga, ketika lari ke Malaysia, apa pula yang dilakukannya. Yang jelas, sikapnya terhadap maut memang istimewa. "Tak ada pikiran takut, tak ada pertimbangan apa-apa sewaktu saya melakukan itu," begitu katanya kepada TEMPO. Lalu ditambahkannya, "Tolong, saya jangan dihukum mati." Memang, ada bukti-bukti yang dipegang polisi untuk menyeret Burhan ke pengadilan. Lima tersangka lainnya ditahan karena pengakuan Burhan. Memang belum semuanya jelas -- khususnya dua kasus itu. Umpamanya, mengapa Burhan -- bila memang benar pelakunya -- tak cukup menggasak harta, tapi juga menghabisi nyawa, bahkan nyawa anak-anak yang tak berdaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini